JAMAKNYA, jika ada sengketa dalam keluarga, itu akan diselesaikan dengan cara "kekeluargaan" pula. Tapi kelaziman ini tampaknya tidak berlaku bagi Bernard Ibnu Hardjojo dan Hashim Djojohadikusumo. Sengketa antara kedua pengusaha ini akhirnya terbawa sampai ke meja hijau. Ibnu Hardjojo menggugat pailit Hashim di Pengadilan Niaga Jakarta, Kamis 2 Desember lalu, karena Hashim dituding tidak mau membayar utang pembelian saham senilai US$ 642 ribu.
Meski tidak terlalu dekat, Ibnu Hardjojo dan Hashim sebenarnya masih tergolong kerabat. Ibnu Hardjojo adalah adik kandung almarhum Tien Soeharto, sedangkan Hashim tak lain tak bukan adalah adik Prabowo Subianto, menantu Tien Soeharto.
Perkara dalam keluarga ini bermula dari jual-beli saham antara Hashim dan Ibnu di PT Gunung Ngadeg Djaya—kini pemegang 51 persen saham PT Semen Nusantara Cilacap. Perusahaan yang juga memproduksi kabel itu dimiliki Ibnu dan beberapa pemegang saham lain. Pada 1991, Ibnu, yang mengantongi 125 lembar saham yang masing-masing bernilai US$ 60 ribu, melego saham miliknya itu kepada Hashim dan Titiek Prabowo.
Disepakati bahwa pembayaran pembelian saham itu diangsur tiga kali. Pembayaran pertama, sebesar US$ 2.494.800, mulus-mulus saja. Angsuran kedua, US$ 642.600, juga tidak ada masalah dan dibayar tepat waktu. Namun, pada cicilan ketiga, yang seharusnya jatuh tempo pada 2 Oktober 1997, Hashim dan Titiek tak kunjung membayar sisa kredit saham itu, sebesar US$ 642. 600.
Pendekatan kekeluargaan bukannya tak pernah dilakukan. Menurut kuasa hukum Ibnu Hardjojo, M. Sholeh Amin, setidaknya delapan kali Hashim diajak berembuk untuk menyelesaikan utang-piutang itu. "Tapi tak sekali pun ajakan kekeluargaan itu diindahkan Hashim," kata Sholeh. Tak ada upaya lain, jalur hukum pun ditempuh. Hashim lantas digugat pailit. Akan halnya Titiek, dijelaskan Sholeh, ia tak diperkarakan lantaran telah ada upaya penyelesaian kekeluargaan.
Selain kepada Ibnu, Hashim berutang kepada Soemoharmanto dan Ir. Harun Soegijanto, pemegang saham lainnya, masing-masing US$ 632.400 dan US$ 225.000. "Menurut Undang-Undang Kepailitan, permohonan ini sudah memenuhi syarat, yaitu utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih," kata Sholeh.
Pengacara Hashim, Hotman Paris Hutapea, menampik tudingan bahwa kliennya mengemplang utang. Hotman malah bersikukuh, dalam transaksi saham itu tak ada utang yang jatuh tempo karena Hashim telah melakukan angsuran pembayaran dua kali, yaitu cicilan pertama dan kedua. Sedangkan pada cicilan terakhir, sesuai dengan perjanjian, sebagian uangnya telah dipakai untuk membayar utang perusahaan yang telah ditinggalkan pemilik saham lama, termasuk Ibnu Hardjojo.
"Sisa pembayaran tahap ketiga memang belum dibayarkan karena ada kewajiban Ibnu yang belum terpenuhi," ujar Hotman. Dijelaskan olehnya, dalam akta jual-beli saham disebutkan bahwa pembayaran tahap ketiga baru akan dilakukan jika Ibnu telah menyerahkan laporan keuangan lima tahun terakhir yang telah diaudit. Laporan keuangan inilah yang tak kunjung diterima Hashim. Lantaran pembukuan itu tak ada, kewajiban pembayaran angsuran pun belum jatuh tempo. "Jika pihak pemohon bersedia memberikan laporan pembukuan sesuai dengan perjanjian saham, klien kami pasti bersedia melunasi tagihan sisa," kata Hotman.
Dalil Hotman ini ditolak Sholeh. Menurut dia, dalam perjanjian jual-beli saham tak ada ketentuan eksplisit semacam itu. Dalam perjanjian disebutkan bahwa pembayaran dilakukan dengan dua opsi. Pembayaran dilaksanakan jika mayoritas saham (51 persen) sudah dikuasai Hashim atau Ibnu menyerahkan laporan keuangan selama lima tahun terakhir. Syarat pertama telah dipenuhi karena Hashim telah menguasai mayoritas saham di PT Gunung Ngadeg Djaya. "Dengan demikian, opsi kedua sebenarnya tidak perlu dilakukan lagi," kata Sholeh. Benarkah demikian? Hakim yang akan memutuskannya.
Hendriko L. Wiremmer
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini