Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Punahnya Bahasa-bahasa Kami

11 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa berkelana sejauh orang yang membawanya. Dengan melongok bahasa-bahasa yang dipakai di seantero Nusantara, para ahli tahu bahwa rumpun bangsa Austronesia tersebar ke sudut-sudut Indonesia. ”Jejak” kehadiran rumpun Austronesia ini bisa terlihat dari kesamaan bahasa beberapa daerah, seperti Aceh, Batak, Minangkabau, Rejang (Bengkulu dan Jambi), Melayu, Lampung, Sunda, Jawa, Madura, Bali, Sasak, Bugis, Makassar, dan Palembang. Semua bahasa itu adalah anakan bahasa Austronesia yang memiliki sejumlah kemiripan.

Tengok saja beberapa kosakata pada baso (bahasa) Palembang. Di sana dikenal kata niki (ini), niku (itu), pang-gee (bertemu), dan rawoo (datang). Keempat kata itu sangat mirip dengan bahasa Jawa dengan arti yang sama, yakni niki, niku, panggih, rawuh.

Bahkan penyebaran rumpun Austronesia ini menyeberang Samudra Hindia dan sampai di Madagaskar. Bukti kehadiran bahasa Austronesia bisa dilihat pada beberapa kata dalam Malagasi, bahasa di Madagaskar. Di sana dikenal kata sam. Kata itu sangat mirip sambah (dalam bahasa Melayu Banjar, Kalimantan) atau sembah (dalam bahasa Melayu Sumatera).

Dari sebuah bahasa, yakni Austronesia, kini di Indonesia telah lahir 731 anak bahasa. Bahasa-bahasa itu sebagian tetap bertahan—seperti Aceh, Batak, Minangkabau, Madura, Bali, Sasak, yang hingga kini dipakai oleh lebih dari sejuta orang—tapi banyak pula yang mulai punah.

Salah satu bahasa yang masih kuat bertahan adalah Jawa. Bahasa Jawa diperkirakan saat ini masih digunakan oleh 75 juta orang, dan hal itu menjadikannya duduk di peringkat ke-11 bahasa terbesar di dunia—peringkat satu sampai lima ditempati bahasa Cina, Inggris, Spanyol, Hindi, dan Arab.

Dari 731 bahasa yang ada di Indonesia, menurut profesor linguistik Multamia R.M.T. Lauder dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, kini ada dua bahasa yang sudah tidak memiliki penutur asli. Bahkan ada tiga bahasa yang sudah punah. ”Sekitar 100 bahasa lagi akan segera menyusul menghilang,” kata Multamia dalam Simposium Internasional tentang Penyebaran Rumpun Austronesia dan Asal-usul Etnik Manusia Indonesia, di Solo, Jawa Tengah, dua pekan lalu.

Bahasa-bahasa yang terancam hilang itu antara lain ada di Sumatera (1 bahasa), Sulawesi (5 bahasa ), Kalimantan (4), Maluku (13), dan Papua (77). Di Papua, misalnya, bahasa Mapia—sebuah pulau kecil di sebelah utara Biak—kini hanya punya penutur satu orang. Bahasa Hukumina di Maluku juga mengalami nasib sama: pemakainya tinggal satu orang. Bahasa Lengilu di Kalimantan juga cuma dipakai oleh empat orang.

Di beberapa pelosok Nusantara lain, anakan bahasa Austronesia juga terus mengalami tekanan. Di Sulawesi, contohnya, Budong-budong adalah bahasa yang paling jarang dipakai. Jumlah penuturnya cuma 70 orang. Di Pulau Bangka, nasib bahasa Lom juga setali tiga uang, dengan jumlah pemakai hanya 50 orang.

”Itu semua terjadi karena tekanan berat dari penyebaran penggunaan bahasa nasional, Indonesia, dan bahasa regional lainnya yang lebih dominan,” ujar Multamia, sedih.

Sebuah bahasa bisa dibilang ”hidup” bila ia memiliki minimal 1.000 penutur. Adapun bahasa dengan jumlah penutur kurang dari 250 orang sudah boleh dibilang menuju kepunahannya.

Ancaman punahnya bahasa-bahasa Nusantara ini juga menjadi sorotan Badan untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO). Ketua Harian Komite Nasional untuk Indonesia untuk UNESCO, Arief Rachman, mengingatkan bahwa semua orang akan rugi apabila sebuah bahasa sampai musnah. ”Karena lalu sebuah bangsa atau budaya menjadi kehilangan ingatannya, sama seperti permadani dunia yang indah yang menjadi berlubang,” ujar Arief.

Punahnya bahasa-bahasa kecil itu sejatinya bukan permasalahan Indonesia saja. Dunia pun menghadapi tantangan serupa. Berdasarkan data UNESCO, sekitar 97 persen populasi dunia saat ini hanya memakai 240 bahasa saja (hanya empat persen dari total bahasa yang ada, yakni 6.000 bahasa). UNESCO memperkirakan sekitar 90 persen bahasa-bahasa kecil akan tergusur pada akhir abad ke-21. Duh, betapa menyedihkan.

Wuragil

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus