Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah bersusah payah menaklukkan tim-tim tangguh sepak bola dunia, kesebelasan tuan rumah Jepang akhirnya menjuarai Piala Dunia. Menggemparkan, ini sejarah baru, bagi tim dari Asia. Tapi, nanti dulu, ini bukan pertandingan Piala Dunia yang sesungguhnya, ini hanya gambaran pertandingan sepak bola para robot.
Bersamaan dengan berlangsungnya Piala Dunia ke-17 di Jepang dan Korea Selatan, Juni mendatang, kompetisi tahunan RoboCup 2002 juga akan berlangsung di dua negeri itu, tepatnya di Fukuoka (Jepang) dan Busan (Korea Selatan). Bagi para penggemar sepak bola, kompetisi para mesin ini akan menjadi atraksi tersendiri.
RoboCup tahun ini akan mempertemukan tak kurang dari 90 tim dari 20 negara—jumlah yang hampir sama dalam kejuaraan sebelumnya di Stockholm, Swedia, Juli 1999. Dalam kompetisi terakhir di Jepang, yakni pada 1997, turnamen itu menarik perhatian sekitar 7.000 penonton. Beberapa kategori pemenang dalam kompetisi tahun itu adalah tim dari Universitas Southern California (AS) dan Universitas Humboldt (Jerman).
Dalam kompetisi tahun 2002 ini, di samping Jepang, negeri-negeri yang tak pernah masuk peta kekuatan sepak bola dunia sungguhan, seperti Singapura, akan punya kesempatan menjajal ketangguhan timnya. Bukannya adu otot, RoboCup memang menjadi arena adu kepintaran para profesor, insinyur, dan mahasiswa teknik dari lembaga riset universitas terkemuka di dunia.
Menyertai Henrik Larson dan Freddie Ljungberg, tim ilmuwan dari Universitas Teknologi Chalmers, Swedia, akan menghadirkan pula Priscilla dalam turnamen sepak bola para robot. Berbeda dengan umumnya pesaing lain yang wujudnya masih mesin, Priscilla paling mirip manusia, atau sering disebut humanoid. ”Dia robot seukuran manusia, dengan tulang-belulang plastik, dan memiliki anggota badan sama dengan manusia,” kata Profesor Peter Nordin, penciptanya, kepada BBC World Service. ”Dia seperti saudara perempuan robot Terminator, tapi bergerak seperti manusia.”
Priscilla akan datang bersama ”mantan suami”-nya, Elvis, robot generasi sebelumnya yang bergetar menirukan gerak penyanyi rock’n roll Elvis Presley. Elvis hanya setinggi 60 sentimeter. Humanoid ini memiliki 46 otot yang sedang dikembangkan untuk menendang. Namun, jangan harapkan mereka akan dapat selincah goyang samba Ronaldo atau Roberto Carlos dari Brasil. Tapi mereka punya kelebihan, yaitu tidak akan bisa cedera seperti bintang Inggris David Beckham. Dalam tahap persiapan pertandingan, Elvis diprogram untuk melakukan gerak sederhana.
”Sensor sentuhan di kaki memungkinkan dia menyesuaikan pusat gravitasi tubuhnya, sehingga tidak terjungkal,” kata Nordin. Penyempurnaan masih banyak dilakukan terhadap Elvis, tapi Nordin tidak bermimpi bahwa robot itu akan sesempurna manusia. ”Anda tak kan suka melihat robot bisa demikian leluasa bergerak, karena dia bisa menjadi terlalu liar. Kita memang berharap robot bisa mempelajari banyak hal, tapi kita tentu tak kan suka dia mempelajari hal-hal yang tak bisa kita duga.”
Pemrakarsa kompetisi ini, Dr. Hiroaki Kitano, seorang ahli robotika Jepang, memang tidak sedang berambisi membunuh karir Beckham atau Ronaldo. RoboCup, yang pada awalnya disebut sebagai Robot World Cup Initiative, adalah medium kompetisi riset internasional dan pendidikan. Kitano merancang kejuaraan ini untuk memopulerkan teknologi robotika dan kecerdasan buatan, sekaligus mematok standar perkembangan teknologi ini.
Kitano tepat memilih medium in. Sepak bola adalah olahraga paling populer sejagat. Pertandingan sepak bola, yang melibatkan kolaborasi beberapa individu, reaksi cepat, dan strategi, juga merupakan tantangan besar bagi perancang robot. Mereka harus memadukan berbagai teknologi sekaligus untuk menjawab tantangan itu: kecerdasan buatan, robotika, komputer, visual, dan komunikasi.
Kejuaraan ini diilhami oleh kehadiran Deep Blue, komputer IBM yang mampu mengalahkan grand master olahraga catur dunia Gary Kasparov, pada 1997. Tahun itu memang menjadi tonggak besar dalam perkembangan teknologi robotika dan kecerdasan buatan. Pada tahun yang sama, misi luar angkasa NASA telah mampu mendaratkan Sojourner, sistem robotika yang sepenuhnya otomatis, yang menyelidiki permukaan Planet Mars.
Mereka menggantungkan impian besar bahwa pada tahun 2050, melintasi kompetisi demi kompetisi, mereka bisa membuat kesebelasan humanoid yang mampu mengalahkan juara dunia sepak bola sungguhan. Apakah kurun setengah abad cukup untuk memenuhi ambisi itu? Para pemrakarsa yakin. Hanya diperlukan rentang waktu setengah abad dari penemuan pesawat pertama oleh Wright Bersaudara hingga penerbangan Apollo ke bulan. Juga hanya dalam rentang yang sama diperlukan dari penemuan komputer digital hingga munculnya Deep Blue.
Apa yang akan kita saksikan di RoboCup 2002 mungkin masih jauh dari itu. Tim sepak bola robot dari Inggris yang akan ikut berlaga sama sekali tidak mirip Michael Owen. Tingginya hanya 15 sentimeter. Tapi robot yang dirancang para ilmuwan dari Universitas Cambridge ini punya penjaga gawang cukup pintar. Dilengkapi meriam air, dia bisa menendang bola ke daerah lawan, meski masih kalah jauh dari kerasnya tendangan Fabian Bartez dari Prancis.
Dan salah satu problem besar, ada sela waktu antara komputer memikirkan situasi lapangan dan perintah yang diberikan pada robot untuk beraksi. ”Itu sebabnya, dalam banyak kasus, robot bergerak jauh lebih lambat dari gerakan bola,” kata Dr. Anthony Rowstron dari Universitas Cambridge. ”Manusia memainkan sepak bola menjadi pertandingan indah dan tampak sangat mudah mereka melakukannya. Tapi membuat robot memiliki kemampuan seperti itu sungguh merupakan tantangan yang sangat berat.”
Tim tuan rumah Jepang tentu tidak akan ketinggalan. Negeri yang paling banyak industri robotnya itu memiliki beberapa kampus ternama yang memiliki rekor dalam penciptaan mesin pintar. Universitas Tokyo dan Universitas Osaka merupakan kampus yang mengenalkan robot yang kelak akan menyaingi Idetosi Nakata. Kepintaran mereka sudah dipertunjukkan dalam pameran Robodex 2002 awal April lalu di Yokohama. Dan tim tuan rumah tentu akan berjuang semaksimal mungkin untuk menjadi juara.
Sony, salah satu perusahaan audio-visual terkemuka Jepang, akan men-datangkan robot komentator yang menyiarkan laporan pertandingan secara langsung.
Singapura tak kan mau ketinggalan. Negeri tetangga kita ini memiliki periset RoboCup per kapita paling tinggi di dunia. Singapura berambisi untuk menjadi intelligent island, negeri pulau yang paling maju dalam bidang teknologi robotika. ”RoboCup adalah medium yang bisa mengikat orang awam dengan permainan mengasyikkan,” kata Chuo Yeo Chung, promotor pertandingan dari negeri itu. ”Di sisi lain, para periset di Singapura juga bisa menguji riset mereka dalam laboratorium yang bisa disaksikan masyarakat luas.”
Bagaimana para robot itu berlaga RoboCup 2002? Satu tim terdiri dari lima robot. Dua menjadi pemain bertahan, sedangkan dua lainnya penyerang, satunya menjadi penunggu gawang. Lapangannya pun tak perlu sebesar stadion bola, hanya butuh ruangan seluas lapangan bulu tangkis. Walaupun yang bertanding mesin canggih, tetap saja perlu bantuan manusia, khusus untuk menjadi wasit, yang jika perlu harus mengeluarkan kartu kuning.
Memiliki pemain sepak bola yang tak kenal lelah, dan tidak membutuhkan uang transfer yang mahal, memang impian setiap manajer tim. Tapi Hiroaki Kitano, sang pionir kompetisi ini, se-benarnya lebih memimpikan hal lain: robot yang bisa disuruh-suruh mengerjakan tugas berbahaya. Dalam lima tahun ke depan, dia berharap teknologi ini akan semakin maju. Humanoid dibutuhkan untuk bidang yang lebih praktis: menolong manusia yang terjebak dalam kebakaran besar atau bocoran gas beracun.
Jadi, jangan khawatir Beckham atau Ronaldo akan segera menggantung sepatunya. Ole!
Edy Budiyarso (sumber: BBC News Service)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo