Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Beberapa hari belakangan viral di grup-grup percakapan WhatsApp tentang fenomena aphelion atau kondisi di mana Bumi berada di titik terjauhnya dari Matahari. Disebutkan, fenomena itu tak dapat dilihat tapi membawa dampak yang dapat dirasakan, yakni cuaca dingin yang lebih dingin daripada biasanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pesan boradcast seragam berpesan untuk kita semua meningkatkan imun demi terhindar dari gangguan kesehatan seperti meriang, flu, batuk, dan sesak napas. Bahkan seragam sampai ke deskripsi waktu kejadian aphelion itu yang dituliskan pukul 05.27.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagian pesan berhenti di sana, tapi ada yang melanjutkan dengan rincian perhitungan jarak Bumi ke Matahari. Ditambahkan di sana kalau aphelion menambah jarak Bumi-Matahari 66 persen lebih jauh sehingga hawa dingin yang terjadi bisa berdampak ke kesehatan.
Dalam catatan Tempo, pesan atau narasi di atas selalu beredar menyertai fenomena aphelion yang berulang setiap tahun. Selain aphelion, ada fenomena perihelion untuk kondisi sebaliknya: titik terdekat Bumi dari Matahari.
Mengutip dari penjelasan yang dibuat infoastronomy.org di akun media sosialnya, fenomena aphelion pada tahun ini benar baru saja terjadi, yakni pada 3 Juli lalu. Tapi, isi pesannya dinilai menyesatkan--seperti yang terus beredar setiap tahun.
Dijelaskan bahwa saat aphelion, jarak Bumi ke Matahari hanya 3,40 persen lebih jauh dibanding jaraknya ketika perihelion. Dasarnya, perhitungan jarak saat aphelion adalah 152,1 juta kilometer dan saat perihelion adalah 147,1 juta kilometer. "Karena perbedaannya cuma 3,40 persen, aphelion tidak bikin suhu Bumi mendingin," bunyi keterangan yang disampaikan.
Lalu apa yang membuat hawa dingin yang dirasakan sebagian masyarakat pada beberapa pagi belakangan, terutama di daerah dataran tinggi? "Angin dari selatan yang sedang musim dingin," kata akun info astronomy menyerukan.
Juga, dikutip dari situs BMKG, saat puncak kemarau seperti sekarang umumnya suhu udara lebih dingin dan permukaan Bumi lebih kering. Pada kondisi demikian, panas matahari akan lebih banyak terbuang dan hilang ke angkasa. Itu yang menyebabkan suhu udara musim kemarau lebih dingin daripada suhu udara musim hujan.
Selain itu kandungan air di dalam tanah menipis dan uap air di udara pun sangat sedikit jumlahnya yang dibuktikan dengan rendahnya kelembapan udara. "Hal ini menyebabkan seolah aphelion memiliki dampak yang ekstrem terhadap penurunan suhu di Indonesia."