TENGAH hari, Selasa pekan lalu di Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan. Hakim Nyonya Rukmini tampak kelelahan. Suaranya pun terdengar parau. Sejak pukul 08.00 pagi, wanita yang sudah 19 tahun bertugas sebagai hakim ini memimpin persidangan atas 10 perkara. Tapi baru kali ini Rukmini—pernah bertugas di lima provinsi lainnya—menangani perkara yang jumlahnya sedemikian banyak.
Sementara itu, di ruang lain, hakim Zainal Abidin dipapah menuju kursi hakim. Zainal, yang terserang stroke enam bulan lalu, masih diandalkan untuk memimpin persidangan sebuah perkara pidana. Dengan suara terbata-bata, ia mempersilakan jaksa menghadirkan terdakwa.
Siapa sangka, para hakim yang sering jadi sasaran kemarahan masyarakat itu dituntut bekerja keras, melampaui batas-batas kemampuan fisik manusia pada umumnya. Paling tidak, kenyataan yang memprihatinkan itu terjadi selama dua bulan terakhir di Pengadilan Negeri Makassar. Rukmini, Zainal, serta tiga hakim lainnya menyidangkan perkara yang jumlahnya melampaui takaran wajar setiap harinya. Bulan lalu, Rukmini bersama 10 rekannya menangani 150 perkara, padahal untuk perkara sebanyak itu dibutuhkan 15 orang hakim. Berarti, seorang hakim rata-rata menangani 10 perkara.
Tapi, yang terjadi baru-baru ini lebih mengenaskan lagi. Hakim yang ada hanya lima orang, sehingga sidang pengadilan terpaksa dilakukan secara maraton. Dalam perkara pidana yang dianggap tak sulit pembuktiannya, hakim akan memutus secepatnya. Beberapa perkara yang tak bisa lagi ditangani majelis hakim cukup ditangani oleh hakim tunggal saja.
Kendati demikian, tak semua perkara bisa ditangani hakim. Persidangan perkara korupsi dengan terdakwa mantan Kepala Cabang Bank Tabungan Negara, Antonius Soeharso, sampai kini tertunda-tunda.
Bagaimana kalau Rukmini tiba-tiba terserang stres ataupun sakit gara-gara "tertimbun" tumpukan perkara? Bukan mustahil seorang terdakwa lepas demi hukum karena tak ada hakim yang mengurusi status penahanannya. Tapi, mungkin saja ada pencari keadilan yang terkatung-katung lantaran perkaranya tak kunjung disidangkan.
Krisis hakim di Makassar—akibat pensiun dan mutasi hakim—tak segera diimbangi dengan pengisian hakim baru. Sebenarnya, menurut pelaksana harian Ketua Pengadilan Negeri Makassar, Zaini Hamzah, dan Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan, Wiryawan, mereka sudah berkali-kali menyurati Mahkamah Agung dan Departemen Hukum dan Perundang-undangan. Permintaan mereka agar paceklik hakim segera ditanggulangi tak kunjung ditanggapi. Jadi, "Kami terpaksa bekerja keras menangani perkara, meski tetap mengutamakan ketelitian," kata Zaini Hamzah. Zaini, yang seharusnya pindah ke Kalimantan Barat, terpaksa tertahan di Makassar karena Ketua Pengadilan Negeri Makassar, Soewito, pensiun Maret lalu.
Pernah Wiryawan mencoba menanggulangi krisis dengan meminjam hakim dari pengadilan negeri di sekitar Makassar. Ternyata, Pengadilan Negeri Maros dan Pengadilan Negeri Gowa—keduanya di Sulawesi Selatan—juga kekurangan hakim.
Pengadilan Negeri Tahuna di Sangirtalaud, Sulawesi Utara, juga tak lebih baik. Empat hakim di situ selain kewalahan menangani perkara juga kesulitan bila harus bersidang ke Pulau Siau, Tagulandang, Talaud, dan Beo. Hakim Haryono, misalnya, harus menyelesaikan 40 perkara begitu tiba di salah satu pulau tadi. Bila hakim tak datang, bisa sampai enam bulan tak ada persidangan di sana. Masalah ini sebenarnya bisa diatasi jika hakim yang pensiun diaktifkan lagi sampai penggantinya datang. Jika ada beberapa daerah mengalami paceklik hakim secara akut, upaya mengaktifkan sementara hakim yang pensiun, selain dapat dilakukan secepatnya, tentu juga akan efektif mengatasi masalah.
Hanya, pemerintah belum mencobanya, padahal krisis jumlah hakim bisa berakibat buruk bagi pencari keadilan ataupun mutu vonis. Mahkamah Agung dan Departemen Hukum dan Perundang-undangan juga tampaknya kurang memperhatikan masalah itu—mungkin karena terlalu sibuk mengurusi isu mafia peradilan di Jakarta.
Namun, Menteri Hukum dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendra menepis anggapan itu seraya menyatakan pemerintah dan Mahkamah Agung sudah tiga kali membahas masalah mutasi dan pemerataan hakim. "Penempatan hakim secara menyeluruh ke semua daerah tak bisa begitu saja diputuskan. Butuh waktu panjang," kata Yusril, yang pernah mengusulkan mutasi 70 persen hakim Jakarta ke daerah.
Menurut Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung, Pranowo, yang akan didahulukan adalah penggantian hakim Jakarta oleh hakim daerah, sembari melengkapi jumlah optimal hakim di Jakarta. Bersamaan dengan itu, 34 hakim baru akan dikirim untuk Aceh. Setelah itu, dimulailah pemerataan hakim untuk daerah-daerah lain. Jangan kaget, ada juga daerah yang mau mengekspor hakim karena jumlah hakimnya lebih dari yang diperlukan.
Hp. S., Syarief Amir (Makassar) dan Verrianto Madjowa (Manado)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini