RUPANYA, meski cuma terletak 7 km di tenggara Bogor, Desa
Tanahbaru belum tercapai program listrik masuk desa. Tapi Masjid
Jamik di tengah desa dan beberapa rumah penduduk lainnya terang
oleh lampu neon. Ini berkat jasa Haji Abdul Syukur, 60 tahun,
pedagang singkong di desa itu.
Haji yang jebolan Pesantren Ciampea, Bogor, inilah yang
memperkenalkan kincir pembangkit listri menggunakan tenaga
penggerak air susukan atau parit di Tanahbaru. Secara kelakar,
penduduk menggelari kincir itu, PLTAS, singkatan dari
Pembangkit Listrik Tenaga Air Susukan.
Sekarang PLTAS milik Haji Syukur mampu menghasilkan listrik 800
watt yang digunakannya untuk menerangi rumahnya, lampu jalan di
depan rumahnya, serta penerangan tempat rumah tetangganya.
Dengan bantuan Haji Syukur pula, dibangun sebuah PLTAS untuk
Masjid Jamik, yang mampu menghasilkan listrik 600 watt. Setiap
malam masjid itu benderang di tengah rumah penduduk yang masih
remang-remang oleh lampu sentir.
Memang PLTAS Haji Syukur itu cepat populer. Belum lama ini
pelajar STM Bogor sempat kerja praktek di PLTAS itu. Dan Hotim,
30 tahun, petani desa itu, sudah berhasil meniru PLTAS Haji
Syukur, dan menghasilkan listrik 600 watt.
Sayang, penduduk lainnya tak sempat membuat PLTAS untuk rumah
masing-masing, karena dilarang kepala desa. "Ciraden itu cuma
parit. Kalau semua bikin kincir pengairan sawah bisa teranggu
kata Haji Sohib, kepala Desa Tanahbaru. Ciraden lebarnya cuma
dua meter, tapi parit itu berfungsi mengairi semua sawah di
Tanahbaru. Yang dikhawatirkan kepala desa, pada musim kemarau
air Ciraden mengecil, dan bisa terjadi rebutan air antara
pemilik kincir dan petani sawah.
Padahal, kalau saja di situ ada parit lain "semua penduduk bisa
membuat kincir itu," ujar Haji Syukur. Sebab biayanya murah.
Haji Syukur, misalnya, cuma menghabiskan Rp 200.000. Membikinnya
juga tak rumit. "Anak-anak muda di sini pun bisa," ujarnya.
Mula-mula, untuk menaikkan permukaan air Ciraden, Haji Syukur
membendung parit itu persis di depan rumahnya. Lewat saluran
dari papan panjang 2 m, air parit itu kemudian menggerakkan
sebuah kincir berdiameter 90 cm. Poros kincir dihubungkan sebuah
as dari besi dengan poros sebuah roda berjari-jari 1 m.
Roda besar itu, dengan menggunakan ban berjalan, dihubungkan
pula dengan roda kecil berjari-jari 25 cm. Ini, menurut Haji
Syukur, untuk memperbesar tenaga dan mempercepat putaran yang
dihasilkan kincir. Karena itu, poros roda kecil tadi
dihubungkannya lagi dengan roda yang besar, berjari-jari 130 cm,
dan dengan ban dihubungkannya pula dengan roda yang lebih kecil
jari-jarinya, berukuran 10 cm. Roda kecil itu lalu dihubungkan
dengan roda lain, dengan menggunakan as pada porosnya. Penentuan
besar roda-roda ini hanya dari hasil coba-coba yang dilakukan
Haji Syukur. Roda terakkir, dihubungkannya ke leher dinamo
dengan ban, dinamo pun berputar dan menghasilkan listrik.
Dinamo itu ditempakan Pak Haji pada sebuah bengkel di Bogor
dengan biaya Rp 90.000. Dinamo yang mampu menghasilkan listrik
1.000 watt itu dilengkapinya dengan alat utuk mengukur voltase
listrik yang dihasilkan putaran kincir. Lalu dilengkapinya pula
dengan travo, untuk mengatur tegangan, sebelum listrik itu
dialirkannya ke rumah.
Cuma, aliran listrik yang dihasilkan sangat tergantung air
Ciraden. Di musim kemarau, rumah Pak Haji jadi remang-remang,
karena kincir cuma mampu menghasilkan listrik 100 watt. Masih
lumayan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini