Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ENNY Soeprapto begitu percaya diri saat mendapat giliran masuk ruang Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat. Berkemeja batik, menenteng tas berisi segepok makalah tentang hak asasi manusia, pria 74 tahun itu berusaha duduk tegap di hadapan sekitar 30 anggota Dewan. Enny adalah satu dari 43 orang yang kini ”berebut” menjadi anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia periode 2007-2012. Rabu pekan lalu, Enny—yang kini juga masih menjadi anggota Komnas HAM—mulai menjalani tahapan seleksi di DPR.
Enny masuk ke ruang Komisi Hukum DPR setelah calon lainnya, Dian Kartika Sari, selama 45 menit dites para anggota Dewan. Ada 15 anggota yang mempertanyakan apa yang bakal dilakukan Deputi Direktur International NGO Forum on Indonesian Development itu jika terpilih menjadi salah satu dari 20 anggota Komnas HAM. ”Mereka lebih banyak mempertanyakan seputar misi dan visi saya,” ujar Dian.
Tapi, terhadap Enny, para anggota Komisi Hukum ini tampil garang. Di mata sejumlah anggota Komisi Hukum DPR, Komnas HAM selama ini bak macan ompong—hanya bisa ”mengaum” dan tak menghasilkan apa-apa. ”Kalau Komnas HAM seperti macan ompong, kenapa Anda masih happy untuk dicalonkan lagi?” tanya Benny K. Harman, anggota Fraksi Partai Demokrat. Dicerca pertanyaan ini, Enny terbelalak. ”Yang membuat ompong itu, ya, undang-undangnya sendiri,” katanya.
Enny lantas membeberkan ”keompongan” lembaganya. Menurut dia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menjadi dasar berdirinya Komnas HAM, banyak bolongnya. Akibat paling fatal, instansi yang mendapat rekomendasi dari Komnas HAM atas terjadinya pelanggaran hak asasi tak punya kewajiban menindaklanjuti rekomendasi itu. ”Maka omponglah Komnas HAM,” katanya.
Enny bisa jadi memang benar. Selama ini, rekomendasi Komnas HAM memang mentok di mana-mana. Bahkan di DPR dan di kejaksaan. Sejumlah kasus penculikan terhadap aktivis mahasiswa yang direkomendasi Komnas HAM untuk ditindaklanjuti kejaksaan sampai kini tak jelas nasibnya. Padahal Komnas HAM yakin aparat keamanan terkait dalam penghilangan para aktivis itu.
Dengan kendala seperti itu, tak aneh, banyak yang pesimistis lembaga yang berdiri sejak 1993 ini bisa menjalankan fungsinya—sekalipun 20 anggotanya yang pada 30 Agustus mendatang habis masa tugasnya itu, misalnya, diganti semuanya. ”Saya pesimistis seleksi yang dilakukan DPR mampu mengubah kerja Komnas,” kata Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (Kontras) Usman Hamid.
Di mata Usman, biang keladi kelemahan lembaga ini justru adalah kelahirannya yang sekadar sebagai reaksi dunia internasional terhadap insiden Santa Cruz, Timor Timur. Akibatnya, ujar Usman, pembentukannya tidak betul-betul untuk menegakkan hak asasi manusia. ”Lebih sebagai perisai politik dan simbol diplomasi Indonesia menghormati HAM,” ujarnya.
Usman mengakui kewenangan lembaga ini memang lemah. Namun, jika dilihat dasar hukum pembentukan awalnya berupa keputusan presiden (Keppres Nomor 50 Tahun 1993) dan kini ”naik pangkat” berdasar undang-undang, itu sudah kemajuan besar. Menurut Usman, saat undang-undang HAM disusun, pembentuk undang-undang seharusnya memberi Komnas HAM ”taring tajam” seperti yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi. Jadi lembaga ini bisa melakukan penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan. ”Tidak hanya bersifat memberi rekomendasi,” katanya.
Walau demikian, Usman menolak jika lemahnya kewenangan Komnas HAM itu dijadikan alasan lembaga ini untuk tak berani ”bergerak agresif”. ”Lihat saja, sewaktu Komnas melakukan penyelidikan kasus Timor Timur dan kasus Tanjung Priok, masyarakat tidak mengira lembaga ini dapat bekerja efektif,” kata Usman. Kala itu, Komnas HAM memang melakukan pemanggilan terhadap sejumlah petinggi militer yang dinilai terlibat kasus tersebut. ”Tidak hanya menggonggong, tapi ketika itu juga menggigit,” katanya.
Loyonya kerja Komnas HAM mulai terlihat saat lembaga ini melakukan penyelidikan kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II di era pemerintahan Presiden Megawati. ”Ini lantaran absennya dukungan politik presiden dan DPR,” ujar Usman. Padahal, kata dia, pemerintah sebelumnya cukup mendukung penuntasan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia.
Karena itu, bagi Usman, faktor eksternal—dukungan pemerintah dan DPR—tetap lebih menentukan baik-buruknya kinerja Komnas HAM ketimbang faktor internal seperti lemahnya wewenang lembaga ini. ”Kalau dikatakan mandatnya lemah, kenapa waktu kasus Timor Timur dan Tanjung Priok bisa efektif?” ujarnya.
Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Agung Putri juga menilai adanya dasar hukum undang-undang tidak serta-merta membuat Komnas HAM menjadi lembaga ”bergigi”. Menurut Agung, dalam kultur birokrasi seperti sekarang ini, lembaga yang diberi dasar konstitusional justru akan menjadi lembaga birokrasi. ”Di sini saya lihat Komnas HAM menelan mentah-mentah persepsi itu,” katanya. ”Bukannya tetap menjaga jarak dan tetap independen.”
Di sisi lain, Agung Putri mengakui, memang ada ”perlawanan” dari lembaga negara lainnya untuk mencegah Komnas HAM menggunakan kewenangannya. Agung menunjuk saat Komnas HAM meminta pengadilan memanggil paksa terdakwa kasus pelanggaran hak asasi yang ternyata tak digubris pengadilan. ”Bagaimana Komnas HAM bisa menggunakan kewenangannya kalau untuk memanggil terdakwa saja pengadilan tidak mau?” ujar Agung.
Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara tak menyangkal lembaga yang dipimpinnya menghadapi bertumpuk kendala dalam menjalankan tugas. Dalam sistem perlindungan hak asasi manusia Indonesia, Komnas HAM, kata Hakim, berada pada subsistem penyelidik. Adapun dalam undang-undang dinyatakan bahwa laporan penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM hanya dapat disampaikan ke presiden dan DPR.
Dengan kondisi seperti ini, kata Abdul Hakim, jika aparat negara mengabaikan rekomendasi, secara hukum Komnas HAM tidak bisa melakukan legal action apa pun. ”Kecuali membuka hasil rekomendasi itu ke publik sehingga ada tekanan terhadap aparat yang bersangkutan,” katanya. Menurut Abdul Hakim, salah satu langkah untuk merombak Komnas HAM agar punya taring tajam, ya, harus merevisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. ”Supaya bisa melakukan legal action terhadap instansi negara yang mengabaikan rekomendasi Komnas,” ujarnya.
Dimas Adityo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo