TAHUN-tahun terakhir ini, cukup gencar dilaksanakan penelitian
ulang tentang manusia purba yang biasa disebut Java Man.
"Gunanya untuk menentukan penanggalan," kata Kepala Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional, Dr. R.P. Soejono. Hal tersebut
baru saja dibahas dalam Rapat Evaluasi Hasil Penelitian
Arkeologi (REHPA) di Cisarua, dekat Bogor. "Pokoknya kami akan
membenahi umur manusia purba," tambah Soejono.
Fosil manusia pura Indonesia termasuk species Homo Erectus.
Penelitian ini bermula dilakukan oleh Eugene Dubois, guru
anatomi yang kemudian melamar derlandsch Indie, sekrang
Indonesla meneliti selama dua tahun sejak 1890, Dubois kemudian
menemukan sebuah cranium (tengkorak), geraham bawah, beberapa
gigi dan femur (tulang paha) di Kedung Brubus, dekat Trinil,
Jawa Timur. Tahun 1894, terbit tulisannya tentang
Pitbecanthropus Erectus, manusia kera yang berjalan tegak
(plantigrad) dan tidak lagi hidup di pohon (arboreal).
Sekitar 31 fosil kemudian ditemukan oleh G.H.R. von Koenigswald,
S. Sartono dan Teuku Jacob. Fosil tersebut diberi nama Homo
Javanicus Erectus.
Kemudian dalam tahun 1936, Tjokrohandojo dari Sangiran menemukan
sebuah fosil vane kemudian dikenal dengan nama Pitheanthropus
Modjokertensis. Dari penelitian yang dilakukan oleh Curtis
melalui K-Ar. (Kalium Argon), diperkirakan fosil itu berumur 1,9
juta tahun.
Paleomagnetisma
Selanjutnya, desa-desa bernama Djetis, Trinil, Sangiran dan
Perning menjadi terkenal secara internasional. Terutama dalam
pembahasan ilmu yang menyelidiki evolusi kehidupan yang bergenus
homo. Gambaran kasar tentang Pulau Jawa waktu itu ialah penuh
dengan padang rumput dengan sedikit pohon rimbun yang tidak
terlalu lebat. Sebab di Mojokerto ditemukan pula fosil
vertebrata (binatang bertulang punggung) dalam lapisan yang sama
ditemukannya Pithec,mthropus Modjokertensis. Sedangkan orang
awanya bertipologi rasial yang mempunyai os frontalis (tulang
dahi) menonjol, bergeraham kuat dengan gigi besar dan isi otak
sekitar 800 cc (chimpansee mempunyai otak sekitar 500 cc). Dan
hidup dengan mobilitas yang tinggi, secara berkelompok.
Masalahnya kemudian, betulkah tengkorak Mojokerto itu berasal
dan manusia cilik yang pernah hidup 1,9 juta tahun yang lalu?
Hingga kini, penentuan umur mutlak terhadap lapisan tanah di
lokasi, tempat tengkorak manusia purba ditemukan, belum banyak
dilakukan. Juga belum ada persesuaian pendapat tentang penentuan
umur nisbi ini, berdasarkan fauna vertebrata atau invertebrata.
Untuk mendapatkan umur mutlak (absolut), biasanya dilakukan
pengukuran terhadap endapan Kuarter saja. Sering pula contoh
batuan vang diambil dari situs tidak dilenliapi dengan
penampang stratigrafi lerukur. Kalau lokasi stratigrafi fosil
yang hendak diteliti umurnya tidak jelas, umur mutlak dari suatu
fosil yang ditemukan dianggap kurang nilainya.
Akan dianggap tidak cukup bila orang "kurang teliti menentukan
lokasi fosil dan mengabaikan hukum-hukum geologi," tulis S.
Sartono dan T. Djubiantono dari Unit Paleoekologi Radiometri,
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dalam makalahnya dalam
REHPA. Sartono dan Djubiantono dibantu oleh F. Semah dari
Laboratoire de Prehistoire du Museum Nationald 'Histoite
Naturelle di Paris. "Yang paling sempurna apabila contoh batuan
diambil tepat pada lokasi fosil yang dimaksud," tulis ketiganya.
Sebagai ahli geologi, ketiganya telah mengadakan penelitian
berulang-ulana di desa Perning, Mojokerto dan Sangiran. Hal ini
mereka lakukan untuk mengetahui umur mutlak lapisan pengandung
fosil manusia Plio-Plestosen berdasarkan metoda paleomagnetisma.
Juga menyertakan penelitian kolom stratigrafi terukur dari
situs, sehingga dengan demikian didapatkan batas-batas umur
lapisan bersangkutan secara lebih terperinci.
Fleksibel.
Dan mereka bertiga bukan satu-satunya tim yang meneliti untuk
ke sekian kali situs-situs manusia purba tersebut. Teuku Jacob
dan Curtis, di tahun 1971 telah menentukan umur dengan metoda
K-Ar. terhadap lapisan tufa yang mengandung batu apung dari
formasi Pucangan. Hasilnya, ditentukan umur sekitar 1,9 juta
tahun. Nishimura di tahun 1980 telah meneliti daerah Sangiran
dengan metoda fission track. Kemudian dia berpendapat bahwa Homo
Erectus Ngandongensis, fosil manusia purba dari Ngandong, cuma
0,6-0,7 juta tahun. Pendapat Nishimura tidak berlawanan dengan
pendapat S. Sartono dan teman-teman, meskipun kedua tim itu
mempergunakan metoda yang berbeda.
Tetapi tidak demikian dengan tim Jacob/Curtis dan tim
Sartono/Djubiantono/Semah. "Di daerah Perning tidak ada satu pun
lapisan tufa serta batuapung primer yang dapat ditentukan
umurnya dengan metoda K-Ar.", tulis tim S. Sartono. Nah! Metoda
K-Ar. --demikian pendapat geolog Sartono cs. -- hanya dapat
dilakukan terhadap endapan volkanis primer (aliran lava, tufa
dan batuapung). Lapisan tufa dan batuapung yang ada di Perning
adalah lapisan tufa pasiran, sehingga tufa bersifat sekunder.
Juga karena fosil di Perning (Mojokerto) itu adalah fosil
anak-anak, penelitian agak sukar untuk digolongkan ke manusia
purba species yang mana. Karenanya, umur fosil vertebrata
non-manusia dan manusia yang ditemukan di Perning paling tua
adalah 0,73 juta tahun. Mungkin cuma antara 60.000 dan 70.000
tahun.
Untuk lebih tepatnya, Sarton mengusulkan mengubah nama
Pithecanthopus Modjokertensis menjadi Homo Paleojavanicus
Modjokertenis, karena dia bukan berasal dari zaman Plestosen
Tengah (Pleistocene Midlle), tetapi berasal dari zaman Plestosen
Akhil (Late Pleistocene) Kepada suratkabar Kompas, Teuku Jacob
keberatan dengan perubahan nama ini. "Setiap ahli memang berhak
memberikan nama " kata Ahli Antropologi Ragawi dari Universitas
Gajah Mada.itu, "tetapi keyakinan saya belum berubah. Kepurbaan
fosil Mojokerto tetap 2 juta tahun dengan range antara 0,5 juta
tahun". Selama ini, Jacob menggolongkan genus pithecanthropus
dari species Mojokerto.
Untuk menentukan genus Homo, kata Jacob lagi, harus dipenuhi
persyaratan seperti plantigrad, artinya tangan lebih bebas lagi
karena dia tidak hidup secara arboreal, mempunyai otak yang
lebih besar dari cuma diperkirakan 800 cc, dan bisa melakukan
sikap gestural dan graphic sehingga mempunyai kemampuan
berbahasa (paling tidak proto bahasa). Perbedaan pendapat antara
ahli dari Gajah Mada (seorang antropolog ragawi) dan ahli dari
ITB (kelompok geologi), belum berkesudahan.
"Tiap orang bisa menyebut atau menamakan hasil penelitiannya
sesuai dengan keinginannya," kata Soejono. Sebab hasil
penelitian S. Sartono itu juga telah dikirim ke Prancis. Tiap
sarjana memang mempunyai buku pegangan yang berbeda. "Karena
itu, nama itu sebetulnya fleksibel," sambung Soejono lagi. Dalam
akhir makalahnya, tim S. Sartono memang ada menekankan:
"penelitian umur absolut terhadap berbagai batuan berumur
Pliosen dan Plestosen dikemudian hari akan menambah pengetahuan
kita akan umur fosil-fosil manusia di zaman itu, khususnya di
Jawa dan Asia Tenggara." Sehingga dapat memberikan gambaran
lebih jelas tentang evolusi manusia. "Berikut nomenklatur
taksonominya", artinya tatanama dan sistem klasifikasinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini