LUKISAN gaya dekoratif adalah biasa. Lukisan tradisionil Bali
atau wayang beber Jawa maupun Bali bisa dianggap sebagai contoh
untuk seni rupa dekoratif yang lama. Yang baru bisa disebutkan
antara lain: lukisan Kartono Yudhokusumo, Widayat, Suhadi,
Suparto dan banyak lagi. Di dalamnya tak ada perspektif dan
volume bentuk, tapi penggarapan bentuk dilakukan sampai ke
detil.
Entah karena biasanya lukisan dekoratif mengambil motif dari
ragam hias daerah (Indonesia) dan karenanya gampang dikatakan
keindonesiaannya, dia laris. Mungkin juga karena kecenderungan
banyak orang berduit sekarang untuk membeli yang disangka
bersifat "klasik" -- lihat saja kursi-kursi berukir yang banyak
menghias gedung mewah.
Yang menarik ialah di Pasar Seni Ancol, Jakarta, sejak dibuka
Pebruari 1975 sampai hari ini, ada satu gaya lukisan dekoratif
yang tidak mengambil motif ragam hias, tapi yang mengambil
bentuk-bentuk realistis. Ternyata pelukisnya tidak cuma seorang.
Tak akan ada yang mengaku tentu, siapa yang menyontek. Tapi
berdasar siapa yang pertama kali membawanya ke Ancol mungkin
bisa ditelusur jejaknya.
Menurut cerita Hatta Hambali, jebolan "Asri" yang kini melukis
seperti itu juga, pertama kali lukisan dekoratif gaya itu dibawa
dari Yogya dan pelukisnya bernama Alex Suprapto. Alex ini
lukisannya memang begitu dan tahun 1973 sempat meraih hadiah
Wendi Sorensen di Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia "Asri"
Yogyakarta dengan lukisan gaya itu. Dan lukisannya ternyata laku
keras di Ancol. Cuma Alex mungkin tak berambisi jadi kaya ia
berhenti melukis dan bekerja di Bandung sebagai disainer
tekstil.
Kurang Laku
Tapi ada orang yang matanya awas dan perhitungannya tepat. Dia
pelukis muda Nisan Kristiyanto. Langsung saja dia memproduksi
lukisan gaya tersebut tapi dengan bahan cat minyak atau cat
poster pada kertas. Kecuali membuatnya bisa cepat, juga modalnya
ringan dan karenanya bisa dijual dengan harga murah dibanding
kalau dibuat dari cat minyak pada kanvas. Luar biasa pada
awal-awal Pasar Seni Ancol konon ia pernah menjual 40 lukisan
macam tersebut dalam tempo seminggu. Harganya sekitar Rp 25
ribu.
Melihat hal itulah kemudian beberapa temannya yang mencari duit
di Pasar Seni mengarahkan tangan mereka ke gaya itu. Ada sekitar
delapan orang yang tiba-tiba saja menawarkan lukisan macam itu
dan laris semua.
Kristiyanto, yang boleh disebut pemopuler gaya itu, memang lebih
tekun dari yang lain. Cara kerjanya lebih halus dan ia punya
ciri khusus. Tak heran kalau Hadiprana kemudian menariknya untuk
pameran di Galeri Hadiprana, Kebayoran Baru, Jakarta, 1976, dan
ternyata 26 lukisan terjual semua pada malam pembukaan. Dan
sejak itu ia tak muncul lagi di Pasar Seni Ancol.
Kristiyanto, menurut pengakuannya, melahirkan gaya itu ketika
bersama delapan temannya mengadakan pameran bersama yang disebut
Pameran "Nusantara, Nusantara," Pebruari 1975, di Yogyakarta.
Pameran itu merupakan sindiran terhadap para pemenang Pameran
Besar Seni Lukis Indonesia 1974, di TIM Jakarta. Reaksi terhadap
PBSI.I 1974 memang ramai. Yang lebih dulu muncul, ialah
pernyataan "Desember Hitam," yang bagaimanapun ternyata lebih
mempunyai konsep dan bisa dilihat dalam karya-karya Seni Rupa
Baru.
Reaksi Kristiyanto dan kawan-kawan, sebaliknya, tidak pakai
pernyataan atau konsep. Mereka cuma menyindir-dengan melukis
seperti para pemenang dekoratif. Tapi lain daripada yang lain,
Kristiyanto agak punya semangat tersendiri. Mungkin merasa cocok
dengan gaya tersebut, sejak pameran di Galeri Hadiprana 1976
yang lalu ia lebih tekun. Pameran yang antara 23 Nopember sampai
dengan 2 Desember 1978 yang lalu di galeri itu menyuguhkan juga
karya-karya cat minyaknya untuk lukisan gaya dekoratif yang sama
yang dibuatnya dengan cat air atau cat poster.
Tapi pamerannya yang sekarang ini kurang laku, justru mungkin
karena karyanya berkembang. Sementara yang tetap begitu saja di
Pasar Seni Ancol tetap dibeli orang. Terakhir, menurut cerita
Hatta, "20 lukisan saya terjual dalam waktu empat hari."
Bidang gambar Kristiyanto biasanya diisi penuh dengan
pohon-pohon dan daunnya digambar satu persatu, kecil-kecil, lalu
rumput juga dilukis sehelai demi sehelai. Ia mampu menyuguhkan
suasana entah berkabut, entah cerah, entah mendung, entah angin
yang sepoi-sepoi atau angin yang agak keras. Salah satu
lukisannya bahkan bercerita tentang satu keluarga yang terpaksa
pergi entah ke mana, lewat padang rumput, karena di kejauhan
nampak rumahnya terbakar.
Gaya ini memang cenderung diabaikan orang-orang senirupa kita.
Mungkin karena belum mencapai mutu yang boleh dibanggakan. Masih
hanya mengolah bentuk. Indah saja tak lebih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini