BELUM sebulan tahun ajaran 1983-1984 berjalan, soal kerudung
ramai lagi. Di beberapa SMA negeri di Jakarta, masalah itu tak
hanya terkurung dalam dinding sekolah. Misalnya, muncul surat
dari Lembaga Studi Islam Jakarta ditujukan kepada kepala SMAN
XXV. Isi surat, menyerukan "harapan dan imbauan" agar seorang
siswa yang mengenakan kerudung di sekolah itu tak mengalami
"hambatan/tekanan psikologis dari pihak kepala sekolah atau
guru-guru lainnya." Dan persis bertanggal awal Agustus, muncul
pula surat dari Ikatan Keluarga Perguruan Tinggi Da'wah Islam
Jakarta kepada kepala SMAN XV. Isinya pun mirip surat dari
Lembaga Studi Islam itu. Hanya kali ini disebutkan tentang enam
siswi berkerudung yang belajar di sekolah itu.
Menjawab masalah ini, tertanggal 5 Agustus muncul siaran pers
Departemen P & K. Menanggapi soal kerudung yang muncul lagi di
tahun ajaran 1983-1984, antara lain Menteri P & K menyatakan:
"Pedoman Pakaian Seragam Sekolah bagi pelbagai sekolah
mengandung juga seragam yang mellputi kerudung sebagai salah
satu unsurnya." Prinsipnya "tiap sekolah corak seragamnya
harus sepenuhnya sama." Dan "pelajar yang karena sesuatu alasan
merasa harus memakai kerudung, pemerintah akan membantunya
pindah ke sekolah yang seragamnya memakai kerudung."
Apakah ini berarti siswi berkerudung tak lagi bisa duduk di SMA
negeri misalnya? Kepada TEMPO Rabu siang pekan lalu Menteri P &
K Nugroho Notosusanto mengatakan: "Kalau mereka masih memilih
kerudung, terserah. Penting sekolah apa kerudung?" Lantas
disebutkannya sekolah yang kira-kira bisa menampung siswi
berkerudung, ialah sekolah madrasah -- tidak hanya madrasah
swasta, tapi juga madrasah negeri.
Tapi Menteri mengharap agar masalah kerudung diselesaikan kepala
sekolah secara "persuasif". Soalnya, kini, bagaimana kalau
siswi-siswi itu bersikeras mengenakan kerudung? "Kami sudah
berupaya dengan halus," tutur Samudi, wakil kepala SMAN XV
Jakarta. "Tapi kami belum tega menindak anak-anak kami sendiri."
Dituturkan Darjono, guru bahasa Inggris di sekolah itu, bahwa
masuk di SMA yang terkenal disiplin ini susah. Tahun ini ada
empat ribu pendaftar, dan yang diterima cuma 200 siswa. "Saya
sayangkan kalau mereka terpaksa harus pindah," katanya. Menurut
dia, tiga dari enam siswi berkerudung sudah menanggalkan
kerudungnya.
Tahun lalu soal kerudung ini sebenarnya sudah ramai, gara-gara
guru olah raga SMAN III, Bandung, memasalahkan delapan siswinya
yang tak mau menanggalkan kerudungnya sewaktu pelajaran olah
raga (TEMPO 11 Desember 1982). Pak Guru waktu itu mengancam akan
memberi nilai dua bagi mereka -- yang berarti mereka tak akan
naik kelas. Tapi ternyata kedelapan siswa itu lulus dan naik
kelas semuanya. Meski Pak Wargono, nama guru olah raga itu,
sampai kini masih tetap ta berkenan ada siswanya berkerudung.
Padahal di SMA negeri lain di Bandung ada atau tak ada siswi
berkerudung keadaannya tenang-tenang saja. Seorang guru dari
sebuah SMA negeri yang lain di Bandung, yang tak bersedia
disebut namanya malahan mengatakan: "Siswi berkerudung itu
sopan-sopan, dan prestasinya cukup baik." Maksudnya, sejauh
siswi berkerudung tak menjadi sangat berbeda dari kawan-kawan
sekolah, tak ada masalah.
Toh siswi berkerudung pun tetap berbaju putih dan mengenakan rok
bawah abu-abu -- sesuai warna seragam sekolah. Dan lihat saja,
lambang sekolah pun tetap dikenakan di dada kiri mereka.
Menimbulkan keheranan memang, bila sampai terjadi kericuhan
gara-gara kerudung.
Tentu soalnya memang bisa jadi lain, jika kemudian para pemakai
kerudung yang bersikap eksklusif. Kata seorang siswi: "Asal
mereka tak merasa lebih suci saja".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini