Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Pompa dari ciawi

Seorang lulusan sekolah guru, husein ambadar, berhasil membuat pompa air bertenaga matahari. pompa ini dapat menyuling air asin menjadi air tawar.

9 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HUSSEIN Ambadar, 56 tahun, bukan profesor fisika. Ia hanya lepasan sekolah guru HIK zaman Belanda. Tapi ia selalu menyelidiki apa saja. Sebelum ada mesin cetak plastik di Indonesia, ia sudah membuatnya. Alat penekan cukup dari dongkrak mobil saja. Mingu lalu, Hussein memperagakan lagi pada pers ciptaannya yang terbaru pompa pengangkat air yang juga dapat membuat air asin menjadi tawar. Pompa desalinasi Ambadar itu sama sekali tak menggunakan onderdil yang bergerak maupun motor bakar. Sumber tenaganya hanyalah sinar matahari. Air asinnya 'disuling' dengan menggunakan sifat elektro-statis dari plastik, dan diangkat dengan prinsip pipa kapiler seperti pada tumbuh-tumbuhan. Timbul ide itu padanya dua tahun lalu. Setelah menjual tanahnya di Jl. M. T. Haryono, Jakarta, ketika itu anak-anaknya mempersilakan dia bersenang-senang dengan bepergian ke luar negeri. Tujuan pertama: Singapura. Hanya seminggu ia betah tinggal di negeri Lee Kuan Yew itu. Rupanya di Singapura penyakit ingin tahu dan bereksperimennya kambuh. Terutama setelah membeli dan membaca, setumpuk buku tentang pemanfaatan tenaga matahari di sana. Maka uang sisa, yang tadinya tersedia buat berkeliling dunia, dialihkannya untuk riset tenaga matahari. Percobaan pertama dilakukannya di kolam renang kosong di rumahnya di Gadog, Ciawi, Kabupaten Bogor. Hasinya kurang memuaskan karena sinar mataharinya kurang terik. Lalu ia pindah ke belakang rumahnya, dan dibangunnya menara penangkap sinar matahari. Menara itu sekaligus dimaksudkan untuk mengetahui seberapa tinggi air yang sudah disuling dapat diangkat ke atas. Mula-mula, air pernah terdesak sampai 10 meter tingginya. Kemudian menara dipertinggi sampai 18 meter. Ternyata air masih sanggup melampauinya. Dibantu anak-anaknya, Hussein mengambil kesimpulan: tenaga matahari masih dapat mengangkat air itu jauh di atas batas ketinggian menaranya yang 'hanya' 18 meter. Ciptaan Hussein Ambadar itu didorong oleh suatu kebutuhan bagaimana menyuling air laut yang asin untuk keperluan industri. Dan seperti biasanya, pabrik -- juga perumahan -- menggundkan sistim distribusi air dengan memompanya ke atas menara penampung terlebih dahulu. Seluruh proses penyulingan serta pemompaan air ke atas menara itu sampai sekarang masih banyak memboroskan bahan bakar fosil. Ambadar Sr. lantas berfikir, mengapa tak menggunakan tenaga matahari nan gratis itu saja? Hampir dua tahun lamanya, ia tak pernah keluar dari rumahnya di Ciawi itu. Zantar, 25 tahun, anaknya yang tadinya jual-beli mobil disuruhnya berhenti berdagang agar bisa sepenuh waktu membantu ayahnya. Hussein sendiri, kadang-kadang dari pagi sampai sore nongkrong di atas menara yang tingginya 24 meter. Untuk makanan dan keperluan lainnya, sang ayah tinggal memesan lewat intercom saja. Enam bulan lalu menaranya masih menghasilkan 20 liter air murni sehari, sedang uang sudah keluar Rp 40 juta. Tapi berkat percobaan semula, yang menggunakan tiga jenis pipa (besi, aluminium dan tembaga), disimpulkan bahwa kolektor panas matahari yang terbaik adalah pipa tembaga berdiameter kecil yang dicat hitam dan dijajarkan rapat-rapat. Teknologi Non-Mekanis Berdasarkan kesimpulan itu dibuatlah kolektor panas yang luasnya 30 m2. "Tapi praktis yang berfungsi hanya sebagian saja, sebab sinar matahari tak merata," tutur Hussein Ambadar kepada Widi Yarmanto dari TEMPO yang pergi meninjau ke Ciawi. Panas matahari di daerah pegunungan itu berkisar antara 19ø - 24ø C. Itupun hanya antara jam 9 sampai 12 siang. Hasilnya sekarang adalah 200 liter air murni per hari atau 25 liter per « jam. Ancar-ancarnya dengan kolektor yang ada sekarang adalah memproduksi 600 liter air murni/hari. "Inilah teknologi non-mekanis dengan kerugian hampir nihil," tambah bekas guru sekolah itu. Tak ada enerji yang terbuang. Juga tanpa bahan bakar fosil -- bensin, gas, atau batu bara. Malah panas yang timbul di ruang penguapan alat itu, katanya, "dapat digunakan membangkitkan listrik." Caranya, tak dijelaskan. Tapi mengapa di Ciawi? Mengapa tak di dekat laut, di mana sinar matahari juga lebih terik? Alasannya sederhana saja. "Rumah saya 'kan di Ciawi, jadi perhatian dapat saya curahkan sepenuhnya," sahutnya. Orang tua yang suka meneliti itu sekarang punya 13 anak. Rumahnya bernomor 13, dengan 13 pohon pala di kebunnya. Dia tak takut pada angka 13. Lalu, apa selanjutnya? "Istirahat dulu, saya sudah capek," katanya. Tapi belum istirahat penuh, karena dia segera berusaha mendaftarkan ciptaannya itu di lembaga paten di Paris.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus