KALAU Swedia berbicara tentang teknologi pembangkit listrik
dengan tenaga air, memang pantas. Sekitar duapertiga produksi
listrik negara utara itu, berasal dari tenaga air. Memperhatikan
prestasi itu, tidak mengherankan ketika awal pekan lalu
Simposium Energi Swedia di Hotel Mandarin, menarik banyak
peminat. Termasuk Menteri Pertambangan dan Energi, Prof. Dr.
Subroto, yang seusai memberi pengarahannya, mencanangkan
pembukaan simposium dua hari itu.
Seperti negara industri maju lainnya, Swedia menghadapi problema
kelebihan produksi berbagai teknologinya. Mau tak mau harus
dicari pasaran baru dan sudah sewajarnya kalau Indonesia menjadi
salah satu sasarannya. Karena seperti dikemukakan Menteri
Subroto, 80% penduduk Indonesia tinggal di pedesaan, dan baru
12,6% menikmati listrik. "Ini tentunya merupakan tantangan bagi
negara kami," ujar menteri.
Para pengusaha Swedia yang bergerak dalam bidang teknologi
pembangkit dan penyaluran listrik, dipimpin Wakil Menteri
Industri yang merangkap Pembantu Sekretaris Negara bidang
Energi, Ulf Dahlsten, memperkenalkan teknologi pembangkit
listrik yang berasal dari tenaga gas, batu bara dan bahkan kayu
di samping tenaga nuklir. Juga sokoguru lain dalam teknologi
perlistrikan: penyaluran dan sistem distribusi. Semua itu tentu
sangat relevan dengan tujuan Indonesia yang seperti dikemukan
Menteri Subroto, berusaha mengurangi ketergantungannya pada
energi minyak bumi, dengan cara mengembangkan penganekaragaman
penggunaan energi lain.
Khususnya di bidang pembangkitan listrik, sebanyak 60% produksi
listrik Indonesia bersumber pada energi minyak bumi dan hanya
11% pada tenaga air. Sementara konsumsi total energi di
Indonesia bahkan 80% tergantung dari minyak bumi itu. Di Swedia
- negeri dingin berpenduduk 8 juta - hanya 60% konsumsi energi
total bersumber pada minyak bumi. Sebagian besar dipergunakan
untuk keperluan pemanasan. Di sektor pembangkitan listrik
peranan minyak bumi sangat kecil, kurang dari 7%, dan itu pun
untuk pembangkit listrik yang di samping listrik, juga
menghasilkan panas.
Bagian terbesar dari produksi listrik di Swedia berasal dari
tenaga air (63%) dan dari tenaga nuklir (25%). Sisanya dipenuhi
batu bara, gas, kayu, dan mirnyak. Karena itu pengembangan
teknologi tenaga air di Swedia cukup menarik perhatian para
peserta simposium energi itu.
Pengembangan pembangkit tenaga air di Swedia tidak tergantung
dari pertimbangan teknis atau ekonomis. "Tapi bisakah proyek
baru itu diterima sehubungan dengan efeknya atas lingkungan
hidup," ujar Stig Angelin dari Dewan Ketenagaan Negara Swedia.
Menurut taksiran, sekitar 30 TWJ per tahun masih merupakan
potensi tenaga air di Swedia, tapi Parlemen Swedia memutuskan
bahwa sebagian terbesar potensi sumber tenaga air itu tidak akan
diolah demi menjaga keutuhan lingkungan hidup.
Inilah, terutama, yang mendorong kecenderungan pembuatan
pembangkit minihidro yang berkapasitas di bawah 10 MW. Ini
tentunya sangat relevan dengan kebutuhan Indonesia yang sejak
Pelita III giat membangun PLTM itu. Potensi tenaga air di
Indonesia menurut angka resmi selama ini diperkirakan 31.000 MW,
tapi angka ini belakangan bahkan menjadi 62.000 MW. Sementara
potensi ribuan sungai kecil dan saluran irigasi belum masuk
hitungan, padahal diperkirakan mencapai beberapa ribu MW!
Meski begitu teknologinya tidak terlepas dari berbagai masalah,
antaranya uang. "Hambatan utama dari sistem PLTM konvensional,
ialah investasinya yang tinggi," ujar Ir. Harry Sostrosewoyo
dari ITB dalam Seminar Mini Hidro di BPP Teknologi, November
lalu (TEMPO, 11 Desember). Untuk PLTM berkapasitas 80 KW
misalnya, diperlukan biaya sekitar Rp 80 juta (sebelum
devaluasi). Hampir separuh dari ini adalah untuk pekerjaan sipil
seperti saluran air untuk turbin, pintu air, bangunan rumah
pembangkit, dan lain sebagainya.
Suatu perkembangan menarik yang ditawarkan Swedyards ialah yang
dinamakannya Skandia Mini Hydro Power Station atau PLTM
'Skandia'. Keistimewaannya ialah karena sebagian besar dibuat di
pabrik sebagai kemasan dengan jangkauan kapasitas dari 100
sampai 500 KW. Karena pendekatan ini biaya pekerjaan sipil bisa
ditekan serendah mungkin. PLTM 'Skandia' ini dirancang dengan
turbin jenis Kaplan dan dipergunakan dalam sungai kecil atau
saluran dengan selisih permukaan air antara 3 sampai 16 meter
dan kederasan air sebesar 1-8 m3 per detik.
Konsep baru juga ditawarkan Stal-Laval, perusahaan turbin yang
tergabung dalam kelompok Asea. Konsep itu menyangkut saluran air
(penstock) bagi PLTM yang merupakan unsur pokok. Sebetulnya di
Swedia konsep itu merupakan tradisi sejak dulu, yaitu membuat
saluran pipa itu dari kayu, prinsipnya tak ubah membuat tong air
dari kayu. Keuntungannya, "selain murah, saluran kayu itu lentur
hingga tak perlu fondasi khusus," ujar Goran Weibull dari
Stal-Laval. "Perubahan tanah dan dentuman akibat air mengalir di
dalamnya, dengan mudah bisa diserap kelenturan itu."
Stal-Laval bukan nama baru. Indonesia sudah memanfaatkan tiga
turbin uap dan satu turbin gas dari perusahaan ini. Saat ini
induk Stal-Laval, kelompok Asea, juga terlibat dalam proyek PLTA
Mrica di Ja-Teng. Ini meliputi penyediaan tiga buah generator
dengan kapasitas 67 MVA masing-masing, di samping semua
peralatan listrik lainnya.
Penjabaran dari teknologi turbin, generator dan peralatan
kendali juga memancing diskusi hangat, menandakan perhatian
besar dari para ahli dan pejabat Indonesia. Satu problem yang
belum tuntas, agaknya, ialah sistem kendali. Bagi Swedia, itu
bukan masalah karena semua pembangkitnya terhubungkan secara
terpadu dalam satu jaringan transmisi nasional dan bahkan
internasional.
Indonesia belum memiliki jaringan sesempurna itu, apalagi di
luar Jawa. Akibatnya kelebihan produksi listrik sebuah PLTM pada
saat beban pemakaian rendah tidak bisa disalurkan ke lain
tempat. Di sini sistem kendali perputaran turbin dan generator
menjadi penting, terutama bila PLTM itu berada di saluran
irigasi.
Betapun, pengenalan dengan teknologi yang relevan bagi
Indonesia, pasti membuka cakrawala baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini