Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Meredam Serangan Hantu Putih

Penyakit bercak putih sebagai pembunuh udang nomor wahid kini bisa ditanggulangi. Sayang, teknologinya hanya cocok untuk petambak berskala besar.

30 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENYAKIT bercak putih (white spot) sudah sebelas tahun menjadi semacam hantu bagi petambak udang. Penyakit yang disebabkan oleh septicemia ectodermal mesodermal baculo virus (SEMBV) itu merupakan pembunuh nomor satu. Bila terkena serangan hantu putih, kematian massal pun bisa menimpa populasi udang yang berusia 45 sampai 60 hari. Akibatnya, panen udang petambak bisa gagal total.

Salah satu penyebab gampangnya udang terkena white spot tak lain adalah kondisi udang yang stres akibat hidup berdesak-desakan di tambak. Diduga, ancaman hantu putih itu akan berakibat fatal terhadap udang windu dan udang putih, sementara udang galah dan paleomon tergolong kebal terhadap penyakit itu.

Memang, white spot tak cuma berjangkit di Indonesia. Para petani udang di sepanjang Samudra Pasifik dan India juga direpotkan oleh ulah hantu putih. Hanya kawasan Atlantik yang bebas bercak mengerikan itu.

Tapi, ancaman hantu bercak putih di Indonesia sebentar lagi akan berlalu. Sebab, sebuah tim peneliti di Balai Budidaya Air Payau Jepara, Jawa Tengah, baru-baru ini berhasil menemukan cara untuk menanggulangi keganasannya. Akhir Maret lalu, keberhasilan itu disampaikan ketua tim tadi, Coco Kokartin, kepada Wakil Presiden Megawati, yang mengunjungi Jepara.

Tim Coco menemukan cara pencegahan penularan penyakit white spot lewat penelitian sejak pertengahan 1998. Mereka menemukan dua metode penanggulangan, yakni dengan cara pemberian unsur kimia dan penggunaan predator alami. Kedua cara itu sama-sama menggunakan sistem air tertutup.

Pada cara pertama, induk udang yang diterima dari para petani pengumpul udang ditampung dalam wadah kecil. Induk ini lantas "dicuci" dengan formalin yang digelontorkan. Kadar formalin yang dipakai tidak sampai membahayakan manusia. Proses yang serupa juga dilakukan untuk menangaSetelah telur menjadi benur (benih udang), benur dimasukkan ke dalam tambak. Namun, sebelum itu, air tambak berikut saluran dan bak penampung air yang akan disalurkan ke tambak harus disterilkan dengan kaporit berkadar 30 ppm. Lalu, kincir dihidupkan untuk aerasi selama tiga hari. Tambak juga dipagari kertas tahan air untuk mencegah kepiting liar pembawa virus masuk.

Berbeda dengan cara pertama, pada cara kedua tak ada penggunaan kaporit. Pensterilan air dilakukan dengan menggunakan predator berupa ikan. Predator ditempatkan di saluran yang mengelilingi tambak. Selama tiga hari, air dipompakan lewat saluran ini secara bertahap. Alhasil, sebelum virus SEMBV sempat masuk tambak, ia sudah dihabisi predator.

Sementara itu, di dalam tambak juga disebarkan predator berupa ikan wering yang memakan hama penular. Karena ikan wering tak dapat tumbuh besar, ia tak akan menjadi pesaing bagi udang kecil. Bila ada udang terinveksi virus, ia akan menggelepar dan segera disambar ikan wering.

Kedua cara itu sama efektifnya untuk membebaskan udang dari serangan virus SEMBV. Dari hasil kedua cara tersebut, ternyata sukser besar diperoleh di petak-petak percobaan yang masing-masing seluas 4.500 meter persegi. Selama empat bulan, dari semua benur yang ditebar, 80 persen di antaranya bisa dipanen. Bandingkan dengan tanpa cara itu, yang bisa mengakibatkan tingkat kematian benur sampai 100 persen.

Bahkan, pada penelitian Tim Coco, ada dua petak percobaan yang menghasilkan 6,5 ton udang windu per hektare tambak. Dengan pemeliharaan selama 130 hari, keuntungan yang dicapai sebesar Rp 150 juta untuk satu hektare tambak udang. Padahal, perbedaan biaya pengelolaan antara sepetak tambak yang tak menggunakan cara sterilisasi tadi dan sepetak tambak yang menggunakannya cuma sebesar Rp 1,5 juta.

Berdasarkan hasil penelitian itulah, kini Tim Coco hendak mematenkan teknologi tersebut. Tentu saja penemuan teknologi itu disambut gembira oleh Dr. Made L. Nudjana, Direktur Usaha dan Pengelolaan Hasil Direktorat Perikanan Departemen Pertanian. Hanya, menurut Made, teknologi itu bisa cocok bagi petani tambak udang berskala menengah ke atas. "Bagi petani kecil, teknologi itu susah karena mereka harus merombak sistem tambaknya agar sesuai dengan kondisi untuk menerapkannya," kata Made.

Sementara itu, Dr. Darnas Dana, ahli parasitologi dari Institut Pertanian Bogor, mengaku tak melihat sesuatu yang istimewa pada teknologi temuan Tim Coco. Menurut dia, cara pencegahan virus SEMBV sudah lama dikenal. Meskipun demikian, Darnas juga mengakui adanya hal baru dalam teknologi itu, yakni digunakannya bahan lokal, dalam hal ini ikan, sebagai predator alami.

Yusi A. Pareanom, Agus Hidayat, Bandelan Amarudin (Jepara).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus