Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menyoal Dua Putusan Mahkamah

Kendati sudah ada putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Militer, kasus Udin tetap gelap. Bahkan polisi pengusutnya pun tak terjamah hukum.

30 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KASUS pembunuhan para pejuang hak asasi manusia, sejauh ini, belum satu pun terungkap sebagaimana mestinya. Kasus pembunuhan Marsinah sudah melegenda—kini ada rencana difilmkan—begitu pula kasus Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin. Yang disebut terakhir ini, kendati bermuara dalam perkara pidana dan perdata, kepolisian tak kunjung mampu mengungkap misteri kematian Udin. Wartawan koran Berita Nasional, Yogyakarta, itu tewas setelah dianiaya oleh beberapa orang, pada 16 Agustus 1996. Sebuah perkara terkait yang diputus beberapa waktu lalu oleh Mahkamah Agung bukannya memperjelas, malah kian memburamkan kasus Udin. Pada putusan kasasi yang diterima Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Kamis dua pekan lalu, Sersan Mayor Edy Wuryanto, Kepala Unit Reserse Kepolisian Resor (Polres) Bantul, Yogyakarta, hanya dipersalahkan telah melarung (membuang) darah Udin ke laut, tanpa sepengetahuan keluarga Udin. Meski dinyatakan bersalah, Edy sama sekali tak diwajibkan membayar ganti rugi ataupun meminta maaf kepada Nyonya Marsiyem, istri Udin. Hal itu, menurut Budi Hartono dari LBH Yogyakarta selaku kuasa hukum Marsiyem, bertentangan dengan Pasal 1365 KUH Perdata, yang mengharuskan orang yang bersalah membayar ganti rugi. Selain itu, Budi menganggap Edy hanya dikorbankan oleh instansinya, yakni Polres Bantul ataupun Kepolisian Daerah (Polda) Yogyakarta. Sebab, hubungan tanggung jawab hukum antara Edy dan instansi ataupun atasannya itu seolah-olah diputus, sehingga tanggung jawab hanya dilokalisasi pada Edy. Dengan kata lain, Kepala Resor Bantul sebagai pejabat yang bertanggung jawab terhadap tugas anak buahnya sama sekali tak tersentuh alias kebal hukum. Berdasarkan pertimbangan itu, Budi akan mengajukan peninjauan kembali atas putusan kasasi tersebut. Bagaimanapun, "Putusan itu mengandung misteri," ujar Budi. Keruwetan kasus Udin semakin berbelit bila menilik perkara pidana dengan terdakwa Kopral Satu Slamet Widayanto, anak buah Edy Wuryanto. Pada akhir Februari lalu, Slamet Widayanto dihukum sebulan penjara oleh Mahkamah Militer Yogyakarta. Ia dipersalahkan telah menggelapkan barang bukti berupa setumpuk dokumen dan notes yang diambil dari meja kerja Udin. Namun, pada peradilan Slamet, Edy Wuryanto juga tak tersentuh. Padahal, Slamet mengambil berbagai barang bukti itu berdasarkan perintah yang diberikan Edy sebagai atasannya. Kejanggalan ini perlu dipersoalkan, tak lain karena Edy berada pada mata rantai pengusutan dalam rangka menguak misteri kematian Udin. Singkat kata, polisi berpangkat sersan mayor ini bertugas sebagai reserse yang mengusut kasus itu. Ia juga yang mengaku sebagai penyusun skenario penangkapan Dwi Sumaji alias Iwik—orang yang disuruh mengaku membunuh Udin, tapi kemudian dibebaskan pengadilan. Sebetulnya, penyidik polisi militer sudah berkali-kali memanggil Edy, tapi gagal melakukan pemeriksaan. Sebabnya, Kepala Polda Yogyakarta, Brigjen Pol. Dadang Sutrisna, tak memberi izin. Alasannya, Edy masih diproses oleh ankum (atasan yang menghukum) di Polda Yogyakarta. Bahwa alasan itu dicari-cari terbukti dari mutasi yang "dihadiahkan" kepada Edy. Sejak enam bulan lalu, Edy justru dipindahkan ke Markas Besar Kepolisian di Jakarta. Dan sampai kini, ia tak kunjung disidik. Sulit untuk tidak menduga bahwa Edy dilindungi oleh instansinya, sehingga tak terjangkau oleh mekanisme penegakan hukum. Tentang hal itu, Brigjen Pol. Dadang Sutrisna hanya mengatakan, "Edy sudah bukan anggota Polda Yogyakarta. Jadi, bukan wewenang kami lagi." Dadang juga membantah anggapan bahwa Edy dan Slamet memang sengaja dikorbankan oleh pihak kepolisian. Dadang sendiri merasa optimistis bahwa kasus Udin tak akan menjadi dark number. "Kami masih terus melakukan penyelidikan, tapi kan memang tidak mudah," ujarnya. Menurut Dadang, kesulitan mengusut kembali kasus Udin erat kaitannya dengan kenyataan bahwa ia datang belakangan setelah kasus itu berkembang. "Kasusnya sudah terlalu lama sehingga sangat mungkin alat buktinya sudah rusak atau hilang," katanya. Dadang, yang menggantikan Kepala Polda Yogyakarta sebelumnya, Brigjen Pol. Moeljono Soelaiman, menambahkan, sejak awal kedatangannya di Yogyakarta, ia telah membentuk tim baru. Namun, sampai sekarang, tim itu belum mencatat hasil yang menggembirakan. "Kami baru mengembangkan keterangan saksi. Tapi belum mengarah pada pelaku," ujar Dadang. Tampaknya, kasus pembunuhan Udin dan Marsinah akan tetap menjadi lembaran kosong dan hitam dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia. Bukan karena kedua kasus itu sangat misterius, tapi lebih disebabkan oleh sikap aparat yang cenderung membiarkan kedua kasus itu tetap tinggal misteri. Wicaksono, L.N. Idayanie (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus