Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Potong ekor di sukamandi

Sepasang sarjana perikanan, ir. odi suryadi dan istrinya, berhasil mengembangkan tehnik pemeliharaan ikan mas dengan "potong ekor", mempercepat pertumbuhan ikan. (ilt)

20 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETIAP malam menjelang tidur, suami-istri itu terlibat diskusi asyik. Kadangkadang setengah berbisik, agar putri tunggal mereka yang baru berusia dua tahun tidak terusik. Hasilnya, "kami mengembangkan sistem potong ekor," ujar Ir. Tien Hendasah, 26 tahun. Dengan sistem ini, pertumbuhan ikan emas bisa dipercepat antara 35 dan 50 hari. Pasangan lulusan IPB (1980) ini memulai penelitian April lalu, setelah 10 bulan bertugas di Unit Pembinaan Budidaya Air Tawar (UPBAT) Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat di Sukamandi, Kabupaten Subang. Tien tenaga ahli di Balai Uji Coba unit tersebut. Sedangkan suaminya, Ir. Odi Suryadi, menjabat kepala balai yang sama. Sebelumnya mereka berdinas di Bandung. Percobaan pertama dilakukan 10-30 April lalu. Sebuah kolam berukuran 15 m2 dibagi menjadi Bak A, Bak B, dan Bak C. Tujuh hari sebelumnya kondisi air telah disiapkan dengan kandungan O2 6,5 ppm, CO2 17 ppm, dan PH (keasaman) 6,5. Suhu diatur rata-rata 27ø C. Sebagai pupuk, ke dalam masing-masing bak ditaburkan kotoran ayam, dengan dosis 100 gram per m2. Ikan yang ditanam diambilkan dari bibit unggul jenis Majalaya. Tiap bak diisi 100 ekor ikan dengan rata-rata panjang 3-5 cm, dan berat 1,5 gram. Ikan dalam Bak A dan B dipotong ekornya, hingga tinggal 3 mm dari ujung badan. Ikan pada Bak C dibiarkan utuh. Sebelum dimasukkan ke dalam bak, ikan yang dipotong ekornya dicelupkan ke dalam larutan Kalium Permanganat (PK) 20 ppm, selama 5 menit. "Sebagai pencegahan terhadap serangan bakteri," ujar Ir. Odi Suryadi, 27 tahun. Selama 20 hari, binatang percobaan itu diberi makan tiga kali sehari. Pada pagi hari diberikan makanan sebanyak 2% dari berat ikan, siangnya porsi dikurangi separuh. Cara pemberian makanan pun berbeda. Di Bak A makanan diberikan dalam bentuk pellet, dibungkus kantung plastik, berlubang dan ditaruh di keempat sudut bak. Pada Bak B dan C, makanan berupa dedak, yang ditaburkan ke seluruh permukaan air. Pada hari ke-21, hasil percobaan dievaluasi. Di Bak A ternyata tinggal 84 ekor ikan, di Bak B 87 ekor, dan di Bak C 85 ekor. "Yang lain mungkin hilang, tapi tak pernah ada yang mati," ujar Tien. Setelah ditimbang ikan dari Bak B ternyata lebih berat ketimbang penghuni Bak A dan C. Berat ikan dari Bak B bertambah 12 kali berat semula, sedangkan ikan Bak A bertambah 5 kali berat semula. Ikan Bak C, yang ekornya selamat hanya mengalami pertambahan 3 kali berat semula. Menurut Nyonya Tien, bentuk badan ikan pun berbeda. Penghuni Bak B bentuknya agak bulat, tidak terlalu panjang. Bagian perutnya gemuk, mengandung lemak. "Lebih padat dan berisi, dan tidak susut kalau digoreng," ujar Tien meyakinkan. Ikan dari Bak A kekar juga, tapi agak kurusan. Sedangkan ikan dari Bak C lebih panjang ketimbang gemuk. Ketika mula-mula dimasukkan ke dalam bak, ikan yang cacat ekor memang oleng sebentar. Tapi segera ia menemukan keseimbangan, dan dalam tujuh hari sudah beradaptasi dengan lingkungan dan kondisi tubuh yang baru. Ikan tanpa ekor mula-mula cenderung diam, hanya sesekali naik ke permukaan mengambil udara dan makanan. Tapi setelah 14 hari, gerakan ikan mulai aktif bahkan lebih gesit dibandingkan ikan yang ekornya utuh. Menurut dugaan Nyonya Tien, pada saat lamban itulah hormon Lycin dan Miasin (dari kelompok asam amino yang aktif terangsang, hingga ikan makan lebih banyak dari biasa. Setelah 20 hari, sirip baru tumbuh mendekati bentuk normal, hanya tampak lebih tipis dan transparan. Pemotongan ekor ini dapat diulangi empat kali sampai ikan mencapai ukuran konsumsi, sekitar 1«-2 kg. Dengan pemeliharaan biasa ukuran itu dicapai sekitar 3-4 bulan. Dengan "potong ekor" ini hanya 60-70 hari. Odi Suryadi, yang berasal dari Cirebon itu, mengaku teknologi "potong ekor" ini bukan sepenuhnya barang baru. Petani ikan di daerah Jawa Barat sudah biasa memotong sirip dada pada ikan. Tapi mereka melakukannya untuk menandai ikan milik masing-masing. Bahkan ada petani yang percaya cara itu bisa menangkal penyakit ikan. "Kami lalu mengembangkan kebiasaan petani itu," kata Odi. Odi dan istrinya mula-mula berangkat dari gagasan sederhana. Mereka berpikir, bila sirip ekor dipotong, gerakan ikan berkurang. Energi tidak terbuang percuma, bisa menjadi daging untuk mempercepat pertumbuhan. "Lemak dan proteinnya pun tentu lebih banyak," ujar Nyonya Tien, yang gemar makan apa saja. Maka Rabu pekan lalu, Direktur Jenderal Perikanan Abdu Rachman pun datang ke Sukamandi bersama beberapa wartawan Ibukota. Terkesan akan peragaan teknologi baru ini, Abdu Rachman berpesan agar sistem "potong ekor" terus disebarluaskan, demi meningkatkan produksi dan penghasilan petani ikan. Tidak semua petani ikan serta-merta yakin pada cara baru ini. Iwan Nusyirwan, petani ikan dari Majalaya, Kabupaten Bandung, misalnya, bersikap agak hati-hati. Insinyur itu khawatir luka pada ekor ikan mudah menjadi sarang penyakit. Apalagi pada musim kemarau, ketika ikan muda dijangkiti penyakit. Odih sendiri memesankan agar para 'pengikut'nya tidak sembarang potong. Sebab salah-salah, keseimbangan ikan bisa rusak seumur hidup. Bisa juga ikan hanya berputar-putar, tak mampu berbelok.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus