Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Laba-laba di Pusat Kawah

Proyek bola beton diteruskan. Tim Institut Teknologi Bandung memperkuatnya dengan teknologi jaring laba-laba.

18 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat itu selalu tersimpan di dalam tas Bagus Endar Nurhandoko. Datang dari Menteri Pekerjaan Umum, isinya meminta Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo meneruskan kembali pencemplungan bola beton yang terhenti sejak dua bulan lalu. Bagus adalah ketua tim pencemplungan. Hatinya gembira tatkala membaca surat Menteri Djoko Kirmanto, walau ada rasa waswas. ”Dari mana dananya?” kata Bagus kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Ya, problem dana memang menjadi kendala utama menyetop lumpur Lapindo. Bagus mengaku belum mendapat uang muka dari Lapindo. Ia terpaksa memutar otak, mencari jalan lain untuk membayar anak buahnya. Di luar duit, dia pusing kepala soal koordinasi. Badan Pengelola Migas, PT Lapindo Brantas, dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo menyetop pencemplungan bola beton. Pak Menteri meminta proyek ini jalan terus.

Bahkan kini ada tambahan tugas baru. Bersama dua dosen Institut Teknologi Bandung, Satria Bijaksana dan Umar Fauzi, Bagus diminta menyiapkan teknologi jaring laba-laba (spider web technology) yang akan disuntikkan ke lubang semburan. ”Di kedalaman tertentu, alat ini akan mengembang membentuk jaring laba-laba,” katanya.

Di atas jaring, Bagus dan koleganya menempelkan bola-bola beton hingga kedalaman 1.200 meter. Sebelumnya dicemplungkan wireless logging. Alat tanpa kabel ini berguna mengetahui tekanan dan temperatur lumpur. Bentuk geometri kawah semburan akan terdeteksi dengan alat ini. Selama setahun, pemerintah dan PT Lapindo Brantas lalai melakukan studi pada kedalaman 1.000 meter.

Target yang dicemplungkan adalah 2.000 untaian bola beton. Tapi baru 398 untaian yang dilontarkan ke dalam lumpur. Kepala Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo Sunarso menyatakan siap menjalankan keputusan Dewan Pengarah, yang dipimpin Menteri Pekerjaan Umum. ”Status kami hanya pelaksana,” ujar mantan Panglima Kodam Diponegoro itu Rabu pekan lalu. Dewan ini beranggotakan sejumlah menteri terkait dan Gubernur Jawa Timur. Menurut Sunarso, pihaknya sudah mengkaji beberapa alternatif penghentian lumpur, termasuk insersi bola beton.

Nah, jaring laba-laba diperlukan guna mengkonsentrasikan bola beton pada satu target kedalaman tertentu. Bagus sudah menyiapkan lima jaring yang bakal mencengkeram lubang semburan. ”Untuk amannya, butuh 10 jaring.” Setiap jaring berisi 30-50 untaian—satu untaian terdiri atas empat bola beton.

Pada kedalaman 1.000-1.200 meter bakal terbentuk cluster bola beton. Bagus mengibaratkan bekerjanya jaring laba-laba seperti pembuluh darah manusia ketika bagian kulit terluka. ”Darah lama-kelamaan berhenti keluar karena ada jaringan pembuluh yang menutupnya,” ujar doktor bidang pemetaan bawah permukaan dari Universitas Kyoto, Jepang, itu.

Dari prediksi tim ITB, volume semburan lumpur perlahan-lahan akan berkurang hingga akhirnya berhenti. Bagus mengakui target ini memang berbeda dengan misi pencemplungan bola beton yang diniatkan cuma mengurangi debit lumpur. ”Saat ini pemerintah dan warga Sidoarjo tak hanya ingin menang angka, tapi menang knockout,” ujarnya kepada Tempo.

Dia optimistis metode insersi bola beton plus jaring laba-laba bakal menuai sukses. Sejumlah indikator keberhasilan pencemplungan 398 bola beton, katanya, sudah tampak. Pertama, turunnya jumlah gelembung (bubble) baru di sekitar kawah semburan. Sejak Oktober 2006 sampai Februari 2007, muncul satu gelembung atau semburan baru pada setiap bulan. Pada Februari lalu bahkan tercatat 9 gelembung baru.

Tim pimpinan Bagus lantas mencemplungkan bola beton hingga 398 untaian pada Maret lalu. Satu untaian terdiri atas dua bola berdiameter 40 sentimeter dan dua bola lain bergaris lingkar 20 sentimeter. Satu bulan kemudian, menurut Bagus, cuma terdapat satu gelembung aktif.

Debit semburan juga berkurang hingga 30 persen setelah bola beton meluncur ke dasar lubang. Sebelumnya, volume lumpur 150 ribu meter kubik per hari. Kemudian, ”Berkurang menjadi kisaran 80-100 ribu meter kubik,” ujar dosen di ITB itu.

Kadar air dari lumpur juga meningkat. Menurut Bagus, ini mengindikasikan mekanisme penyaringan dari bola-bola beton mulai bekerja memerangkap material padat. Hanya material yang halus, air, dan gas yang terus muncrat. ”Kemungkinan ada mekanisme self healing, yaitu semburan lumpur akan menutup dengan sendirinya secara pelan-pelan,” ujarnya.

Optimisme Bagus diragukan oleh Bambang Istadi, geolog yang menjadi kepala tim ahli PT Lapindo Brantas. Menurut dia, ada persamaan antara metode bola beton dan cofferdam, yakni mengasumsikan semburan lumpur dari satu lubang. ”Padahal di bawah permukaan sudah terjadi patahan-patahan kecil yang menyebar,” katanya.

Dari patahan itulah, kata Bambang, lumpur menyembur ke kawah utama dan lubang-lubang kecil atau bubble. Dia mencontohkan bubble-bubble pada radius satu sampai tiga kilometer dari kawah yang muncul. Menurut dia, sejak awal, semburan lumpur selalu berfluktuasi dan tak bisa diklaim sebagai keberhasilan insersi bola beton. Namun Lapindo, kata dia, mendukung semua upaya. ”Kami hanya juru bayar,” ujarnya.

Badan Penanggulangan Lumpur terus mengkaji semua teknologi yang ditawarkan. Di depan Komisi Infrastruktur DPR, Sunarso menguraikan empat alternatif teknologi pada Senin pekan lalu, dari relief well 3, insersi bola beton, double cofferdam (tong setan), hingga bernoulli dam. ”Kami juga melakukan kajian akhir mekanisme dan dampak lingkungan upaya mengalirkan lumpur ke laut,” ujarnya.

Dari alternatif teknologi itu, yang paling murah memang insersi bola beton. ”Proposal yang kami ajukan cuma Rp 4 miliar,” ujar Bagus.

Sebelum bola beton, teknologi pengeboran melalui snubbing unit dan relief well (1 dan 2) telah diterapkan. Teknologi ini sudah memakan biaya Rp 800 miliar. Adapun ongkos cofferdam diperkirakan mencapai Rp 600 miliar. Semuanya demi membungkam aksi lumpur yang membenamkan Porong sejak 29 Mei tahun lalu.

Untung Widyanto, Rohman Taufiq (Sidoarjo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus