Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NASIB buruk terus mendera pasangan Charles Tee dan Suryawati Soetopo. Sejak menikah pada tahun 1996, bahkan kini sudah punya dua anak, mereka tak kunjung memperoleh akta perkawinan. Upaya hukum mereka juga kandas di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya, dua pekan lalu. Kini mereka menunggu keadilan dari pengadilan tingkat banding.
Charles dan Suryawati menikah secara Konghucu di rumah ibadah Boen Bio, Surabaya, tahun 1996. Mereka lantas mencatatkan perkawinan itu ke Kantor Catatan Sipil Surabaya. Ternyata di-tolak. Alasannya, Konghucu bukanlah agama resmi di Indonesia. Hal itu berdasarkan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 477 Tahun 1978. Padahal, semasa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, Konghucu sudah dianggap sebagai agama.
Apa mau dikata, nasib pasangan itu cuma ditentukan oleh surat keputusan Menteri Dalam Negeri, yang digunakan oleh pihak catatan sipil. Memang, ada sedikit harapan yang diberikan oleh kantor pencatat perkawinan untuk pasangan non-Islam itu. Pasangan Charles-Suryawati diminta menunggu putusan kasus serupa yang dialami pasangan Budi Wijaya dan Lany Guito. Pasangan ini juga menikah secara Konghucu, tapi pencatatannya ditolak oleh kantor catatan sipil. Kasus mereka sedang diproses di tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA).
Ternyata, pada 30 Agustus 2001, MA memutuskan bahwa perkawinan pasangan Budi-Lany secara Konghucu adalah sah. Karena itu, kantor catatan sipil diharuskan mencatatkan perkawinan mereka dan menerbitkan akta nikahnya.
Tentu saja pasangan Budi-Lany gembira menyambut vonis tersebut. Demikian pula pasangan Charles-Suryawati. Dua pasangan ini segera mengulang acara perkawinan mereka di Kelenteng Boen Bio, Surabaya. Mereka juga akhirnya memperoleh nomor register pencatatan nikah di Kantor Catatan Sipil Surabaya.
Namun, tak diduga, cuma pasangan Budi-Lany yang mendapatkan akta nikah, sementara pasangan Charles-Suryawati harus gigit jari lagi. Alasan pihak catatan sipil, yurisprudensi MA tersebut hanya berlaku untuk kasus pasangan Budi-Lany.
Jelas, Charles kesal. Buat apa nikah ulang kalau nasib tak berubah? Ia dan istrinya lantas memprotes, tapi tak ditanggapi oleh pihak catatan sipil. Mereka jadi tambah cemas. Bagaimanapun, dua anak mereka juga butuh kepastian hukum. Berkali-kali mereka mendatangi kantor catatan sipil, toh tak membuahkan hasil.
Akhirnya, melalui Ester Indahyani Jusuf dari Solidaritas Nusa Bangsa, mereka melayangkan somasi (peringatan) ke Kantor Catatan Sipil Surabaya. Lagi-lagi somasi mereka, yang sudah sampai tiga kali, pun tak dipedulikan. Pihak catatan sipil beralasan masih menunggu petunjuk lebih lanjut dari Menteri Dalam Negeri.
Tak tahan diombang-ambingkan, Charles mengadukan kasusnya ke Menteri Dalam Negeri di Jakarta. Entah karena pengaduan itu atau bukan, pada 10 Desember 2001, Direktur Jenderal Umum dan Pemerintahan Departemen Dalam Negeri, Oentarto Sindung Mawardi, meminta Kantor Catatan Sipil Surabaya menerbitkan kutipan akta perkawinan Charles-Suryawati.
Ee, tetap saja Kantor Catatan Sipil Surabaya bergeming, kendati Departemen Dalam Negeri kembali memintanya. "Ketika saya desak, mereka selalu bilang sabar, sabar, dan sabar," kata Charles.
Merasa sudah patah arang, Charles pun menggugat Kepala Catatan Sipil Surabaya ke PTUN Surabaya. Hasilnya, ia kalah pula. Entah bagaimana putusan pengadilan banding kelak.
Yang jelas, kasus yang menimpa pasangan Charles-Suryawati juga dialami oleh pasangan Asep Pujanegara dan Rela di Bandung. Pasangan ini menikah menurut aliran kepercayaan pada 23 Agustus 2001 di Sereang, Bandung. Pernikahan mereka disaksikan oleh ketua RT-RW dan camat setempat. Tapi mereka juga gagal memperoleh akta nikah dari kantor catatan sipil. Alasan penolakannya sama, yakni aliran kepercayaan dianggap bukan agama.
Untung buat pasangan Asep-Lena, Kamis dua pekan lalu PTUN Bandung memutuskan bahwa pasangan itu layak mendapatkan akta nikah. Toh, surat perkawinan dari negara itu tak kunjung mereka peroleh. Soalnya, menurut Kepala Biro Hukum Kabupaten Bandung, Virgilio, pihak catatan sipil masih naik banding.
Wens Manggut, Kukuh S. Wibowo (Surabaya), Boby Gunawan (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo