Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Tertawa itu laris

Buku-buku terlaris 1986, "mati ketawa cara rusia" menduduki peringkat pertama. kedua, "buku pintar", ketiga, "misteri danau siluman". "buku pintar" tak masuk penilaian ikapi dan dianggap bukan buku. (bk)

24 Januari 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKU yang terlaris ternyata buku yang mengajak orang tertawa. Ini terbukti dengan suksesnya pemasaran buku Mati Ketawa Cara Rusia, karya Dolgopolova, terbitan PT Pustaka Grafiti. Buku yang ditemukan Pustaka Grafiti pada pameran buku di Jerman Barat tahun 1985 itu tak disangka bisa mencapai penjualan yang spektakuler. Dalam waktu 10 bulan sejak beredar bulan Maret 1986, lebih dari 110.000 eksemplar laku dengan harga jual Rp 2.000. "Jumlah yang beredar itu belum termasuk bajakannya," kata A. Muthalib Kepala Divisi Pemasaran Pustaka Grafiti. Mengalami tujuh kali cetak ulang, buku tersebut pantas menjadi mascot penerbitnya. Sebelum sukses dengan Mati Ketawa, Pustaka Grafiti hanya mampu mencetak ulang paling banyak sampai tiga kali, seperti Keluarga Jawa. Ini kecenderungan baru bahwa buku humor ternyata juga laku di pasaran. Dan ini kejutan, bahkan bagi penerbitnya sendiri. Sebab, majalah-majalah lucu, seperti Humor, Stop, atau Astaga, ternyata tak mampu bertahan di pasaran dengan baik. Satu keuntungan dari buku Mati Ketawa ini tak lain karena membedah lebih jauh kehidupan sebuah negara adidaya yang terkenal tertutup itu, dengan penghidangan yang kocak. Ekor sukses penjualan pemasaran buku itu serta merta mendorong penerbit lain mengikuti jejak Pustaka Grafiti. Akhir November lalu, misalnya, muncul buku Banyolan Tentang Dokter terbitan Tata Media, yang belum diketahui pasti laku jualnya. "Bahkan saya dengar, bakal muncul buku-buku humor dari penerbit lain," kata Doddy Yudhista, Ketua Ikapi Jaya. Mati Ketawa, dalam jenjang buku-buku terlaris, telah mendesak buku yang lebih banyak mengetengahkan informasi yang diberi nama Buku Pintar Seri Senior, susunan Iwan Gayo. Buku ini telah terjual 15.000 eksemplar dalam waktu tiga bulan. Karena itu, buku yang disiapkan selama empat tahun ini berada di tempat kedua dalam pemasaran buku di Indonesia. Buku yang memberi informasi, mulai dari menteri agama pertama, astrologi, obat-obatan tradisional, jadwal salat, sampai pemenang Citra tahun 1986, itu memang merupakan kelanjutan sukses buku yang sama, seri yunior, yang terbit pada 1982. Sukses itu telah membawa Iwan, bekas wartawan Sinar Pagi, dapat menyewa kantor di Kebayoran Plaza dengan tarif Rp 3 juta untuk dua tahun dan mempekerjakan delapan orang, di samping keberuntungan lain, sebuah Honda Accord. "Dalam sehari saja bisa laku 100 eksemplar dengan harga jual Rp 9.000," ujar Iwan. Buku laris ke-3 adalah buku seri detektif. Karya Alfred Hitchcock, Misteri Danau Siluman, terbitan Gramedia ini, telah terjual 12.000 eksemplar dalam waktu tidak sampai satu tahun. Demikian pula Mossad II -- cerita tentang agen rahasia Israel -- lanjutan sukses Mossad I terbitan Mega Media Abadi juga tercatat laku keras hanya dalam tempo tiga bulan ini. Di samping itu, ada juga kitab berat yang ternyata laku, seperti Asal-Usul Manusia, karangan Maurice Bucaille dan buku tipis Jilbab, keduanya terbitan Mizan, Bandung. Keduanya telah terpasarkan 8.000 eksemplar dalam waktu relatif singkat. Bahkan kumpulan tulisan Bondan Winarno di TEMPO - Seratus Kiat terbitan Pustaka Grafiti, tentang manajemen yang disajikan secara ringan - telah terjual 7.000 eksemplar. Agaknya, buku yang mengajak orang tertawa - yang menyuguhkan informasi utuh, yang banyak memberi tahu soal-soal pelik yang sangat rahasia (yang kebanyakan karya terjemahan) - merupakan buku yang banyak dibeli orang pada tahun 1986. Ini berbeda dengan buku laris tahun 1985 yang masih didominasi karya fiksi dan karya asli negeri ini. Tahun 1985, Melacak Topeng (serial Lima Sekawan) terbitan Gramedia menempati urutan teratas, laku 15.000 eksemplar. Hal itu membuktikan, bukan buku yang diiklankan secara gencar oleh penerbit padat modal saja yang dapat laku keras. Buku Pintar dan Mossad II, misalnya, terbukti mampu menerobos pasar dengan hanya modal dengkul. "Kami hanya bermodalkan keberanian," kata Iwan Gayo. Penerbit Mossad sendiri tak menyangka, dalam waktu singkat bukunya bisa laku keras. Sejak 1984, Mega Media Abadi, penerbit Mossad itu, baru bisa menyewa sebuah rumah kecil di pinggiran Jakarta Timur, di tepian Kali Malang, di tengah perkampungan bukan daerah bisnis yang ideal. Penerbit kecil yang tak terkenal dan hanya mampu menggaji tiga karyawan itu kini mulai bisa membeli sebuah sepeda motor bekas untuk mengedarkan sendiri buku-bukunya ke beberapa toko buku. "Untuk meminjam uang ke bank, saya sama sekali tidak berani," kata Y. Purwoko, 38, penerbitnya. Dengan cara ini Purwoko toh, untuk sementara, sudah berhasil. Meskipun sudah bisa diketahui adanya buku-buku laris, kalangan perbukuan sendiri ternyata tidak akan menobatkan semacam "gelar" atau "mahkota" -- seperti "buku terlaris" -- bagi Mati Ketawa yang laku bak kacang asin itu. "Sejak 1985 kami baru bisa membuat kategorinya, belum mengarah ke sana," kata Doddy. Herman Darmo, 32, redaktur buku dan kepala dokumentasi harian Kompas, secara pribadi juga melakukan hal yang sama selama dua minggu ini. Bedanya, Ikapi lebih menekankan pada terbitan anggotanya. Karena itu, Buku Pintar, yang diterbitkan oleh penerbit yang belum menjadi anggota Ikapi, tidak dinilai. Malah dianggap bukan "buku". Berbeda dengan Kompas yang memasukkan buku tersebut, karena dinilai banyak pembaca yang membutuhkan. Ikapi memantau tingkat laku jual sebuah buku dari beberapa toko. Herman pun melakukan hal serupa, meski hanya terbatas pada Gramedia dan Gunung Agung. Ia hanya memantau kedua tempat tersebut karena diyakini di sana tidak dijual buku-buku bajakan. Selain itu, ia juga mengecek pada penerbitnya. Karena itu, Herman mengesampingkan buku semacam Seni Pijat Refleksi. "Buku seperti itu, kontrol bajakannya sulit," katanya. Herman mengaku telah memulai sejak tahun yang sama. "Tapi sebenarnya hanya untuk kepentingan pemberitaan," katanya. Artinya, sejak semula tidak ada maksud menetapkan gelar semacam The Best Sellers dalam perbukuan. Hal pembajakan buku memang jadi momok para penerbit, terutama penerbit bermodal kecil. Menurut catatan Ikapi Jaya, setiap kali terbit buku yang kemudian laris, hampir bisa dipastikan muncul pula bajakannya. Karena itu, para penerbit lantas berusaha memperkukuh galangan pasar guna menutup celah-celah masuknya para pembajak. Iwan, misalnya, memperkaya terbitannya dengan warna-warna dengan maksud mempersulit pembajakan. Sebab, mencetak buku yang kaya warna tentu membutuhkan biaya besar. Logikanya, biaya mahal tentu akan dihindari pembajak. Ikapi sendiri membuat semacam lembaga pemantauan untuk itu. Siapa tidak resah jika buku berharga Rp 2.000, dalam bentuk bajakannya bisa dijual jauh di bawah harga, hanya Rp 850, seperti Mati Ketawa itu? Musthafa Helmy

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus