KABAR baik bagi para pengguna citra satelit Landsat. Menginterpretasikan citra canggih ini, kini, dapat dilakukan di rumah. Asalkan sebuah komputer pribadi (PC) tersedia. Semua ini dimungkinkan gara-gara Nasarudin Ginting, 24, jatuh cinta pada komputer. Mahasiswa tingkat akhir ITB ini mengotak-atik PC hingga mampu mengolah citra satelit Landsat. Padahal, pengolahan ini biasanya dilakukan dengan komputer khusus yang lebih canggih yang harganya saja, menurut seorang ahli di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), lebih dari setengah milyar rupiah. Ginting - saat ini tercatat sebagai mahasiswa di Jurusan Elektro dan Matematika ITB - mulai tertarik citra satelit gara-gara sering diskusi dengan temannya dari jurusan geologi. "Dari macam-macam pembicaraan itulah lahir ide membuat komputer yang dapat menganalisa data orisinil Landsat dengan PC," kata Ginting, dengan logat Batak yang kental. Sekadar pengingat, Landsat adalah satelit AS yang dilengkapi kamera pemantau canggih. Satelit ini mengorbit pada ketinggian 920 km di atas permukaan laut. Setiap hari ia mengelilingi bumi 14 kali, melalui kutub utara dan selatan. Karena bumi berputar, ini berarti satelit meliput semua bagian bumi, dengan satu titik dilewati setiap 18 hari. Adapun hasil liputan kamera -- yang bermanfaat untuk mendeteksi kekayaan alam bumi dan perencanaan pembangunan - dapat diperoleh semua orang dengan biaya minimal. Indonesia termasuk negara yang memanfaatkan citra ini sejak satelit Landsat pertama diluncurkan, 1972. Bahkan sejak 1983 Lapan mendirikan stasiun bumi Landsat di Pekayon, tak jauh dari Jakarta. Dengan adanya stasiun ini, citra, yang tadinya harus dipesan tiga bulan sebelumnya dari AS, dapat langsung diterima setiap melewati Indonesia. Untuk itu, Indonesia tak keberatan membayar US$ 200.000 setahun. Salah satu contoh manfaat ini terjadi beberapa tahun silam. Ketika itu Menteri PPLH Emil Salim meminta para pemangku kehutanan melaporkan keadaan hutannya masing-masing. Ternyata, hampir semua melaporkan keadaannya baik. Barulah kemudian Menteri Emil Salim menunjukkan citra Landsat. Dari citra itu ketahuan bahwa sebagian hutan sudah buruk keadaannya. Paling tidak, demikianlah penuturan seorang pejabat tinggi Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal). Mengolah citra Landsat tadi hingga memberi informasi yang bermanfaat biasanya dilakukan komputer. Sebab, citra yang dikirim satelit memang masih mentah. Yaitu berupa santiran-santiran (pixel = picture elemen) yang memberi informasi intensitas berbagai spektrum cahaya dari obyek yang direkam. Untuk Landsat V --yang saat ini mengorbit-- tiap santiran mengandung informasi dari 7 spektrum cahaya, baik yang tampak maupun tidak, seperti inframerah. Setiap benda biasanya mempunyai karakteristik tertentu dalam memantulkan spektrum cahaya tadi. Tugas komputer adalah memunculkan karakter yang dicari itu di layar. Biasanya komputer memberi warna khusus pada benda itu hingga di layar tampak mencolok. Misalkan saja membuat warna hutan sagu di Kepulauan Maluku menjadi merah menyala. Dengan demikian, para ahli dapat, secara cepat, memperkirakan berapa luas hutan sagu yang terdapat di kepulauan itu. Yaitu hanya dengan mengukur luas daerah warna merah tadi. Apa yang dilakukan Ginting adalah membuat program pada PC hingga mampu melakukan proses itu. Ini bukan hal mudah mengingat kapasitas PC biasanya terbatas tak sampai sejuta bit. Sedangkan komputer khusus pengolah citra Landsat, misalnya yang dimiliki Lapan, mempunyai kapasitas besar, 300 juta bit. Tapi justru inilah kelebihan Ginting. Ia mampu membuat program yang hemat memori. Mungkin karena ia menggunakan bahasa komputer yang tepat. "Saya menggunakan bahasa C dan assembler," kata Ginting. Biasanya orang menggunakan bahasa basic bila membuat program di PC. Maklum, kedua bahasa komputer itu sangat pelik, dan memang ditemukan sesudah lahirnya bahasa basic. Selain membuat program komputer tadi, Ginting juga melakukan penyesuaian piranti keras pada PC-nya. Monitor (layar TV) ia ganti dengan yang high resolution, dan pada PC ditambahkan rangkaian EGA (Enhancement Graphic Adaptor). Alhasil, terjadi peningkatan jumlah warna dan kehalusan gambar yang ditampilkan. PC standar, misalnya, hanya mampu menampilkan 4 warna dengan jumlah santiran 320 = 200. Dengan penambahan itu menjadi 16 warna dengan 640 = 350 santiran. Kedua peralatan ini memang tersedia di pasar dengan harga total sekitar satu setengah juta rupiah saja. Maka, harga total PC yang mampu mengolah citra satelit ini tak sampai 10 juta rupiah. Bahkan bila menggunakan PC bukan asli IBM bisa separuhnya. Jelas tak bisa dibandingkan dengan komputer khusus yang setengah milyar itu. Wajarlah jika banyak pengguna citra Landsat tertarik untuk memakainya. Hal ini tampak dari besarnya perhatian yang diberikan ketika alat ini diperagakan dalam sebuah seminar, awal bulan ini, ketika Jurusan Elektronika ITB menyelenggarakan seminar dan workshop Pengolah Citra dan Pengenalan Pola. Perhatian serius diberikan oleh peserta dari Puslitbang Geoteknologi dan Lapan. "Ini kami lakukan karena teknologi yang kita terapkan selalu mengarah pada low cost," kata Suparka Y., Kepala Puslitbang Geoteknologi. Bahkan pihak Lapan lebih sigap. "Kami sedang mengadakan studi penjajakannya," kata Mawardi, staf ahli Lapan di Pekayon. Maklum, PC yang dimodifikasikan Ginting ini tentu belum sempurna. Kekurangan komputer Ginting dibandingkan komputer khusus milik Lapan, misalnya, memang ada. Misalnya saja komputer Ginting tak dapat mengolah satu bingkai citra Landsat sekaligus. Satu bingkai ini biasanya meliput daerah seluas 185 x 185 km2. Komputer Ginting harus mencicil pengolahannya sekitar 50 kali. Selain itu, kemampuan menampilkan warnanya masih kalah. Komputer Perkin Elmer milik Lapan, misalnya, mempunyai kemampuan menampilkan 256 warna dengan jumlah santir 4096 x 4096. Kendati demikian, menurut Dr. Fred Hehuwat dari Puslitbang Geoteknologi, "Untuk keperluan rutin, PC menjawab kebutuhan kami dengan baik." Bambang Harymurti, Laporan Didi Sunardi (Biro Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini