KORUPSI mestinya gampang dilibas— kalau penegak hukumnya bersih. Sayang, cuma sedikit penegak hukum yang bersih di Indonesia. Sebagian besar, termasuk hakim sebagai penjaga benteng terakhir keadilan, terkena kanker berat korupsi dan kolusi.
Memang, tahun 2001 ditandai tonggak penting "pembersihan" hakim, yakni dengan diadilinya tiga hakim agung, yakni Nyonya Marnis Kahar, Nyonya Supraptini Sutarto, dan M. Yahya Harahap. Mereka dituduh menerima suap Rp 296 juta dari pencari keadilan. Ada seorang lagi pejabat di Mahkamah Agung, Zainal Agus, yang dituding mengutip suap Rp 100 juta.
Ternyata terjadi semacam perlawanan dari korps hakim. Kolega pengadilan "melepaskan" keempat terdakwa dari jerat hukum. Dakwaan jaksa ditolak karena dianggap cacat, selain keempat terdakwa dinilai tak bisa diadili dengan Undang-Undang Antikorupsi lama (tahun 1971).
Lebih janggal lagi, justru pelapor kasus suap tiga hakim agung tadi, Endin Wahyudin, diadili lebih dulu dengan tuduhan pencemaran nama baik. Padahal, menurut Undang-Undang Antikorupsi, seharusnya kasus suapnya yang diadili lebih dulu. Memang, sesuai dengan undang-undang, baik penyuap maupun penerima suap harus diadili. Endin belakangan divonis dengan hukuman percobaan selama tiga bulan. Sementara itu, dakwaan terhadap pelapor dalam kasus suap terhadap Zainal, yakni Maria Leonita, ditolak hakim.
Akankah preseden buruk itu terulang pada persidangan hakim tinggi Fauzatulo Zendrato? Sampai kini, ia masih diadili dengan tuduhan menerima suap Rp 550 juta. Yang jelas, lima kasus suap itu baru secuil mozaik dari segunung kebobrokan di dunia peradilan. Dan itu pun belum termasuk kanker di jajaran penegak hukum lain, seperti jaksa, polisi, serta pengacara.
Hps., Hendriko L. Wiremmer
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini