SETIAP malam menjelang tidur, suami-istri itu terlibat diskusi
asyik. Kadangkadang setengah berbisik, agar putri tunggal mereka
yang baru berusia dua tahun tidak terusik. Hasilnya, "kami
mengembangkan sistem potong ekor," ujar Ir. Tien Hendasah, 26
tahun. Dengan sistem ini, pertumbuhan ikan emas bisa dipercepat
antara 35 dan 50 hari.
Pasangan lulusan IPB (1980) ini memulai penelitian April lalu,
setelah 10 bulan bertugas di Unit Pembinaan Budidaya Air Tawar
(UPBAT) Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat di Sukamandi,
Kabupaten Subang. Tien tenaga ahli di Balai Uji Coba unit
tersebut. Sedangkan suaminya, Ir. Odi Suryadi, menjabat kepala
balai yang sama. Sebelumnya mereka berdinas di Bandung.
Percobaan pertama dilakukan 10-30 April lalu. Sebuah kolam
berukuran 15 m2 dibagi menjadi Bak A, Bak B, dan Bak C. Tujuh
hari sebelumnya kondisi air telah disiapkan dengan kandungan O2
6,5 ppm, CO2 17 ppm, dan PH (keasaman) 6,5. Suhu diatur
rata-rata 27ø C. Sebagai pupuk, ke dalam masing-masing bak
ditaburkan kotoran ayam, dengan dosis 100 gram per m2.
Ikan yang ditanam diambilkan dari bibit unggul jenis Majalaya.
Tiap bak diisi 100 ekor ikan dengan rata-rata panjang 3-5 cm,
dan berat 1,5 gram. Ikan dalam Bak A dan B dipotong ekornya,
hingga tinggal 3 mm dari ujung badan. Ikan pada Bak C dibiarkan
utuh. Sebelum dimasukkan ke dalam bak, ikan yang dipotong
ekornya dicelupkan ke dalam larutan Kalium Permanganat (PK)
20 ppm, selama 5 menit. "Sebagai pencegahan terhadap serangan
bakteri," ujar Ir. Odi Suryadi, 27 tahun.
Selama 20 hari, binatang percobaan itu diberi makan tiga kali
sehari. Pada pagi hari diberikan makanan sebanyak 2% dari berat
ikan, siangnya porsi dikurangi separuh. Cara pemberian makanan
pun berbeda. Di Bak A makanan diberikan dalam bentuk pellet,
dibungkus kantung plastik, berlubang dan ditaruh di keempat
sudut bak. Pada Bak B dan C, makanan berupa dedak, yang
ditaburkan ke seluruh permukaan air.
Pada hari ke-21, hasil percobaan dievaluasi. Di Bak A ternyata
tinggal 84 ekor ikan, di Bak B 87 ekor, dan di Bak C 85 ekor.
"Yang lain mungkin hilang, tapi tak pernah ada yang mati," ujar
Tien. Setelah ditimbang ikan dari Bak B ternyata lebih berat
ketimbang penghuni Bak A dan C. Berat ikan dari Bak B bertambah
12 kali berat semula, sedangkan ikan Bak A bertambah 5 kali
berat semula. Ikan Bak C, yang ekornya selamat hanya mengalami
pertambahan 3 kali berat semula.
Menurut Nyonya Tien, bentuk badan ikan pun berbeda. Penghuni Bak
B bentuknya agak bulat, tidak terlalu panjang. Bagian perutnya
gemuk, mengandung lemak. "Lebih padat dan berisi, dan tidak
susut kalau digoreng," ujar Tien meyakinkan. Ikan dari Bak A
kekar juga, tapi agak kurusan. Sedangkan ikan dari Bak C lebih
panjang ketimbang gemuk.
Ketika mula-mula dimasukkan ke dalam bak, ikan yang cacat ekor
memang oleng sebentar. Tapi segera ia menemukan keseimbangan,
dan dalam tujuh hari sudah beradaptasi dengan lingkungan dan
kondisi tubuh yang baru. Ikan tanpa ekor mula-mula cenderung
diam, hanya sesekali naik ke permukaan mengambil udara dan
makanan. Tapi setelah 14 hari, gerakan ikan mulai aktif bahkan
lebih gesit dibandingkan ikan yang ekornya utuh.
Menurut dugaan Nyonya Tien, pada saat lamban itulah hormon Lycin
dan Miasin (dari kelompok asam amino yang aktif terangsang,
hingga ikan makan lebih banyak dari biasa. Setelah 20 hari,
sirip baru tumbuh mendekati bentuk normal, hanya tampak lebih
tipis dan transparan. Pemotongan ekor ini dapat diulangi empat
kali sampai ikan mencapai ukuran konsumsi, sekitar 1«-2 kg.
Dengan pemeliharaan biasa ukuran itu dicapai sekitar 3-4 bulan.
Dengan "potong ekor" ini hanya 60-70 hari.
Odi Suryadi, yang berasal dari Cirebon itu, mengaku teknologi
"potong ekor" ini bukan sepenuhnya barang baru. Petani ikan di
daerah Jawa Barat sudah biasa memotong sirip dada pada ikan.
Tapi mereka melakukannya untuk menandai ikan milik
masing-masing. Bahkan ada petani yang percaya cara itu bisa
menangkal penyakit ikan. "Kami lalu mengembangkan kebiasaan
petani itu," kata Odi.
Odi dan istrinya mula-mula berangkat dari gagasan sederhana.
Mereka berpikir, bila sirip ekor dipotong, gerakan ikan
berkurang. Energi tidak terbuang percuma, bisa menjadi daging
untuk mempercepat pertumbuhan. "Lemak dan proteinnya pun tentu
lebih banyak," ujar Nyonya Tien, yang gemar makan apa saja.
Maka Rabu pekan lalu, Direktur Jenderal Perikanan Abdu Rachman
pun datang ke Sukamandi bersama beberapa wartawan Ibukota.
Terkesan akan peragaan teknologi baru ini, Abdu Rachman berpesan
agar sistem "potong ekor" terus disebarluaskan, demi
meningkatkan produksi dan penghasilan petani ikan.
Tidak semua petani ikan serta-merta yakin pada cara baru ini.
Iwan Nusyirwan, petani ikan dari Majalaya, Kabupaten Bandung,
misalnya, bersikap agak hati-hati. Insinyur itu khawatir luka
pada ekor ikan mudah menjadi sarang penyakit. Apalagi pada musim
kemarau, ketika ikan muda dijangkiti penyakit.
Odih sendiri memesankan agar para 'pengikut'nya tidak sembarang
potong. Sebab salah-salah, keseimbangan ikan bisa rusak seumur
hidup. Bisa juga ikan hanya berputar-putar, tak mampu berbelok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini