Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jarum jam menunjuk angka 03.30 pada Jumat dini hari dua pekan lalu. Tiga rangkaian kereta rel listrik (KRL) parkir di keremangan Stasiun Kereta Api Bogor, mirip ular raksasa yang membujur kaku. Saat kantuk membekap petugas jaga, tiba-tiba ada suara berderak. Rangkaian kereta paling depan terdorong maju menerobos gelap.
Rahmat Hidayat, satu dari beberapa petugas jaga di sana, sempat menggosok-gosok mata. Ia tak yakin ada kereta berangkat sepagi itu. Biasanya, kereta ekonomi terpagi baru berangkat pukul 04.25. Rahmat bukan mimpi. Rangkaian kereta berwarna putih-hijau itu benar-benar menggelinding, mengarah ke Jakarta.
Diliputi rasa kaget, Rahmat bergegas lari. Ia meloncat ke kabin masinis di gerbong paling belakang. Di ruang masinis, Rahmat mencoba menarik-narik rem. Maksudnya, untuk menghentikan kereta. Tapi upaya Rahmat sia-sia. Angin rem ternyata kosong. Kereta pun melaju tanpa kendali.
Untung saja, Dedi Djajadi, penjaga pintu lintasan pertama dari Bogor, lintasan Pasar Anyar, melihat lebih awal peristiwa itu. Dengan sigap, ia menyampaikan pesan berantai ke penjaga pintu lintasan dan stasiun ke arah Jakarta. Untuk menahan laju kereta, aliran listrik pun dimatikan. Anehnya, meski tanpa aliran listrik, kereta tetap melesat.
Yang mencemaskan, kereta meluncur di jalur yang salah. Kereta berjalan di rel untuk kereta dari arah Jakarta ke Bogor. Dikhawatirkan, di tiap pintu lintasan bakal terjadi kecelakaan. Maklum, jika kereta salah jalur, sistem otomatis pintu lintasan tak bisa jalan. Lagi-lagi beruntung. Di Stasiun Depok, petugas bernama Anton bisa "mengalihkan" kereta ke jalur yang benar, meskipun kereta tetap melaju tanpa kendali. Kecepatan kereta malah bertambah hingga di atas 60 kilometer per jam.
Setelah melewati 16 stasiun, di antara Stasiun Manggarai dan Stasiun Cikini, kecepatan kereta baru berkurang. Itu pun bukan karena rem yang ditarik Rahmat. Gara-garanya cuma jalur rel yang menanjak. Akhirnya, setelah menempuh jarak sekitar 44,92 kilometer, kereta terhenti pelan-pelan dan kembali terdorong ke belakang.
Memang tak ada korban yang jatuh. Tapi peristiwa aneh itu membuat geger petugas dan pedagang yang pagi itu mulai berdatangan. Besoknya, setelah sejumlah media memuat beritanya, masyarakat ramai pun membicarakannya.
PT Kereta Api baru memberi penjelasan resmi empat hari kemudian. Juru bicara perusahaan, Patria Supriyoso, mengungkapkan sebab-sebabnya. Kereta meluncur bebas, katanya, karena pemasangan stop block (rem parkir yang mirip rem tangan pada mobil) tidak pada posisi sempurna. Padahal, saat itu kereta Holec yang parkir di belakang kereta "nakal" buatan Jepang ini sedang dipanaskan mesinnya. Timbullah getaran. Efeknya, rem yang tak sempurna pun lepas, sehingga rangkaian kereta bernomor KA 459 pun terdorong maju. "Karena getaran, rem terlepas dari kaitnya. Padahal kereta dalam posisi siap meluncur," tutur Patria.
Selanjutnya, lebih tingginya Stasiun Bogor dibanding stasiun-stasiun lain ke arah Jakarta, menurut Patria, menimbulkan semacam gaya gravitasi. Karena permukaan rel yang miring, kereta bisa menggelinding sendiri tanpa aliran listrik. Dengan berat rangkaian kereta yang mencapai 174 ton, dorongan luncuran menjadi sangat besar, sehingga pada rel yang datar pun kereta tetap melaju kencang.
Memperkuat penjelasan resminya, pihak PT Kereta Api mengungkapkan data. Ketinggian Stasiun Bogor 248 meter di atas permukaan laut, sedangkan ketinggian Stasiun Manggarai 13 meter di atas permukaan laut. "Curam. Itu sangat curam," ujar Patria. Berhentinya kereta di antara Manggarai dan Cikini, menurut Patria, bisa dipahami. Pada jalur ini, rel mulai naik. Ini karena ketinggian Stasiun Cikini yang sekitar 20 meter di atas permukaan laut.
Penjelasan resmi itu tidak memupus rasa heran khalayak. Bukan hanya orang awam, petugas kereta pun seperti sulit mempercayainya. "Kalau dipikir pakai logika, kereta bisa jalan tanpa listrik itu tak masuk akal. Itu berarti kereta itu ngglundung (menggelinding)," ujar Sutrisno, 48 tahun, kondektur kereta yang ditemui di Stasiun Manggarai.
Kalau petugas saja masih ada yang sulit memahami peristiwa itu, terlebih lagi orang awam. Tak aneh, di kalangan warga malah muncul berbagai teori berbau mistis. Cerita seru dengan segala bumbunya pun merebak. Misalnya, ada pedagang di Stasiun Pasar Anyar yang mengaku melihat kereta itu berhenti. Begitu dia menepi, kereta pun melaju pelan. Kereta buatan Jepang itu pun kini populer dengan sebutan seram seperti "kereta hantu" atau "kereta siluman".
Peristiwa itu pun dikait-kaitkan dengan kejadian aneh lainnya. Konon, menurut para tetua di Kota Bogor, pada 1960-an kereta rel diesel (KRD) jurusan Sukabumi pernah jalan sendiri. Lebih seru, di setiap stasiun, kereta diesel tanpa masinis itu bisa berhenti sendiri.
Ada juga yang menaruh curiga, kereta liar karena tangan-tangan jahil. Misalnya, ada orang yang sengaja menarik rem tangan atau malah menghidupkan kereta. Dugaan ini disangkal Kusdiyono, Wakil Kepala Stasiun Bogor. Katanya, keamanan stasiun terjamin. Tak mungkin ada orang masuk ke kabin masinis, kemudian sengaja menjalankan kereta. Lagi pula, kata Kusdiyono, masinis selalu mencopot tuas gas kereta ketika selesai menjalankan tugasnya. Tanpa tuas itu, tak seorang pun bisa menjalankan kereta. Sangkalan Kusdiyono bisa jadi benar. Toh, kereta hantu bisa jalan juga.
Bagi beberapa kalangan, penjelasan resmi PT Kereta Api terdengar seperti menyederhanakan masalah. Terlebih lagi jika dibandingkan dengan cara kerja kereta rel listrik yang tidak sederhana. Pernah populer dengan sebutan trem, kereta listrik pertama kali diperkenalkan pada 1879 di Berlin, Jerman. Tenaga kereta rel listrik dihasilkan dari aliran listrik yang diteruskan ke motor listrik penggerak roda-roda utama.
Ada dua cara memindahkan arus listrik dari pembangkitnya ke kereta rel listrik. Cara pertama memakai kabel yang merentang di atas rel. Lokomotif listrik dilengkapi "sepatu pengumpul", batang logam yang menggelincir di sepanjang kabel. Batang logam ini menempel pada kabel dengan bantuan pantograf, rangka logam yang bisa naik-turun dengan sistem pompa udara (kompresor).
Cara kedua, arus listrik dialirkan ke motor penggerak melalui "rel ketiga". Motor penggerak roda-roda kereta menerima energi melalui sepatu logam yang menggelincir di sepanjang rel yang dipasang di samping rel kereta. Kereta bawah tanah (subway) umumnya menggunakan sistem rel ketiga ini.
Aliran listrik yang dikumpulkan melalui pantograf atau "sepatu logam" selanjutnya dialirkan ke main transformer. Bagian ini merupakan perangkat gulungan bermedan magnet yang berfungsi menaikkan dan menurunkan voltase listrik sesuai dengan kebutuhan kereta. Perbedaan voltase ditentukan oleh proporsi gulungan pada bagian input dibandingkan dengan proporsi pada bagian output.
Dari main transformer, sebagian tenaga listrik dialirkan ke motor penggerak (traction motor) yang terpasang di tiap-tiap garda atau as roda kereta. Berkat motor-motor penggerak inilah kereta listrik bisa melaju cepat. Lokomotif listrik berskala besar bisa menghasilkan lebih dari 9.000 daya kuda dan bisa melaju pada kecepatan di atas 200 kilometer per jam. Dari main transformer, sebagian arus listrik juga dipakai menghidupkan sistem internal.
Untuk memasok kebutuhan energi kereta listrik, ada dua sistem listrik yang biasa dipakai, sistem arus listrik searah (direct current atau DC) bertegangan 600 volt sampai 1.500 volt dan arus listrik bolak-balik (alternating current atau AC) bertegangan 11 ribu volt hingga 25 ribu volt. Belakangan, sistem AC lebih banyak digunakan. Ini terutama karena sistem AC menyediakan energi yang hampir tak terbatas. Semua sistem itu dikendalikan melalui panel kontrol di ruang kerja masinis.
Melihat rumitnya proses menggerakkan roda-roda kereta, serta besarnya sumber energi yang diperlukan, wajar saja jika masih banyak orang yang mempertanyakan sebab-sebab kejadian kereta "hantu" itu. Sebelum ada penjelasan yang terang-benderang, kisah-kisah aneh pun tampaknya akan tetap berseliweran.
Jajang Jamaludin, Deffan Purnama (Bogor), Bobby Gunawan (Bandung), Dimas Adityo (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo