Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Dipukul Rupiah Mengambang

Pedagang Dolar gelap yang banyak berkeliaran di Pasar Baru, Jakarta merasa terpukul akibat jatuhnya nilai rupiah. Pembeli Dolar meningkat sedangkan penjual menurun. (sd)

9 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK hanya pedagang-pedagang besar yang sibuk membicarakan mengkeretnya rupiah di pangkuan dollar. Badar (50 tahun) pedagang dollar liar di bilangan Pasar Baru (Jakarta) sejak 1948, ikut memijit kepala. "Devaluasi sekarang ini ibarat pertarungan gajah dengan banteng," ujarnya kepada Karni Ilyas dari TEMPO, "sementara kami ini hanyalah semut-semut yang berada di kakinya." Kembang-kempis dollar bagi Badar tidak membawa perubahan pada pekerjaannya. Ia tidak mendapat keuntungan mendadak karena kejadian besar di pertengahan bulan Nopember itu. "Walau tahu satu jam sebelumnya, mau apa-kami tidak punya modal," ujarnya kalem-kalem saja. Ia sendiri mengaku telah menduga harga mata uang asing akan naik karena inflasi selama ini. Iapun tidak percaya akan ada perubahan membaik dengan pengkaitan rupiah kepada semua mata uang asing. "Bagaimana mungkin, kalau semua kredit luar negeri masih dihitung dollar Amerika," katanya berteori. Selalu Gagal Badar adalah salah satu dari sekitar 25 pedagang dollar jalanan di Pasar Baru. Daerah ini sudah merupakan pasar gelap dollar sejak zaman Jepang. Badar termasuk pedagang dollar senior. Ia sudah mengurus dollar di zaman revolusi ketika uang RI dan Belanda masih kacau. Ia juga sempat mengalami masa sebelum tahun 1965 yang dikatakan banyak orang sebagai zaman emas pedagang dollar. Waktu itu pasaran dollar gelap sangat gencar. Tapi Badar sendiri, yang menghidupi 10 orang anaknya di celah-celah dollar dan rupiah, tak pernah menganggap masa itu masa jaya. "Karena paling banter juga penghasilannya hanya dua kali sekarang," ujarnya. Ibu Badar berasal dari Bogor, sedangkan bapaknya Arab. Ia dilahirkan di Jakarta. Ia mengaku sebagai pedagang dollar yang tak beruntung. Antara tahun 1955-1958 ia berhenti menggauli dollar. "Saya jadi pelaut," ujarnya. Tetapi kemudian ternyata laut membosankan. Akhirnya kembali lagi ke pelukan dollar. Sesudah itu masih dicobanya beberapa kali berdagang macam-macam. Selalu gagal. Akhirnya ia menerima dollar sebagai pekerjaannya yang terakhir. "Mungkin nasib saya harus di sini," katanya menunjuk kawasan Pasar Baru tempat orang-orang elit berbelanja itu. Setiap hari Badar berdiri di emperan toko antara pukul 9 pagi sampai pukul 10 malam. Pada setiap orang yang lewat, dia berbisik "Dollar, dollar bang, dollar buk." Sebenarnya ia tidak mencintai pekerjaan ini, karena ia menganggap hasilnya terlalu sedikit. Memang ia mendapat pengalaman bergaul dengan dollar, cuma harga pengalaman itu baginya terlalu mahal. Pelajaran pertama, misalnya untuk membedakan dollar asli dan palsu kadangkala harus ditebus mahal sekali. "Karena itu hanya mungkin diperoleh dengan pengalaman," kata Badar. Untuk membedakan dollar palsu dengan asli Badar dan kawan-kawannya hanya memakai perasaan. Umumnya pedagang dollar baru, sekali dua kali pasti kena kecoh. Tapi mereka yang berpengalaman pun bisa jadi korban juga. Badar menunjuk nasib yang menimpa Hamdani. Kawan itu sudah bekerja sejak tahun 1965. Jadi termasuk sudah ahli juga soal dollar. Nggak tahunya bulan lalu, ketika Hamdani (37 tahun) menyerahkan 100 dollar Amerika kepada "cukongnya", ketahuan dollar itu palsu. "Akibatnya saya harus mengganti sebanyak Rp 40 ribu, dasar apes," kata Hamdani nimbrung. Untung saja nilai rupiah waktu itu belum turun. Cukong adalah pemilik-pemilik dollar untuk siapa para pedagang dollar itu beroperasi. Orang-orang seperti Badar hanya bermodal dengkul. Hanya mulut yang cuap-cuap menawarkan dollar. Kalau kena sasaran tinggal dikontakkan dengan pemilik dollar yang sebenarnya, yang tak boleh kelihatan karena katanya saja pasar gelap. Dulu Badar memang pernah punya duit. Menurut cerita rekan seperjuangannya, Badar pernah mengalami masa jaya, karena ia sanggup bergerak membeli sampai 50 ribu dollar Amerika. "Tapi begitulah," kata Badar mengenangkan masa itu, "riwayat hidup saya tidak cocok dijadikan teladan karena bukannya maju melainkan mundur. Saya tidak mengharapkan pekerjaan ini diwarisi anak-anak saya." Salah seorang anaknya sudah di SMA sekarang. Djamaluddin Taher alias Nurdin (41 tahun), rekan Badar asal Padang mengatakan hidup pedagang dollar tak pernah enak. Dulu di zaman dollar tidak diperjualbelikan bebas, ia banyak ketanggor untung, karena banyak orang tak tahu berapa kurs yang sebenarnya. Setelah jual-beli bebas, masa surampun datang. Apa lagi karena tindakan 15 Nopember, bukan saja rupiah, nasib pedagang-pedagang dollar inipun ikut melayang. "Ini hari dari pagi saya belum dapat uang," kata Nurdin kepada TEMPO pada 28 Nopember sore lalu. Kerja Dua Kali "Pemerintah seharusnya menaikkan dollar tidak sampai Rp 200 sekaligus, agar harga-harga juga tidak naik mendadak," keluh Nurdin setengah menggurui. Menurut pendapatnya, dengan tindakan yang diambil sekarang ini, Pemerintah akan kerja dua kali. "Harga naik sekarang terpaksa ditertibkan, kan bikin kerjaan saja," ujarnya. Untunglah ia masih punya isteri yang bekerja di Rumah Sakit Angkatan laut sebagai pegawai administrasi, sehingga pukulan rupiah mengambang itu masih sempat dielakkannya. "Kalau tidak, untuk makan juga payah," kata Nurdin. Nurdin meninggalkan Padang 1963. Mula-mula berdagang pakaian. Tahun 1968 ia melihat ada celah manis dalam transaksi dollar. Pada 1970 ia mengalami masa emas sebagai pedagang dollar. Apalagi pada musim-musim haji. Di samping calon-calon haji, langganan Nurdin terdiri dari orang-orang yang ogah berurusan dengan bank, atawa mereka yang buru-buru ingin mendapatkan rupiah. "Kalau nasib baik bisa terbawa Rp 3000 sampai Rp 5000 sehari," ucapnya "kadang-kadang kalau langkah kanan bisa dapat uang Rp 50 ribu sehari. Tapi kalau naas, ya tidak ada transaksi selama 1 minggu." Transaksi yang sampai ke tangan Nurdin memang hanya kecil-kecilan saja. Hanya dari mereka yang malas pergi ke bank. Untungnya tidak banyak. Paling memanfaatkan selisih satu dua rupiah. Ia tidak mungkin membeli dollar lebih tinggi dari Bank atau Money Changer, meskipun dalam soal menjual bisa ia tekan sedikit. Misalnya kurs resmi satu dollar Rp 625. Money Changer membeli satu dollar dengan Rp 621 dan menjualnya Rp 632. Pedagang dollar Pasar Baru mungkin bisa menjual dollar Rp 631. Jadi lebih murah satu point, mengingat tidak ada biaya administrasi pada cukongnya. Tetapi mereka tidak akan berani membeli dollar lebih dari Rp 618, karena cukong tidak akan mau membelinya kalau harganya sama dengan bank atau money changer. Mata pencaharian ini tampaknya agak menggelisahkan sekarang. Jangankan Rp 125 ribu -- sebagaimana yang pernah digondol Nurdin pada masa yang lalu, sekarang dapat Rp 10 ribu saja sudah termasuk top. Padahal anaknya 3 orang memerlukan biaya yang semakin gawat setiap hari. Kini ia merasa jadi pedagang dollar hanya paksaan keadaan. "Kalau ada modal saya akan tinggalkan profesi ini," katanya dengan yakin. Memang sebegitu jauh dari kawasan Pasar Baru tak ada pedagang dollar yang pada akhirnya jadi kaya. Yang sekedar berhasil pun jarang. "Kalau sekedar makan cukup, ada, tapi belum seorang pun yang bisa membangun rumah dari jual beli dollar ini," kata Hamdani. Bahkan menurut Badar para pedagang dollar baru bisa berhasil sesudah mereka berhenti jadi seksi cuap di pasar gelap itu. Salah seorang alumnus ditunjuk Badar: pengusaha "Toko Tambuo yang bernama Amran. "Itu teman saya dulu, sekarang ia kaya," kata Badar. Selain di Pasar Baru, pasar gelap dollar pernah bangkit di daerah Kota (Jakarta). Tak lama hilang. Sepengetahuan Badar, Pasar Baru ini sekarang satu-satunya di Jakarta. Di dalamnya tak kurang dari 5 cukong yang beroperasi. Transaksi bisa berlangsung sampai juah malam. Pernah ada yang mengurus jual beli pukul 1 malam. Khususnya untuk para anak-anak kapal yang mau berangkat paginya. Di samping sekitar 25 orang para penjaja yang berkeliaran, masih ada beberapa pedagang kaki lima yang nyambi. Tidak ada organisasi yang menyatukan pedagang-pedagang ini. " Tidak ada persatuan," kata Nurdin menegaskan, "bahkan teman bisa makan teman." Langkanya minat tukar menukar, tentu saja menimbulkan persaingan. Setiap langganan bisa jadi rebutan. Satu kali bisa terjadi seorang langganan mencari pedagang kenalannya yang sedang makan, disabot oleh pedagang lain dengan mengatakan pedagang bersangkutan sakit. Kadangkala persaingan itu seperti dipupuk sendiri oleh para cukong. Misalnya seorang pedagang menawarkan dollar ditolak sedang pedagang lainnya dibeli. Jadi iklim bersaing dibina. "Kita yang tak punya modal ini hanya bisa sakit hati," kata Badar menjelaskan hubungannya dengan cukong. Ia sering tak jadi ketiban untung, karena cukong tak mau membeli dollar yang ditangkapnya. "Mungkin dia ragu-ragu takut harga dollar turun," ujarnya. Selain gembira karena bisa menambah kenalan, rupa-rupanya hidup pedagang dollar memang suram. Apalagi sekarang. Anehnya setiap tahun ada saja wajah baru. "Habis tidak punya modal ini kan tidak ada modalnya kecuali menawarkan kepada setiap orang lewat," kata Nurdin menjelaskan. Yang agak melegakan sekarang adalah mereka tidak diuber-uber oleh razia lagi seperti di tahun 1965/1968. Waktu itu Badar sempat menyaksikan seorang langganan yang hendak menukar dollarnya, sampai menelan dollarnya supaya tidak kena bekuk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus