Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

BBM

11 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Presiden Soekarno membuat sebuah pantun. Ia melagukannya dengan riang:

Siapa bilang, Bapak dari Blitar
Bapak datang dari Prambanan
Siapa bilang, rakyat Indonesia lapar
Indonesia banyak makanan

Pantun pada awal tahun 1960-an itu mencoba membantah kabar tentang kelaparan—dan sayangnya salah. Kelaparan tak terjadi karena sebuah negeri kekurangan pangan, tapi karena tak ada pembagian yang baik dari mereka yang berlebihan kepada yang defisit.

Tapi Pemimpin Besar Revolusi tak boleh disalahkan, dan para pembesar di Istana menari lenso mengikuti dendangnya. "Mari kita bergembira…," demikian nyanyian ringan itu melanjutkan syairnya.

Orang pun tenteram. Krisis telah ditepis dengan lagu. Manusia memang umumnya tak mau diberi tahu bahwa hidupnya akan tertumbuk ke sebuah keadaan genting.

Lagi pula, di negeri yang tiap hari dipuji sebagai sebuah tanah air yang kaya, orang memang gampang asyik. Maka, ketika kini harga minyak bumi membubung di atas US$ 60 tiap barel, Indonesia pun terkejut dan tergopoh-gopoh.

Ada yang telah diabaikan di sini: sejak 1993 produksi minyak bumi Indonesia merosot. Menjelang akhir tahun lalu, hasil telaah Centre for Global Energy Studies yang berkantor di London telah menunjukkan hal itu. Sudah sejak kuartal kedua tahun itu luas diketahui Indonesia tak cocok lagi jadi anggota OPEC: ia praktis telah jadi hanya pengimpor minyak.

Memang tak ada lagi seorang presiden yang berjoget, tapi sikap abai tetap meluas. Tak ada dorongan buat merisaukan keyakinan yang sudah terpaku, bahwa rakyat tak patut membayar tinggi harga BBM. Tak ada yang bertanya, bagaimana membuat sebuah komoditas yang kian langka jadi murah.

Maka kita pun dengan tenang terus membeli bensin dengan harga subsidi. Kita tak didesak berpikir sampai kapan kebiasaan hidup dengan bahan bakar minyak bumi ini akan bisa terus. Tak ada niat menghimpun dana dan tenaga buat mencari sumber energi yang lain. Lebih baik menghabiskan Rp 200 miliar setahun untuk membuat Indonesia bergantung pada BBM yang diimpor.

Lalai memang tak mudah dilawan. Pada tahun 1972 terbit Limits to Growth. Risalah ini sebuah kabar gawat yang disusun oleh Club of Rome, himpunan para pakar yang menggunakan komputer dari kampus MIT untuk menyusun "model" bagi prediksinya. Di sana tak ada nubuat apa pun, tapi tesis dasarnya memperingatkan: bila borosnya pola konsumsi dunia dan cepatnya pertambahan penduduk terus sama seperti semula, dalam waktu seabad bumi tak akan sanggup lagi memenuhi kebutuhan manusia.

Saya ingat buku itu diperkenalkan Soedjatmoko ke Indonesia dalam diskusi tertutup atau separuh tertutup. Limits to Growth memang menarik perhatian: ia diterjemahkan ke dalam 37 bahasa. Soedjatmoko agaknya ingin mengingatkan agar kita juga harus ikut waspada. Ia mulai berbicara tentang perlunya alternatif dalam cara membangun sebuah negeri. Ia mengutarakan perlunya apa yang "non-ekonomi" dalam pembangunan itu.

Tapi itu menjelang 1974. Indonesia baru ingin lepas dari kemandekan pertumbuhan di bawah "ekonomi terpimpin" Presiden Soekarno, tatkala sebagian penting kegiatan ekonomi dikendalikan para pejabat. Dari keadaan yang baru berakhir pada tahun 1966 itu kebutuhan agar perekonomian tumbuh melalui akumulasi modal bukanlah persoalan akademis. Gagasan Soedjatmoko, sebagiannya terdapat dalam pemikiran E.F. Schumacher—orang yang memulai gagasan "teknologi madya" dan kemudian menyusun buku Small is Beautiful—akhirnya hanya bergerak di ruang sempit.

Acap kali gagasan ini juga disalahpahami. Apa yang "non-ekonomi" dalam pembangunan—yang menurut Soedjatmoko harus diperhatikan—akhirnya hanya ditafsirkan secara lucu: agar proyek "kesenian", "olahraga", atau "ilmu pengetahuan" diberi anggaran negara yang besar. Tak cukup dimengerti bahwa dalam pemikiran itu tersirat sebuah pandangan lain tentang tujuan masyarakat, yang menghendaki agar orang tak mengutamakan dorongan ekonomi—yakni ikhtiar mengatasi kelangkaan dengan secara aktif mengakumulasi—sebagai penggerak hidup. Akumulasi menimbulkan ketimpangan: yang paling siap menghimpun akan jadi raksasa di tengah pelanduk. Akumulasi juga menyebabkan sumber-sumber alam dikuras dengan cepat dan ganas. Soedjatmoko dan Schumacher ingin menunjukkan, rakus itu tak bagus.

Tapi dari pemikiran ini tak terpapar jalan praktis bagaimana anjuran yang menggugah hati bagaikan ajaran Buddha dan Gandhi itu dapat dijalankan. Mungkinkah sebuah republik bertahan dengan usaha-usaha kecil, sementara di luar wilayahnya bergerak kekuatan besar, modal yang menumbuhkan kekuatan militer, teknologi, ilmu, olahraga, dan pendidikan?

Pertanyaan penting itu tak terjawab. Gagasan pembangunan ala Soedjatmoko itu pun tercampak. Juga imbauan Limits to Growth digilas optimisme tahun 1980-an. Di Indonesia petrodolar menderas, program keluarga berencana tampak sukses, dan pangan tak dilaporkan kurang. Di luar Indonesia, Reagan jadi presiden. Sebuah strategi ekonomi disusunnya, dengan asumsi bahwa bila lebih banyak uang berada di tangan konsumen, permintaan akan naik, begitu juga investasi. Rakus jadi bagus.

Limits to Growth pun dicemooh. Juga di negeri sosialis. Apa yang terjadi jika pertumbuhan ekonomi diperlambat? Mungkin akan lahir semacam "ekonomi terpimpin" dalam bentuk lain. Mungkin akan kian buruk ketimpangan dunia—karena negeri miskin dianjurkan untuk tak mengejar tingkat kekayaan "Dunia Pertama".

Seakan menampik itu, Cina pun gemuruh memperbaiki "keterbelakangannya". Dunia kagum. Tapi salahkah pesan Limits to Growth? Perubahan negeri semiliar manusia itu kini mulai menguras sumber-sumber alam—dan BBM akan jadi seperti berlian, kalau energi lain tak dipergunakan.

Tapi mungkin kita juga hanya akan berpantun:
Siapa bilang Bapak dari Blitar
Siapa bilang minyak itu sukar?

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus