Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berduyun-duyun ke tebingtinggi

Laju pertumbuhan penduduk kotamadya tebingtinggi mencapai angka tertinggi. banyak arus pendatang semenjak pembangunan proyek aluminium di kuala tanjung. kepadatan tersebut dikuatirkan ada dampaknya.(pan)

20 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOTAMADYA Tebingtinggi, Sumatera Utara, mencatat rekor baru: kota dengan pertambahan penduduk paling tinggi dalam persentase: rata-rata 13% setahun (1971-1980). Dasawarsa sebelumnya (1961-1970) hanya 1,47% rata-rata setahun. "Pertambahan itu sangat fantastis, belum pernah terjadi di kota-kota lain di atas dunia ini," komentar Ir. Meneth Ginting, dari Lembaga Penelitian Masyarakat Universitas Sumatera Utara (LPM-USU). Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Emil Salim, ikut tersentak. "Ini memang suatu ledakan penduduk yang luar biasa yang saya ketahui," kata Emil Salim di Medan, beberapa waktu yang lalu. Pertambahan penduduk Indonesia secara nasional. menurut Emil Salim, rata-rata 2,3% setahun. Arus penduduk ke Tebingtinggi mencapai puncaknya mulai 1978, ketika konstruksi Proyek Aluminium di Kuala Tanjung, Kabupaten Asahan, mulai dikerjakan. Jarak Tebingtinggi yang hanya 30 km dari proyek itulah, menyebabkan kota ini dijadikan pangkalan. Sebab Kota Kisaran, ibu kota Kabupaten Asahan, berjarak 62 km dari Kuala Tanjung. Sedang Pematang Siantar, kota terbesar kedua di Sum-Ut, lebih jauh lagi, 75 km dari proyek. Para pekerja di proyek aluminium itu pun berbondong-bondong ke Tebingtinggi. Tahun 1979, jumlah pendatang lebih banyak dari penduduk asli. Jika penduduk Tebingtinggi tahun 1978 hanya 32.000 jiwa lebih, setahun kemudian membengkak menjadi lebih dari 82.000 jiwa. Dari hasil sensus 1982, angka itu menjadi 94.000 jiwa. Artinya kepadatan kotamadya yang luasnya 3.800 ha itu hampir 10.000 jiwa/km2. Pendatang baru itu tentu saja membawa pengaruh cukup besar. Antara lain yang terpenting adalah pada roda perekonomian dan tingkat hidup penduduk. Misalnya, penduduk lama menyewakan rumahnya dengan harga lebih tinggi kepada pendatang. Sebuah rumah dengan tiga kamar laku disewakan Rp 2 s/d 3 juta setahun. Sebelumnya, paling tinggi Rp 300.000 setahun. Rumah-rumah baru berdiri di hampir tiap sudut, berjejal untuk disewakan. Begitu pula sarana rekreasi, seperti karcis bioskop. Kini rata-rata Rp 2.000 -- padahal sebelum Tebingtinggi dimasuki "orang-orang proyek", karcis bioskop tak sampai separuhnya. Harga-harga kebutuhan pokok umumnya sama dengan harga di kota lain. Pemerintah daerah juga tanggap melihat perkembangan dan mengambil manfaat dari berjubelnya pendatang berduit ini. Pemilik modal di Sumatera Utara dari jauh hari diundang untuk membangun berbagai fasilitas. Di antara pengusaha yang menanamkan modalnya di Tebingtinggi tercatat T.D. Pardede. Pengusaha Medan ini membangun sebuah hotel bertaraf internasional dengan 22 kamar, dilengkapi restoran dan pusat bilyar. Umumnya para pekerja Jepang di Proyek Asahan tinggal di hotel yang beroperasi sejak 1980 itu. Pengusaha lainnya ada yang membangun pusat pertokoan berlantai tiga, kolam renang, gedung bioskop. Kini ada lima gedung bioskop, bertambah sebuah dari sebelum adanya proyek aluminium itu. Pemerintah daerah juga sibuk mempersiapkan diri. Pertokoan di jalan protokol diremajakan. Kampung dibenahi dengan program meniru Proyek Husni Thamrin Jakarta. "Pembenahan kota sangat perlu, agar pendatang betah tinggal di kota ini," ujar Walikota Tebingtinggi, Amiruddin Lubis. Selain dibanjiri pekerja proyek aluminium, karena letaknya yang strategis, Tebingtinggi juga menjadi kota transit di Sumatera Utara. Para pedagang yang berlalu-lintas antarkota di Sumatera Utara atau antarprovinsi umumnya singgah menginap di kota ini. Selain hotel yang dibangun Pardede, kota ini punya empat hotel lagi, dan selalu penuh. Meskipun cukup sesak oleh penduduk, kota ini ternyata cukup nyaman. Terutama karena tercatat sebagai kota terbersih di Sumatera Utara. Upaya membersihkan Tebingtinggi cukup unik juga. Setiap hari enam truk sampah berkeliling menyusuri jalan sambil mendengungkan lagu-lagu lewat pengeras suara. Lagu-lagu yang dipilih, mulai dangdut sampai pop disesuaikan dengan selera masyarakat yang dikunjungi truk sampah. Dengan lagu-lagu itu penduduk keluar membawa keranjang sampah untuk ditumpahkan ke atas truk. Tak hanya itu, Tebingtinggi diserbu penduduk baru juga karena Kota Baru di Tanjung Gading dinilai gagal sebagai kota satelit. Kota Baru yang dibangun dengan gaya Jepang itu tidak diminati pekerja proyek, karena masih terpencil -- 17 km dari jalan raya umum. Kota permukiman seluas 200 ha ini sesungguhnya bisa menampung 12.000 jiwa dimaksudkan untuk pekerja di proyek aluminium Kuala Tanjung. Berbagai fasilitas seperti rumah sakit, sekolah, lapangan sepak bola, sampai lapangan golf sembilan lubang tersedia di sini. Hanya pekerja asing -- kebanyakan Jepang -- yang betah di sini. Orang kita lebih senang memilih Tebingtinggi dengan menyewa rumah penduduk. Perkembangan Tebingtinggi tak seluruhnya menggembirakan. November tahun lalu, Lembaga Penelitian Masyarakat Universitas Sumatera Utara bekerja sama dengan Universitas Kentucky, Amerika Serikat, meneliti dampak negatif kepadatan penduduk kota ini. Hasil penelitian ini sedang diolah. Namun Ir. Meneth Ginting dari LPM-USU sudah mulai cemas. "Saya khawatir nanti bisa timbul daerah-daerah hitam dan kejahatan meningkat," katanya. Sebab, tahun 1984, konstruksi Proyek Aluminium Kuala Tanjung selesai dibangun seluruhnya. Praktis tenaga kerja banyak menganggur, karena yang akan tinggal hanya tenaga terlatih di pabrik-pabrik. Jumlah penganggur ini cukup banyak, dan diperkirakan mereka sudah enggan meninggalkan Tebingtinggi. Kekhawatiran lain adalah tentang menggebu-gebunya pembangunan rumah-rumah baru untuk disewakan kepada pendatang. "Pembangunan untuk mengimbangi pendatang itu, membuat ekosistim lingkungan terganggu," ujar Meneth. "Sedikit saja turun hujan, bisa banjir, karena air sulit meresap." Walikota Tebingtinggi ternyata sangat optimistis. "Saya belum menemukan dampak negatif seperti dikhawatirkan para pengamat," kata Amiruddin Lubis. Ia malah menunjuk, pendapatan per kapita penduduk naik setelah banyak pendatang. Angka terakhir, 1982, pendapatan per kapita Rp 4.626, tahun 1981 Rp 4.244 -- tanpa menyebut angka dari tahun-tahun sebelumnya. Angka-angka memang bisa menggembirakan. Tapi karena warga Tebingtinggi tak hanya mengejar angka, agaknya Amiruddin perlu menelaah hasil penelitian para pengamat tadi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus