Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang berbasis di daerah, khususnya di Kawasan Kantor Bersama (KKB) Makassar, menolak kebijakan pemindahan mereka ke pusat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Usai melakukan rapat terkait pemindahan homebase unit kerja, mereka menyampaikan sejumlah alternatif solusi. Pertama, desentralisasi sarana prasarana riset secara bertahap atau memanfaatkan aset dari instansi asal peneliti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“BRIN perlu mempertimbangkan untuk memperkuat fasilitas riset di daerah, terutama di wilayah pesisir dan perairan yang menjadi pusat/potensial akuakultur di Indonesia,” kata salah satu peneliti BRIN KKB Makassar yang tidak ingin disebut namanya, Kamis, 24 Oktober 2024.
Dia kemudian memberi contoh, yakni mendirikan laboratorium lapangan yang dilengkapi dengan teknologi mutakhir di Sulawesi, Sumatera, atau Kalimantan untuk riset yang lebih lokal dan relevan.
Kedua, kolaborasi riset daerah dan pusat. Misalnya, fasilitas pusat seperti di Cibinong dapat menjadi tempat pengembangan metodologi riset atau koordinasi nasional, sementara laboratorium di daerah difokuskan pada aplikasi riset yang relevan secara lokal. “Ini dapat meningkatkan efisiensi dan relevansi riset,” katanya.
Ketiga, dukungan infrastruktur digital di KKB atau collaborative working space, dengan pemanfaatan teknologi digital seperti IoT (Internet of Things) dan cloud computing. Teknologi tersebut dapat digunakan untuk mengelola data riset lapangan yang diambil dari berbagai daerah tanpa harus selalu bergantung pada fasilitas di pusat.
Keempat, menggunakan strategi yang lebih terdesentralisasi dan berbasis kebutuhan lokal, agar kegiatan riset akuakultur di Indonesia dapat lebih efektif dan relevan untuk mengatasi berbagai masalah geo-ekologis dan sosial di masing-masing wilayah.
Menurut peneliti BRIN ini, konsep desentralisasi lokasi periset lebih positif dibandingkan sentralisasi lokasi periset di Jakarta. Dia kemudian menjelaskan empat alasannya, yakni mendekatkan periset BRIN ke masyarakat/user, efisiensi anggaran untuk koordinasi dan komunikasi periset BRIN dengan masyarakat/user, kolaborasi yang sudah terjalin dengan lembaga/instansi/pemerintah daerah, serta embangun ekosistem riset yang berbasis lapangan/masyarakat terutama ilmu sosial dan humaniora.
Diketahui, para peneliti ini menolak kebijakan sentralisasi riset yang diumumkan oleh Kepala BRIN Laksana Tri Handoko pada 7 Oktober 2024 lalu. Jika para peneliti di daerah menolak pindah dari domisilinya saat ini, mereka diberi pilihan pindah ke BRIN daerah (pemda) dengan jabatan fungsional tetap sebagai periset, kembali ke kementerian/lembaga asal dengan alih jabatan fungsional selain periset, atau mundur sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).