Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Muchamad Nur Ramadhani, merupakan dokter gigi difabel yang meraih beasiswa S2 di Humbold Universitaet Zu Berlin, Institut of Tropical Medicine at Charite, Universitat Medizin Berlin. Lewat beasiswa afirmasi dari Lembaga Pengelola Dana Keuangan (LPDP), Ramadhani berhasil meraih gelar Master of Science in International Health pada 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mulanya, Ramadhani sempat diragukan sejumlah orang karena kondisi fisiknya. Kaki kanan Ramadhani diamputasi pada 2008 lalu karena kanker tulang yang menjalar ke lutut kanannya. Paha bagian atas hingga ujung kaki harus dikorbankan untuk membunuh sang sel ganas. "Sangat berat untuk memutuskan diamputasi atau tidak kala itu," ujar Ramadhani dikutip dari mediakeuangan.kemenkeu.go.id.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kursi roda setelahnya menjadi teman setia Ramadhani. Hal itu berdampak pada seluruh aktvitasnya termasuk sekolah. Ketika pada ujian nasional untuk masuk SMA, Ramadhani justru harus melakukan proses penyembuhan pasca operasi. Ia pun memutuskan mengulang kelas 9 SMP pada tahun berikutnya. "Waktu itu ketika operasi umur 14 tahun. Sempat minder karena belum siap," ujarnya.
Namun, berkat kegigihan dan semangat, Ramadhani dapat menjalani sekolahnya dengan baik. Bahkan, dia mendapat peringkat pertama di SMA dan berkesempatan mengikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) lewat jalur undangan.
Sempat Diragukan Tak Bisa Mengikuti Kuliah
Meski gagal masuk jurusan Kedokteran, Ramadhani kemudian mencoba mendaftar di Fakultas Kedokteran Gigi. Saat memilih kampus, banyak yang mensyaratkan mahasiswanya tidak boleh tunadaksa. Akhirnya, Universitas Padjajaran (Unpad) menerima dirinya karena tidak mensyaratkan hal tersebut. Namun, baru saja dia lega setelah diterima, Ramadhani dipanggil ke ruang dekan.
Mereka meragukan kemampuan Ramadhani untuk menjalankan pendidikan maupun tanggung jawab setelah dia lulus nanti. Sebab, senior sebelumnya yang tunadaksa dengan kursi roda juga kesulitan dan tidak mampu menyelesaikan pendidikannya. Namun, Ramadhani menolak menyerah. Dia meyakinkan pihak kampus bahwa dirinya bisa. "Yang menguatkan saya adalah semangat, keyakinan bahwa pendidikan dokter gigi ini merupakan amanah Allah", ujarnya.
Sempat divonis hanya mampu sampai sarjana saja tanpa bisa melanjutkan pendidikan spesialisasinya, Ramadhani justru meraih beasiswa S2 di Jerman. Dia berhasil menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar spesialis dokter gigi pada 2018. Setelahnya, dia bekerja pada beberapa klinik dokter gigi dan di Puskesmas di Gorontalo. Barulah setelah itu, ia menggunakan kaki palsu atau prostesis untuk mempermudah aktivitasnya.
Menjadi Abdi Negara
Ramadhani memilih Jerman karena sebelumnya pernah tinggal di sana. Karena pekerjaan ayahnya, pada 1999 dia pindah ke Jerman. Sedari kelas I SD hingga SMP kelas 1, dia lewati di Negeri Panzer. Ayah Ramadhani merupakan abdi negara. Dia kemudian tertarik pula menekuni hal yang sama. Setelah selesai studi dan kembali ke Indonesia, Ramadhani bekerja pada Direktorat Jenderal Tenaga Kesehatan di Kementerian Kesehatan Republik Indonesia sampai saat ini.
Dia berpesan agar para mahasiswa yang memiliki keterbatasan jangan berkecil hati dan terus bersemangat menggapai cita. "Saya yakin banyak disabilitas memiliki kelebihan yang sangat besar dibanding kekurangannya sehingga itulah yang harus digali untuk mendapatkan prestasi tersebut", katanya.