MAJALAH Matahari hanya sempat 17 nomor beredar di masyarakat.
Pekan lalu, majalah bulanan itu dicabut SIT-nya oleh Departemen
Penerangan. Pemimpin Umum & Penanggung-Jawab Matahari, ir.
Bambang AS tidak menduga hal itu sama sekali, meskipun seminggu
sebelumnya ia dipanggil oleh Dirjen Pembinaan Pers & Grafika
Deppen, Sukarno.
Ketika itu Sukarno menyatakan penyesalannya atas tulisan
Matahari edisi 15 dan 17 (Mei dan Juni 1979). "Itu pun hanya
penyesalan, bukan peringatan," kata Bambang kepada Syahril Chili
dari TEMPO yang menemuinya di kantor Matahari di Senayan,
Jakarta. Waktu seminggu tentu tak cukup bagi majalah itu buat
berbenah. "Apalagi," kata Bambang, "ketika itu tidak terpikir
oleh saya akan ada lanjutannya berupa pencabutan SIT."
Tiada Jalan Lain
Ini bukanlah peringatan pertama buat Matahari. Lima bulan
sebelumnya, Bambang pernah mendapat teguran dari Sukarno,
perihal tampilnya karikaturis Sibarani alias Srani dalam edisi
12 (Januari 1979). Sibarani adalah karikaturis mingguan Siasat
pimpinan Rosihan Anwar di tahun 50-an, dan kemudian muncul di
harian kiri Bintang Timur zaman Nasakom. Konon karikaturis ini
memang tak dikehendaki penampilannya dalam pers kini. Tapi
menurut Bambang, teguran mengenai Sibarani itu dinilainya bukan
sebagai "peringatan saja."
Sudahkah Deppen minta pertimbangn PWI dan Dewan Pers? Sampai
pekan lalu, Sukarno masih di Banjarmasin. Tapi menurut Harmoko,
Ketua Pelaksana Pimpinan Pusat PWI -- yang 3 hari sebelum
pencabutan SIT Matahari dihubungi oleh Sukarno -- Deppen sudah
melakukan kedua-duanya.
Harmoko sendiri bertanya apakah tidak ada jalan lain, misalnya
"pencabutan sementara", hingga bisa dicairkan lagi seperti
halnya 7 penerbitan yang diberangus menjelang SU MPR yang lalu?
Seperti diceritakan oleh Harmoko, Dirjen PPG menyatakan "tak
ada jalan lain."
Dalam SK Menpen 25 Juni 1979 No. 02/SK/Ditjen-PPG/K/1979 yang
mencabut SIT Matahari itu antara lain cuma disebut "telah diberi
peringatan-peringatan mengenai sifat destruktif dari
tulisan-tulisan yang mereka sajikan, namun dari tulisan-tulisan
yang dapat diikuti dalam majalah tersebut ternyata
peringatan-peringatan tersebut rupanya tidak dihiraukannya."
Hanya itu? SK Menpen juga menyebutkan, majalah tersebut telah
"menggunakan kata-kata di luar batas norma-norma kesopanan dan
penuh sinisme melemparkan kata-kata penghinaan dan bahkan
cenderung kepada fitnah, setidaknya insinuasi ke arah fitnah
terhadap pejabat pimpinan Pemerintah."
Bambang sendiri mengakui tulisan dalam Matahari edisi 16
(berjudul Cukong Sumber Malapetaka?) dan edisi 17 (Bangkrutnya
Teknokrat Ala Mafia Berkeley) sebagai "kasar".
Kalimat-kalimat Matahari umumnya memang panjang-panjang, juga
alineanya. Juga sarat dengan kata-kata asing. Penyajiannya pun
mirip-mirip tajuk atau esai, lebih banyak memuat opini dan
kurang melakukan wawancara. Kritiknya, maunya sih radikal, tapi
lebih banyak bernada emosionil.
Anggapan sementara orang, Matahari adalah suara sisa-sisa PNI.
Menggunakan (bekas) SIT majalah Model terbitan PT Karna Putri,
majalah itu memang tampak lebih menampilkan missi politik
ketimbang Model. Tapi Bambang membantah. "Melainkan karena
pasaran Model menurun dan kita sudah jenuh," katanya.
Betapapun, pencabutan SIT Matahari sangat disayangkan oleh
Suardi Tasrif, Ketua Dewan Kehormatan PWI, "karena menyangkut
periuk nasi karyawan." Meski begitu, ia juga menyayangkan cara
penulisan beritanya tidak berimbang. Tapi, ia berpendapat,
sebaiknya penanggungjawabnya saja yang ditindak, diajukan ke
pengadilan, sementara penerbitan yang dimaksud dilarang
beredar. Jadi jangan usaha penerbitannya yang dilarang,"
katanya kepada A. Muthalib dari TEMPO. "Dalam kasus buku Wasiat
Bung Karno, misalnya, kan penerbitnya yaitu Gunung Agung tidak
dilarang? Cuma bukunya saja yang dicabut dari peredaran,"
tambahnya. Matahari beroplag 7.500 eksemplar, dijual Rp 400
sebiji, menghidupi 20 karyawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini