SAYA menyimak pernyataan eksponen Angkatan 66 dengan bersemangat. Ketika membacanya, saya membayangkan seorang pemuda gagah berdiri di kap Mercedes, memekikkan sesuatu. Tangannya mengepal, mengacungkan ke atas. Isi pernyataannya berbobot. Membawakannya berseni. Tiap orang kenal siapa dia. Kenal impian dan cita-citanya. Bahkan banyak yang dengan cermat mengamati jejak langkahnya. Bila sudah begini, hati berdebar. Otak berteka-teki. Ke mana gerangan arah sang patriot kali ini? Pernyataan eksponen 66 kali ini memang jitu: mengundang anggukan orang, pertanda setuju. Biasanya saya cukup bersikap cincay. Tapi kali ini saya ingin menyambut, dan dahi pun terpaksa berkerut. Karena isinya serius, disampaikan dengan tulus. Pilihan kata-katanya mereda, tidak lagi dengan gaya panas Tritura. Makin dewasa, bertambah arif pembawaannya, lebih suka mengimbau daripada memekik parau. Betapa tidak elok dan santun, imbauannya agar kualitas demokrasi Pancasila ditingkatkan. Mekanismenya lebih dikembangkan. Bahasa yang halus, isinya pun mulus. Bahkan Bung Albert Hasibuan yang pemimpin laskar tak kurang santunnya. Katanya, tahap pembangunan sekarang ini membutuhkan langkah dan gagasan yang tetap bercirikan Orde Baru. Bung Albert tidak bilang, tetapi Anda diharap ingat. Ciri Orde Baru ialah tekad mengadakan koreksi total terhadap segala praktek yang menyeleweng dari Pancasila dan UUD 1945. Tentu saja semua akur. Tetapi mengapa tiba-tiba tekad mesti berciri? Mumpung ulang tahun, ia pun berniat mengingatkan diri sendiri, teman-teman dan sebangsanya: agar proses berbangsa dan bernegara mampu selalu membarui dirinya, sehingga tidak terseret pola-pola yang beku, usang, dan tidak dinamis. Amboi manisnya. Cendekiawan muda ini memang selalu memukau. Sikapnya, ketulusannya, konsistensinya, solider dengan masyarakat dan solider dengan pergumulan rakyat. Bung Albert pun adreng hadirnya seorang juru bicara hati nurani rakyat dan demokrat konsisten. Lho? 'Kan dulu janjinya sampeyan yang menugasi diri menjalankan fungsi itu? Walaupun demikian, saya ingin tetap berseru, Horas ! Karena ini perkara serius, bercandanya mesti berbau serius. Karena itu, ibarat Anda raja, perkenankan rakyat ikut bicara. Kalau mau kualitas demokrasi Pancasila ditingkatkan, asas kerakyatan mestilah dikukuhkan. Bila mau menanak demokrasi, kita tengok dulu nyala tungku api. Dan bila api tungku demokrasi ialah semangat insan politiknya, apakah rakyat Indonesia -- sebagai irisan politik - masih pada mau, dan bisa bersemangat demokrasi. Kawan saya, yang tokoh politik dan eksponen Orde Baru, ada yang berkelakar serius. "Belum tentu, lho, sebagian besar rakyat benar-benar mau menggunakan kedaulatan mereka." Dia tentu bukan politikus yang suka menyalahgunakan ketidakpedulian cuma mau meledek rekannya yang sok populis. Tetapi, memang, andai toh banyak yang mau, belum tentu mereka bisa. Wong demokrasi Pancasila itu mesti menggunakan hak dengan penuh tanggung jawab. Dan kalau ada banyak yang mau, dan ada pula yang bisa, maka ada pula maksim dari Prof. Padmo Wahjono, sebuah analogi ajaran P4 dari Wageningen yang patut direnungkan: "Ketahuilah yang Anda katakan, dan jangan katakan semua yang Anda tahu." Lho? Padahal, saya telanjur percaya juga pada maksim saya sendiri. Demokrasi hanya berkualitas bila insan politiknya masih mau, bisa, dan berkesempatan, untuk aktif, reaktif, interaktif, dan kreatif, menanggapi masalah kebangsaan dan kenegaraan, secara bertanggung jawab. Maka, bila api kedaulatan itu menyala, barulah kita boleh mencari bahan bakunya. Dan bahan baku asas kerakyatan adalah harkat dan kehormatan insan. Isinya: keragaman dan perbedaan-perbedaan. Karena itu, sudahkah kita punya sikap budaya, tradisi, dan praktek bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, yang menjunjung tinggi harkat manusia ini? Sekarang, kita tengok perabot di dapur. Tentu sudah lama kita miliki periuk penanak demokrasi. Sebab, hanya periuk yang utuh (solid) dapat menghasilkan suasana persamaan, kebebasan, persaudaraan. Dan, memasaknya pun mesti berhati-hati. Mengaduknya mesti merata. Harus dicegah sebagian bahan masakan melilit bahan yang lain. Seisi periuk mesti diusahakan masak bersama-sama. Terakhir, jangan lupa, siramkan fla pada masakan yang siap guna. Pemanis itu memang bukan ramuan pokok, tetapi penting. Adapun fla itu ialah keberanian - dus, pembebasan dari rasa gentar dan takut-takutan. Itu dulu tugas Angkatan 66, prestasi Angkatan 66. Saya bersyukur, itu sekarang tetap kepedulian Angkatan 66. Kalau tidak bisa membuat fla, memang, jangan mimpi masyarakat terbuka. Bikin puding tanpa fla ibarat bikin dodol tanpa gula. Tak mungkin Anda memasyarakatkan dodol (meskipun mungkin mendodolkan masyarakat) bila tak punya gula.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini