SENSASI rekayasa genetika terjadi pada November 2001. Advanced Cell Technology (ACT), perusahaan riset bioteknologi di Worcester, Massachusetts, Amerika Serikat, berhasil mengkloning enam embrio manusia. ACT bahkan tak hanya menghasilkan kloning manusia dengan teknik kloning klasik ala domba Dolly, tapi juga dengan teknik terbaru, yakni partenogenesis.
Dengan teknik mirip reproduksi tumbuh-tumbuhan atau hewan rendah semacam lebah dan semut ini, sel telur bisa dibiakkan cukup dengan cairan kimia tertentu. Tak perlu DNA dari sel kumulus, bahkan spermatozoa. Karena itu, kelak hasil kloning ala partenogenesis menghasilkan generasi wanita semua. Dunia pun tanpa pria, nantinya.
Dari segi ilmu, boleh jadi ACT amat bangga dengan terobosan itu. Apalagi hasil kloning diniatkan untuk terapi kesehatan, meski embrio manusia itu akan dibunuh untuk dijadikan sel tandan atau sel induk.
Tapi bagaimana dari sisi etika dan agama? Adakah koridor manipulasi genetika terhadap manusia kian terbuka lebar? Menciptakan ribuan manusia serupa bagai mengambil alih peran Tuhan. Lagi pula calon manusia itu mesti dibunuh. Sementara itu, secara teknis pun, kloning masih berisiko besar. Hasil kloning Dolly, juga sapi dan babi, dikabarkan mengalami cacat genetis.
Agaknya, dunia mesti memformulasikan rambu-rambu dan pengontrolan kloning manusia, dengan tetap menjamin perkembangan ilmu dan teknologi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini