Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Reaksi yang laris, di samping ...

Lukisan gaya dekoratif yang mengambil bentuk realistis dipakai oleh pelukis nisan kristiyanto. laku keras di pasar seni ancol. (sr)

9 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LUKISAN gaya dekoratif adalah biasa. Lukisan tradisionil Bali atau wayang beber Jawa maupun Bali bisa dianggap sebagai contoh untuk seni rupa dekoratif yang lama. Yang baru bisa disebutkan antara lain: lukisan Kartono Yudhokusumo, Widayat, Suhadi, Suparto dan banyak lagi. Di dalamnya tak ada perspektif dan volume bentuk, tapi penggarapan bentuk dilakukan sampai ke detil. Entah karena biasanya lukisan dekoratif mengambil motif dari ragam hias daerah (Indonesia) dan karenanya gampang dikatakan keindonesiaannya, dia laris. Mungkin juga karena kecenderungan banyak orang berduit sekarang untuk membeli yang disangka bersifat "klasik" -- lihat saja kursi-kursi berukir yang banyak menghias gedung mewah. Yang menarik ialah di Pasar Seni Ancol, Jakarta, sejak dibuka Pebruari 1975 sampai hari ini, ada satu gaya lukisan dekoratif yang tidak mengambil motif ragam hias, tapi yang mengambil bentuk-bentuk realistis. Ternyata pelukisnya tidak cuma seorang. Tak akan ada yang mengaku tentu, siapa yang menyontek. Tapi berdasar siapa yang pertama kali membawanya ke Ancol mungkin bisa ditelusur jejaknya. Menurut cerita Hatta Hambali, jebolan "Asri" yang kini melukis seperti itu juga, pertama kali lukisan dekoratif gaya itu dibawa dari Yogya dan pelukisnya bernama Alex Suprapto. Alex ini lukisannya memang begitu dan tahun 1973 sempat meraih hadiah Wendi Sorensen di Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia "Asri" Yogyakarta dengan lukisan gaya itu. Dan lukisannya ternyata laku keras di Ancol. Cuma Alex mungkin tak berambisi jadi kaya ia berhenti melukis dan bekerja di Bandung sebagai disainer tekstil. Kurang Laku Tapi ada orang yang matanya awas dan perhitungannya tepat. Dia pelukis muda Nisan Kristiyanto. Langsung saja dia memproduksi lukisan gaya tersebut tapi dengan bahan cat minyak atau cat poster pada kertas. Kecuali membuatnya bisa cepat, juga modalnya ringan dan karenanya bisa dijual dengan harga murah dibanding kalau dibuat dari cat minyak pada kanvas. Luar biasa pada awal-awal Pasar Seni Ancol konon ia pernah menjual 40 lukisan macam tersebut dalam tempo seminggu. Harganya sekitar Rp 25 ribu. Melihat hal itulah kemudian beberapa temannya yang mencari duit di Pasar Seni mengarahkan tangan mereka ke gaya itu. Ada sekitar delapan orang yang tiba-tiba saja menawarkan lukisan macam itu dan laris semua. Kristiyanto, yang boleh disebut pemopuler gaya itu, memang lebih tekun dari yang lain. Cara kerjanya lebih halus dan ia punya ciri khusus. Tak heran kalau Hadiprana kemudian menariknya untuk pameran di Galeri Hadiprana, Kebayoran Baru, Jakarta, 1976, dan ternyata 26 lukisan terjual semua pada malam pembukaan. Dan sejak itu ia tak muncul lagi di Pasar Seni Ancol. Kristiyanto, menurut pengakuannya, melahirkan gaya itu ketika bersama delapan temannya mengadakan pameran bersama yang disebut Pameran "Nusantara, Nusantara," Pebruari 1975, di Yogyakarta. Pameran itu merupakan sindiran terhadap para pemenang Pameran Besar Seni Lukis Indonesia 1974, di TIM Jakarta. Reaksi terhadap PBSI.I 1974 memang ramai. Yang lebih dulu muncul, ialah pernyataan "Desember Hitam," yang bagaimanapun ternyata lebih mempunyai konsep dan bisa dilihat dalam karya-karya Seni Rupa Baru. Reaksi Kristiyanto dan kawan-kawan, sebaliknya, tidak pakai pernyataan atau konsep. Mereka cuma menyindir-dengan melukis seperti para pemenang dekoratif. Tapi lain daripada yang lain, Kristiyanto agak punya semangat tersendiri. Mungkin merasa cocok dengan gaya tersebut, sejak pameran di Galeri Hadiprana 1976 yang lalu ia lebih tekun. Pameran yang antara 23 Nopember sampai dengan 2 Desember 1978 yang lalu di galeri itu menyuguhkan juga karya-karya cat minyaknya untuk lukisan gaya dekoratif yang sama yang dibuatnya dengan cat air atau cat poster. Tapi pamerannya yang sekarang ini kurang laku, justru mungkin karena karyanya berkembang. Sementara yang tetap begitu saja di Pasar Seni Ancol tetap dibeli orang. Terakhir, menurut cerita Hatta, "20 lukisan saya terjual dalam waktu empat hari." Bidang gambar Kristiyanto biasanya diisi penuh dengan pohon-pohon dan daunnya digambar satu persatu, kecil-kecil, lalu rumput juga dilukis sehelai demi sehelai. Ia mampu menyuguhkan suasana entah berkabut, entah cerah, entah mendung, entah angin yang sepoi-sepoi atau angin yang agak keras. Salah satu lukisannya bahkan bercerita tentang satu keluarga yang terpaksa pergi entah ke mana, lewat padang rumput, karena di kejauhan nampak rumahnya terbakar. Gaya ini memang cenderung diabaikan orang-orang senirupa kita. Mungkin karena belum mencapai mutu yang boleh dibanggakan. Masih hanya mengolah bentuk. Indah saja tak lebih.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus