Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG ibu berang tak kepalang. Buah hatinya, seorang gadis belasan tahun, dinyatakan tak pantas masuk ke semacam sekolah menengah. Padahal sederet anak pejabat bisa mendapat bangku di sekolah favorit itu.
Tapi si ibu tak tinggal diam. Dia menuntut agar hasil tes putrinya berikut nilai ujian para peserta ujian lainnya dibeberkan. Dia mau tahu persis benarkah anaknya tak lulus seleksi. Tak diduga, perkara ini tak henti-hentinya diberitakan pers.
Ternyata pengadilan mengabulkan permintaan ibu tersebut. Departemen Pendidikan diberi perintah membuka informasi dimaksud. Sebab, menurut pengadilan, hasil tes masih tergolong informasi publik, bukan hal yang bersifat pribadi, apalagi rahasia.
Hasilnya, memang, anak perempuan ibu itu tak lulus tes. Nilai ujiannya terbukti masih di bawah nilai rata-rata. Toh, si ibu yang sehari-hari bekerja sebagai jaksa bangga karena merasa telah me-menangkan perjuangan.
Cerita di atas, sayangnya, bukan terjadi di Indonesia, melainkan di Thailand, sebagaimana dikisahkan kembali oleh Prof. Dr. Kittisak Prokati dari Universitas Thammasat di Negeri Gajah Putih itu. Prokati menceritakannya dalam konferensi internasional tentang kebebasan informasi di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, Senin dua pekan lalu.
Menurut Prokati, ibu jaksa itu berhasil karena isunya menarik perhatian masyarakat. Memang, tuntutannya yang dirasakan juga oleh banyak orang terhitung sederhana, yakni menyangkut nasib putrinya. Perkaranya bukan soal abstrak, umpamanya pemerintahan yang bersih.
Alhasil, upaya keras si ibu pun berdampak penting. "Berkat si ibu keras kepala itu, sistem pendidikan di Thailand mengalami perombakan berarti," tutur Prokati. Perbaikan juga merembet ke aksi konkret pemberantasan korupsi, evaluasi kepangkatan pegawai, dan kontrak bisnis.
Namun, yang lebih penting, tuntutan ibu tersebut menjadi kuat lantaran di Thailand sudah ada Undang-Undang Kebebasan Informasi. Di Asia Tenggara, baru Thailand yang punya perangkat hukum penjamin pemerintahan yang transparan dan demokratis ini. Undang-undang ini lahir bersama dengan Undang-Undang tentang Prosedur Administrasi dan Tanggung Jawab Aparat Pemerintah.
Undang-Undang Kebebasan Informasi Thailand lahir pada 1997, setelah lima tahun melampaui perdebatan panjang dan digodok di parlemen. Ketika itu, Asia masih limbung dihantam krisis moneter. Dengan munculnya undang-undang itu, kepercayaan masyarakat Thailand kepada pemerintahnya pun makin tinggi. Apalagi salah satu ancaman dalam undang-undang itu adalah pemecatan pejabat bila mengabaikan hak masyarakat untuk memperoleh informasi.
Tak bisa dimungkiri, undang-undang tersebut keluar setelah rezim militer Thailand tumbang. Rupanya, kondisi ini menyadarkan masyarakat tentang pentingnya keterbukaan. Seiring dengan bergulirnya tema reformasi, isu kebebasan informasi pun menggelinding dengan lancar. Isu ini dipicu pertama kalinya oleh kalangan praktisi hukum, yang ke-betulan juga berada di lingkungan kampus dan di pemerintahan. Ternyata kebebasan informasi didukung pula oleh kalangan tentara yang menaruh kepercayaan pada pejabat negara.
Kendati bebas informasi, itu bukan berarti tak ada rahasia. Jenis informasi yang dinilai bersifat pribadi, seperti yang menyangkut keselamatan seseorang ataupun laporan kesehatannya, dianggap tak boleh dibuka untuk publik. Demikian pula informasi yang diduga bisa membahayakan keselamatan nasional, hubungan internasional, dan kepentingan ekonomi negara.
Ada satu lagi informasi yang dilarang dipublikasikan, yakni data ataupun keterangan yang bisa membahayakan Kerajaan Thailand. Ini mungkin karena kerajaan dianggap sebagai pilar utama bangsa Thailand. Namun, "Kalaupun terjadi sengketa tentang informasi publik, pengadilan yang akan memutuskan," kata Prokati, yang menjadi salah seorang konseptor Undang-Undang Kebebasan Informasi Thailand.
Itu di Thailand, yang bisa lolos dari krisis ekonomi. Bagaimana dengan Indonesia? Sayangnya, upaya kalangan organisasi nonpemerintah untuk mengegolkan Rancangan Undang-Undang Kebebasan Informasi di DPR masih terbentur tembok. Rancangan itu baru sampai di peringkat ke-33 untuk dibahas DPR. Justru Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara, yang bisa menjadi hantu baru bagi keterbukaan, berada di peringkat ke-17.
Padahal, kata Prokati bertamsil, jaminan memperoleh informasi bisa membuat makanan jadi sedap. Sebab, "Semua orang tahu persis apa bahan yang tepat, di mana memperolehnya, dan bagaimana cara mengolahnya, termasuk ke mana harus menuntut bila makanan itu tak memuaskan selera," ujarnya.
Gita Widya Laksmini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo