Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Matahari Tak Terbit Lagi

Majalah Matahari dicabut sitnya oleh Deppen, karena tulisan edisi 16 dan 17. Betapapun, pencabutan sit Matahari sangat disayangkan oleh Suardi Tasrif karena menyangkut periuk nasi karyawan. (md)

7 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAJALAH Matahari hanya sempat 17 nomor beredar di masyarakat. Pekan lalu, majalah bulanan itu dicabut SIT-nya oleh Departemen Penerangan. Pemimpin Umum & Penanggung-Jawab Matahari, ir. Bambang AS tidak menduga hal itu sama sekali, meskipun seminggu sebelumnya ia dipanggil oleh Dirjen Pembinaan Pers & Grafika Deppen, Sukarno. Ketika itu Sukarno menyatakan penyesalannya atas tulisan Matahari edisi 15 dan 17 (Mei dan Juni 1979). "Itu pun hanya penyesalan, bukan peringatan," kata Bambang kepada Syahril Chili dari TEMPO yang menemuinya di kantor Matahari di Senayan, Jakarta. Waktu seminggu tentu tak cukup bagi majalah itu buat berbenah. "Apalagi," kata Bambang, "ketika itu tidak terpikir oleh saya akan ada lanjutannya berupa pencabutan SIT." Tiada Jalan Lain Ini bukanlah peringatan pertama buat Matahari. Lima bulan sebelumnya, Bambang pernah mendapat teguran dari Sukarno, perihal tampilnya karikaturis Sibarani alias Srani dalam edisi 12 (Januari 1979). Sibarani adalah karikaturis mingguan Siasat pimpinan Rosihan Anwar di tahun 50-an, dan kemudian muncul di harian kiri Bintang Timur zaman Nasakom. Konon karikaturis ini memang tak dikehendaki penampilannya dalam pers kini. Tapi menurut Bambang, teguran mengenai Sibarani itu dinilainya bukan sebagai "peringatan saja." Sudahkah Deppen minta pertimbangn PWI dan Dewan Pers? Sampai pekan lalu, Sukarno masih di Banjarmasin. Tapi menurut Harmoko, Ketua Pelaksana Pimpinan Pusat PWI -- yang 3 hari sebelum pencabutan SIT Matahari dihubungi oleh Sukarno -- Deppen sudah melakukan kedua-duanya. Harmoko sendiri bertanya apakah tidak ada jalan lain, misalnya "pencabutan sementara", hingga bisa dicairkan lagi seperti halnya 7 penerbitan yang diberangus menjelang SU MPR yang lalu? Seperti diceritakan oleh Harmoko, Dirjen PPG menyatakan "tak ada jalan lain." Dalam SK Menpen 25 Juni 1979 No. 02/SK/Ditjen-PPG/K/1979 yang mencabut SIT Matahari itu antara lain cuma disebut "telah diberi peringatan-peringatan mengenai sifat destruktif dari tulisan-tulisan yang mereka sajikan, namun dari tulisan-tulisan yang dapat diikuti dalam majalah tersebut ternyata peringatan-peringatan tersebut rupanya tidak dihiraukannya." Hanya itu? SK Menpen juga menyebutkan, majalah tersebut telah "menggunakan kata-kata di luar batas norma-norma kesopanan dan penuh sinisme melemparkan kata-kata penghinaan dan bahkan cenderung kepada fitnah, setidaknya insinuasi ke arah fitnah terhadap pejabat pimpinan Pemerintah." Bambang sendiri mengakui tulisan dalam Matahari edisi 16 (berjudul Cukong Sumber Malapetaka?) dan edisi 17 (Bangkrutnya Teknokrat Ala Mafia Berkeley) sebagai "kasar". Kalimat-kalimat Matahari umumnya memang panjang-panjang, juga alineanya. Juga sarat dengan kata-kata asing. Penyajiannya pun mirip-mirip tajuk atau esai, lebih banyak memuat opini dan kurang melakukan wawancara. Kritiknya, maunya sih radikal, tapi lebih banyak bernada emosionil. Anggapan sementara orang, Matahari adalah suara sisa-sisa PNI. Menggunakan (bekas) SIT majalah Model terbitan PT Karna Putri, majalah itu memang tampak lebih menampilkan missi politik ketimbang Model. Tapi Bambang membantah. "Melainkan karena pasaran Model menurun dan kita sudah jenuh," katanya. Betapapun, pencabutan SIT Matahari sangat disayangkan oleh Suardi Tasrif, Ketua Dewan Kehormatan PWI, "karena menyangkut periuk nasi karyawan." Meski begitu, ia juga menyayangkan cara penulisan beritanya tidak berimbang. Tapi, ia berpendapat, sebaiknya penanggungjawabnya saja yang ditindak, diajukan ke pengadilan, sementara penerbitan yang dimaksud dilarang beredar. Jadi jangan usaha penerbitannya yang dilarang," katanya kepada A. Muthalib dari TEMPO. "Dalam kasus buku Wasiat Bung Karno, misalnya, kan penerbitnya yaitu Gunung Agung tidak dilarang? Cuma bukunya saja yang dicabut dari peredaran," tambahnya. Matahari beroplag 7.500 eksemplar, dijual Rp 400 sebiji, menghidupi 20 karyawan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus