Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Austronesia menjadi sebuah fenomena dalam sejarah migrasi umat manusia. Dalam waktu relatif singkat, 3.500 tahun, manusia dalam komunitas ini menyebar melampaui tiga perempat pinggang bumi-dari Madagaskar di barat hingga Pulau Paskah di timur, membekap 60 derajat bujur bumi mulai dari Taiwan di belahan utara sampai Selandia Baru di wilayah selatan. Dan hingga kini ia telah melahirkan 1.200 bahasa dan dituturkan oleh hampir 350 juta populasi yang sebagian besar berada di Kepulauan Nusantara.
Stephen Oppenheimer, dokter yang juga pakar genetika asal Oxford University, Inggris, penulis buku (1998) Eden in the East, mulai membuka wacana yang cukup kontroversial dengan memunculkan teori terbaru perihal asal-muasal penyebaran bangsa penutur bahasa Austronesia. Rumpun bangsa itu disebutnya bukan datang pertama kali dari Taiwan seperti teori yang telah diterima luas, melainkan dari Indonesia atau tepatnya Wallacea, pulau-pulau di utara Indonesia atau selatan Filipina, yang menjadi episentrumnya.
Dan dua pekan lalu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengambil inisiatif mengundang para pakar-28 pakar multidisiplin ilmu, yang selama ini menguliti masalah Austronesia dan penyebarannya-dalam acara simposium internasional bertajuk "Penyebaran Rumpun Austronesia dan Asal-usul Etnik Manusia Indonesia", di Solo, Jawa Tengah. Tujuannya, mencari persamaan persepsi dan teori asal-usul rumpun bahasa wilayah ini. Sekaligus, jika beruntung, mencari tahu muasal manusia Indonesia dan kebhinekaan yang diwariskannya. Sangat wajar kalau Umar Jenie, Kepala LIPI, beberapa hari sebelum digelarnya simposium, mengatakan, "Siapa lagi yang mencari asal-usul bangsa kita kalau bukan kita sendiri."
Rupanya, gayung bersambut. Para pakar datang tidak saja dari institusi lokal seperti Lembaga Eijkman, Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Universitas Sebelas Maret Solo, Universitas Udayana, dan Kantor Asisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional, tapi juga dari Malaysia, Singapura, Filipina, Selandia Baru, Australia, Belanda, Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat. Mulai dari pakar di bidang linguistik dan genetika sampai arkeologi, antropologi, klimatologi, dan paleogeografi.
Simposium dua hari itu seperti memindahkan perdebatan --yang selama ini terjadi, perihal asal-usul manusia Indonesia ke dalam satu ruangan. Martin Richards, doktor genetika dari University of Leeds, Inggris, misalnya, datang berbekal hasil-hasil penelitiannya selama tujuh tahun terakhir bersama Stephen bahwa bangsa-bangsa penutur bahasa Austronesia tidak datang dari Taiwan sebagaimana teori yang diyakini selama ini.
Melalui uji ribuan sampel kromosom Y (marker genetika yang diturunkan lewat sistem paternal) yang dikumpulkannya dari berbagai kelompok masyarakat di Borneo, Sulawesi, Jawa, Bali, Filipina, Taiwan, dan Polinesia, Martin menemukan usia bangsa Polinesia di Pasifik, seperti Hawaii, Selandia Baru, dan Pulau Paskah, lebih tua sekitar 10 ribu tahun. "Kami juga menemukan bahwa mereka lebih mirip dengan orang-orang di Indonesia Timur daripada Taiwan," kata dia.
Temuannya itu mematahkan teori yang ada selama ini yang merunutkan penyebaran para penutur Austronesia mulai 5.000 tahun yang lalu dari Taiwan, yang kemudian menyebar ke Indonesia lewat Filipina dan Malaysia, kemudian ke Pasifik (Polinesia). "Itu artinya mereka datang bukan dari Taiwan, melainkan dari Indonesia," Martin menjelaskan.
Profesor Sangkot Marzuki dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman ikut menyanggah teori Out of Taiwan. Hanya, pada hari kedua, Sangkot sudah langsung meninggalkan Solo. Sangkot mengungkapkan penelitian sub-genotip virus hepatitis B yang dilakukannya terhadap 5.000 sampel darah milik 31 suku bangsa di Indonesia. Hasilnya, "Tidak mendukung hipotesis penyakit itu dibawa ke Indonesia dari Pulau Formosa."
Tapi, dari ladang ekskavasi di Pulau Batanes, Filipina Utara, Peter Belwood, pakar arkeologi dan antropologi dari Australian National University, menyanggah keras teori baru itu. Melalui makalah yang dikirimkannya, motor teori Out of Taiwan ini menegaskan bahwa penyebaran awal rumpun bangsa Austronesia yang mampu dilacak lewat bukti-bukti arkeologi dan linguistik hanyalah dari Cina Selatan melalui Taiwan. Sedangkan bukti-bukti genetika, diakui Belwood, masih ambivalen. "Itu pun lebih dikarenakan keragaman biologi penutur Austronesia saat ini yang sangat luas," kata dia.
Peter mengungkapkan bukti-bukti arkeologi terbaru dari Taiwan dan Filipina Utara yang diperoleh timnya dan belum dipublikasikan. Temuan itu meliputi pola bercocok tanam padi, tradisi memelihara anjing dan babi, tipologi gerabah warna merah, penggunaan batu permata Taiwan, dan banyak macam peralatan batu. Beberapa di antaranya menyebar lebih jauh dengan lebih dahulu ditemukan pula di Indonesia dan Oseania, seperti kegunaan nephrite pada suku Maori di Selandia Baru dan gerabah merah yang lebih halus di pulau-pulau di Asia Timur dan Oseania. "Mereka yang mengikuti teori Indonesia dan teori yang lainnya tidak familiar dengan literatur arkeologi dan linguistik di Asia Tenggara," Peter menegaskan.
Hanya, profesor bioantropologi dari UGM, Teuku Jacob, tidak sepakat dengan kedua teori ini. Tidak kepada Peter, tidak juga kepada Stephen dan Martin. Menurut dia, sangat sulit menentukan perubahan bahasa karena bahasa adalah produk budaya yang tidak diwariskan lewat genetika, juga tidak melekat pada badan sebagai fosil arkeologi. Karena itu, dia lebih memilih untuk meyakini bahwa rumpun Austronesia berkembang secara lokal dari dalam Asia Tenggara, termasuk Anak Benua Asia sendiri.
Wilayah ini terakhir kali ada di atas air pada 10-11 ribu tahun yang lalu, meliputi, di antaranya, Yunan, Vietnam, Malaysia, Borneo, Sumatera, dan Jawa. Total luasnya kira-kira 2.000 kilometer persegi. "Lebih besar peluangnya untuk tepat ketimbang hanya menunjuk sebuah pulau kecil seperti Taiwan atau Wallacea," kata Jacob.
Benar ungkapan pakar arkeologi dari Prancis, Profesor Francois Semah, "We live in famous, also mysterious Indonesia."
Wuragil (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo