Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Gabungan peneliti dari Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan (PRBE) Badan Riset dan Inovasi Nasional BRIN) serta Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi menemukan tiga jenis ngengat baru pada awal tahun ini. Ketiganya adalah Cryptophasa Warouwi, Glyphodes Nurfitriae dan Glyphodes Ahsanae.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jenis yang disebut pertama, Cryptophasa Warouwi, berpotensi merusak batang dan ranting cengkeh. Spesies baru tersebut merupakan hama endemik baru dari Pulau Sangihe, Sulawesi Utara, yang serangannya perlu diantisipasi oleh para petani cengkeh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti dari PRBE BRIN, Hari Sutrisno, mengatakan larva Cryptophasa dikenal sebagai penggerek cabang dan batang. Hewan nokturnal ini memotong daun untuk makanan, membuat terowongan, kemudian menutup lubangnya dengan anyaman sutra dan kotoran. Pada 2023, serangan hewan tersebut pernah merusak beberapa varian cengkeh dari lima kecamatan di Pulau Sangihe, Sulawesi Utara.
“Infestasinya mengakibatkan kerusakan cabang dan ranting yang menyebabkan penurunan densitas daun pada tanaman cengkeh,” katanya dalam keterangan tertulis, Jumat, 16 Februari 2024.
Dari catatan BRIN, larva Cryptophasa sudah menjadi hama cengkeh sejak 2016. Habitatnya terus meluas sampai tahun lalu. Ngengat berwarna coklat tua ini memiliki struktur tegas pada alat kelaminnya. Dilihat dari kode batang DNA, Cryptophasa Warouwi ini berkerabat dengan jenis Cryptophasa lainnya, namun memiliki antena jantan yang mirip dengan genus Paralecta. “Detail fisik dari spesies baru itu dibahas dalam jurnal Zootaxa Volume 5403 Nomor 1 yang terbit 18 Januari 2024
Dosen dari Universitas Sam Ratulangi, Jackson F. Watung, mengatakan timnya juga menemukan fakta jika Cryptophasa Warouwi tidak hanya menyerang cengkeh saja, tetapi jambu air dan jambu biji (Myrtaceae).
“Ancaman ini dapat dikategorikan sebagai serangan serangga hama oligofag, sehingga sangat penting (bagi petani) untuk segera mengembangkan strategi pengendalian hama, analisis risiko hama, menyusun daftar hama karantina, dan manajemen pengelolaan hama lainnya,” ujar Jackson.
Adapu dua ngengat baru lainnya, Glyphodes Nurfitriae dan Glyphodes Ahsanae diidentifikasi berasal dari Papua. Kedua spesies itu dinyatakan sebagai taksa baru dalam jurnal Zootaxa Volume 5403 Nomor 4 pada 23 Januari 2024
Kolega Hari dari PRBE BRIN, Pramesa Narakusumo, menyatakan ada 48 Glyphodes yang tercatat di Indonesia pada saat ini. Informasi terakhir mengenai spesies Glyphodes dari Papua dan Sulawesi dipublikasikan pada 1960.
“Sejak saat itu tidak ada lagi spesies yang dideskripsikan dari wilayah ini,” kata Pramesa.
Menurut Pramesa, penemuan spesies baru tersebut kelak dapat membantu banyak kasus pengendalian hama, serta menyokong identifikasi biodiversitas di Indonesia. Temuan tiga taksa ngengat itu juga memperkuat pengetahuan sistematika ordo Lepidoptera, sehingga ilmuwan dapat menentukan peran setiap jenis ngengat di alam. “Jika karakter hewan nokturnal ini diketahui dapat mengancam, seperti menjadi hama tanaman, tentunya temuan ini menjadi referensi penting bagi pemerintah.”
Regulator diharapkan bisa menentukan status hama, menyusun kebijakan pengendalian, menghitung tingkat serangan, dan menelusuri daerah sebaran hama di sebuah wilayah. Tujuannya agar petani terhindar dari kerugian ekonomi.