TIGA bulan setelah "teka-teki" itu dimunculkan, orang masih terus saja bertanya- tanya: benarkah teori dua "imam" fisika, Isaac Newton dan Albert Einstein "salah"? Keraguan itu muncul setelah dua pakar Jepang, Hideo Hayasaka dan Sakae Takeuchi, dari Universitas Tohoku, mengumumkan hasil percobaan mereka lewat Physical Review Letters, penerbitan bergengsi The American Physical Society, Desember silam. Kedua ahli fisika itu melaporkan terjadinya gejala penyimpangan atas dalil satuan massa (berat) benda versi Newton maupun Einstein. Fenomena yang ditemukan oleh Hayasaka-san sungguh unik: bahwa sebuah benda akan mengalami penurunan berat jika bergerak memutar searah jarum jam. Menurut dalil Newton, berat suatu benda (akibat gravitasi bumi) besarnya berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya terhadap titik pusat bumi. Semakin jauh benda itu dari titik itu, semakin kecil gaya beratnya. Tapi hasil penelitian Hayasaka dan Takeuchi mengungkapkan bahwa berat sebuah benda tak cuma bergantung pada jaraknya terhadap titik pusat bumi. Kecepatan putaran benda yang searah jarum jam secara nyata bisa mengurangi berat. Sejauh ini, keduanya belum memberikan istilah khusus untuk gejala unik yang dia temukan itu, namun pers Jepang dan Amerika menyebutnya sebagai fenomena antigravitasi. Teori relativitas Einstein pun tak luput pula diadu dengan penemuan kedua doktor fisika itu. Lewat teori monumentalnya, Einstein mencoba menelaah perubahan yang terjadi atas benda yang bergerak. Menurut teori itu, massa benda akan mengalami kenaikan sebanding dengan kecepatan benda itu. Selain sulit dipahami, teori Enstein itu punya "cacat", yakni tak pernah dibuktikan lewat eksperimen. Maklum, perubahan massa versi Einstein ini hanya terjadi jika benda itu menjalani gerak dengan kecepatan yang sangat tinggi, mendekati laju perambatan cahaya yang 300.000 km per detik. Hingga saat ini tak satu alat yang bisa dipakai untuk menguji dalil Einstein. Secara blak-blakan, Hayasaka mengaku tak puas dengan teori Einstein. "Saya memang menyangsikan teori Einstein," tutur Hayasaka dalam wawancara dengan TEMPO. Maka, tujuh tahun lalu mulailah dia menyiapkan perkakas eksperimen, menggunakan tiga buah gasing yang diputar dalam motor gyroscope listrik. Ketiga gasing itu masing-masing dibuat dari kuningan 140 gram dan bergaris tengah 5,2 cm, dari aluminium seberat 175 gram garis tengah 5,8 cm, dan baja silikon 176 garis tengah 5,8 cm. Agar hasilnya lebih meyakinkan, ketiga garis dan gyroscope pemutarnya diukur beratnya dengan 2 buah timbangan listrik. Lantas, gyroscope diputar pada kecepatan 3.000-13.000 putaran per menit (rpm). Pada kecepatan 13.000 rpm, gasing aluminium 175 gram Hayasaka mengalami penurunan berat sebesar 11 mg, pada 7.000 rpm turun 6 mg, dan pada 3.000 rpm berkurang hampir 3 mg. Jika gasing itu diputar dengan kecepatan 24 juta rpm, "beratnya akan menjadi nol." Ahli fisika Jepang ini mengaku belum mendapatkan landasan teori atas gejala yang kontroversial itu. "Tak ada satu teori pun bisa menguraikannya," kata Hayasaka. Spekulasi bahwa efek antigravitasi tadi timbul akibat pengaruh medan elektromagnet jauh-jauh hari telah disangkalnya. Sebab, pengukuran itu dilakukan ketika aliran listrik ke gyroscope telah dipadamkan, tapi gasing masih berpusing. Kemungkinan pengaruh gesekan udara pun dia singkirkan, karena gyroscope itu ditempatkan pada sebuah stoples kaca yang vakum. Pengaruh vibrasi pun boleh diabaikan, lantaran eksperimen itu dijalankan pada kondisi yang bebas dari getaran. Singkat kata, Hayasaka dan Takeuchi tak mau memberi kesempatan pada fisikawan lain menanggapi secara sembarangan. Untuk itu, di Physical Review Letters mereka secara rinci menguraikan percobaan mereka, sehingga ilmuwan lain bisa melakukan eksperimen yang sama. Namun, para pakar fisika Amerika umumnya menanggapinya secara skeptis. Dr. Robert R. Park, misalnya, menilai klaim antigravitasi dari Jepang itu bersifat revolusioner. "Tapi besar kemungkinan klaim orang Jepang itu ngawur," ujar Park, guru besar Universitas Maryland yang sekaligus menjadi direktur American Physical Society cabang Washington. Dua pakar dari Bureau International des Poids et Mesures, Prancis, T.J. Quinn dan A. Picard, mencoba melakukan eksperimen serupa. Quinn dan Picard juga menggunakan rotor, tapi ukurannya berbeda dengan yang dipakai Hayasaka dan Takeuchi. Hasilnya, keduanya melaporkan dalam majalah Nature Februari lalu, bahwa eksperimen mereka memang memperlihatkan efek yang mirip seperti dilihat Hayasaka dan Takeuchi. Namun, Quinn dan Picard menyimpulkan, hal ini "bukan merupakan fenomena fisika yang baru", tapi sesuatu yang timbul akibat sensitivitas keseimbangan ditambah dengan akibat perbedaan suhu pada pemasangan rotor. Hayasaka sendiri sebetulnya ahli atom. Bertahun-tahun dia terlibat dalam riset tentang reaktor atom di universitasnya. Tapi dia mengaku patah arang di situ. "Saya kecewa terhadap energi atom. Bagaimanapun juga, sampahnya akan membuat kerusakan di alam ini," ujar penggemar musik klasik Bach itu. Maka, dia menoleh ke gaya alamiah gravitasi, yang antara lain bisa menghasilkan energi. Setelah belasan tahun menekuni hal-ihwal gravitasi, akhirnya bersama rekannya, Takeuchi, dia menemukan gejala antigravitasi. Gempuran pers Amerika sempat membuat Hayasaka menghindar dari pers. Tapi, ketika didatangi TEMPO, dia membuka pintu lebar-lebar. "Saya masih punya perasaan bersalah, sebab Jepang pernah melakukan kejahatan terhadap bangsa Indonesia," ujarnya. Seiichi Okawa (Tokyo) dan Putut Tri Husodo (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini