TIDAK hanya pedagang-pedagang besar yang sibuk membicarakan
mengkeretnya rupiah di pangkuan dollar. Badar (50 tahun)
pedagang dollar liar di bilangan Pasar Baru (Jakarta) sejak
1948, ikut memijit kepala. "Devaluasi sekarang ini ibarat
pertarungan gajah dengan banteng," ujarnya kepada Karni Ilyas
dari TEMPO, "sementara kami ini hanyalah semut-semut yang berada
di kakinya."
Kembang-kempis dollar bagi Badar tidak membawa perubahan pada
pekerjaannya. Ia tidak mendapat keuntungan mendadak karena
kejadian besar di pertengahan bulan Nopember itu. "Walau tahu
satu jam sebelumnya, mau apa-kami tidak punya modal," ujarnya
kalem-kalem saja. Ia sendiri mengaku telah menduga harga mata
uang asing akan naik karena inflasi selama ini. Iapun tidak
percaya akan ada perubahan membaik dengan pengkaitan rupiah
kepada semua mata uang asing. "Bagaimana mungkin, kalau semua
kredit luar negeri masih dihitung dollar Amerika," katanya
berteori.
Selalu Gagal
Badar adalah salah satu dari sekitar 25 pedagang dollar jalanan
di Pasar Baru. Daerah ini sudah merupakan pasar gelap dollar
sejak zaman Jepang. Badar termasuk pedagang dollar senior. Ia
sudah mengurus dollar di zaman revolusi ketika uang RI dan
Belanda masih kacau. Ia juga sempat mengalami masa sebelum tahun
1965 yang dikatakan banyak orang sebagai zaman emas pedagang
dollar. Waktu itu pasaran dollar gelap sangat gencar. Tapi Badar
sendiri, yang menghidupi 10 orang anaknya di celah-celah dollar
dan rupiah, tak pernah menganggap masa itu masa jaya. "Karena
paling banter juga penghasilannya hanya dua kali sekarang,"
ujarnya.
Ibu Badar berasal dari Bogor, sedangkan bapaknya Arab. Ia
dilahirkan di Jakarta. Ia mengaku sebagai pedagang dollar yang
tak beruntung. Antara tahun 1955-1958 ia berhenti menggauli
dollar. "Saya jadi pelaut," ujarnya. Tetapi kemudian ternyata
laut membosankan. Akhirnya kembali lagi ke pelukan dollar.
Sesudah itu masih dicobanya beberapa kali berdagang macam-macam.
Selalu gagal. Akhirnya ia menerima dollar sebagai pekerjaannya
yang terakhir. "Mungkin nasib saya harus di sini," katanya
menunjuk kawasan Pasar Baru tempat orang-orang elit berbelanja
itu.
Setiap hari Badar berdiri di emperan toko antara pukul 9 pagi
sampai pukul 10 malam. Pada setiap orang yang lewat, dia
berbisik "Dollar, dollar bang, dollar buk."
Sebenarnya ia tidak mencintai pekerjaan ini, karena ia
menganggap hasilnya terlalu sedikit. Memang ia mendapat
pengalaman bergaul dengan dollar, cuma harga pengalaman itu
baginya terlalu mahal. Pelajaran pertama, misalnya untuk
membedakan dollar asli dan palsu kadangkala harus ditebus mahal
sekali. "Karena itu hanya mungkin diperoleh dengan pengalaman,"
kata Badar.
Untuk membedakan dollar palsu dengan asli Badar dan
kawan-kawannya hanya memakai perasaan. Umumnya pedagang dollar
baru, sekali dua kali pasti kena kecoh. Tapi mereka yang
berpengalaman pun bisa jadi korban juga. Badar menunjuk nasib
yang menimpa Hamdani. Kawan itu sudah bekerja sejak tahun 1965.
Jadi termasuk sudah ahli juga soal dollar. Nggak tahunya bulan
lalu, ketika Hamdani (37 tahun) menyerahkan 100 dollar Amerika
kepada "cukongnya", ketahuan dollar itu palsu. "Akibatnya saya
harus mengganti sebanyak Rp 40 ribu, dasar apes," kata Hamdani
nimbrung. Untung saja nilai rupiah waktu itu belum turun.
Cukong adalah pemilik-pemilik dollar untuk siapa para pedagang
dollar itu beroperasi. Orang-orang seperti Badar hanya bermodal
dengkul. Hanya mulut yang cuap-cuap menawarkan dollar. Kalau
kena sasaran tinggal dikontakkan dengan pemilik dollar yang
sebenarnya, yang tak boleh kelihatan karena katanya saja pasar
gelap. Dulu Badar memang pernah punya duit. Menurut cerita rekan
seperjuangannya, Badar pernah mengalami masa jaya, karena ia
sanggup bergerak membeli sampai 50 ribu dollar Amerika. "Tapi
begitulah," kata Badar mengenangkan masa itu, "riwayat hidup
saya tidak cocok dijadikan teladan karena bukannya maju
melainkan mundur. Saya tidak mengharapkan pekerjaan ini diwarisi
anak-anak saya." Salah seorang anaknya sudah di SMA sekarang.
Djamaluddin Taher alias Nurdin (41 tahun), rekan Badar asal
Padang mengatakan hidup pedagang dollar tak pernah enak. Dulu di
zaman dollar tidak diperjualbelikan bebas, ia banyak ketanggor
untung, karena banyak orang tak tahu berapa kurs yang
sebenarnya. Setelah jual-beli bebas, masa surampun datang. Apa
lagi karena tindakan 15 Nopember, bukan saja rupiah, nasib
pedagang-pedagang dollar inipun ikut melayang. "Ini hari dari
pagi saya belum dapat uang," kata Nurdin kepada TEMPO pada 28
Nopember sore lalu.
Kerja Dua Kali
"Pemerintah seharusnya menaikkan dollar tidak sampai Rp 200
sekaligus, agar harga-harga juga tidak naik mendadak," keluh
Nurdin setengah menggurui. Menurut pendapatnya, dengan tindakan
yang diambil sekarang ini, Pemerintah akan kerja dua kali.
"Harga naik sekarang terpaksa ditertibkan, kan bikin kerjaan
saja," ujarnya. Untunglah ia masih punya isteri yang bekerja di
Rumah Sakit Angkatan laut sebagai pegawai administrasi, sehingga
pukulan rupiah mengambang itu masih sempat dielakkannya. "Kalau
tidak, untuk makan juga payah," kata Nurdin.
Nurdin meninggalkan Padang 1963. Mula-mula berdagang pakaian.
Tahun 1968 ia melihat ada celah manis dalam transaksi dollar.
Pada 1970 ia mengalami masa emas sebagai pedagang dollar.
Apalagi pada musim-musim haji. Di samping calon-calon haji,
langganan Nurdin terdiri dari orang-orang yang ogah berurusan
dengan bank, atawa mereka yang buru-buru ingin mendapatkan
rupiah. "Kalau nasib baik bisa terbawa Rp 3000 sampai Rp 5000
sehari," ucapnya "kadang-kadang kalau langkah kanan bisa dapat
uang Rp 50 ribu sehari. Tapi kalau naas, ya tidak ada transaksi
selama 1 minggu."
Transaksi yang sampai ke tangan Nurdin memang hanya
kecil-kecilan saja. Hanya dari mereka yang malas pergi ke bank.
Untungnya tidak banyak. Paling memanfaatkan selisih satu dua
rupiah. Ia tidak mungkin membeli dollar lebih tinggi dari Bank
atau Money Changer, meskipun dalam soal menjual bisa ia tekan
sedikit. Misalnya kurs resmi satu dollar Rp 625. Money Changer
membeli satu dollar dengan Rp 621 dan menjualnya Rp 632.
Pedagang dollar Pasar Baru mungkin bisa menjual dollar Rp 631.
Jadi lebih murah satu point, mengingat tidak ada biaya
administrasi pada cukongnya. Tetapi mereka tidak akan berani
membeli dollar lebih dari Rp 618, karena cukong tidak akan mau
membelinya kalau harganya sama dengan bank atau money changer.
Mata pencaharian ini tampaknya agak menggelisahkan sekarang.
Jangankan Rp 125 ribu -- sebagaimana yang pernah digondol Nurdin
pada masa yang lalu, sekarang dapat Rp 10 ribu saja sudah
termasuk top. Padahal anaknya 3 orang memerlukan biaya yang
semakin gawat setiap hari. Kini ia merasa jadi pedagang dollar
hanya paksaan keadaan. "Kalau ada modal saya akan tinggalkan
profesi ini," katanya dengan yakin.
Memang sebegitu jauh dari kawasan Pasar Baru tak ada pedagang
dollar yang pada akhirnya jadi kaya. Yang sekedar berhasil pun
jarang. "Kalau sekedar makan cukup, ada, tapi belum seorang pun
yang bisa membangun rumah dari jual beli dollar ini," kata
Hamdani. Bahkan menurut Badar para pedagang dollar baru bisa
berhasil sesudah mereka berhenti jadi seksi cuap di pasar gelap
itu. Salah seorang alumnus ditunjuk Badar: pengusaha "Toko
Tambuo yang bernama Amran. "Itu teman saya dulu, sekarang ia
kaya," kata Badar.
Selain di Pasar Baru, pasar gelap dollar pernah bangkit di
daerah Kota (Jakarta). Tak lama hilang. Sepengetahuan Badar,
Pasar Baru ini sekarang satu-satunya di Jakarta. Di dalamnya tak
kurang dari 5 cukong yang beroperasi. Transaksi bisa berlangsung
sampai juah malam. Pernah ada yang mengurus jual beli pukul 1
malam. Khususnya untuk para anak-anak kapal yang mau berangkat
paginya. Di samping sekitar 25 orang para penjaja yang
berkeliaran, masih ada beberapa pedagang kaki lima yang nyambi.
Tidak ada organisasi yang menyatukan pedagang-pedagang ini. "
Tidak ada persatuan," kata Nurdin menegaskan, "bahkan teman bisa
makan teman."
Langkanya minat tukar menukar, tentu saja menimbulkan
persaingan. Setiap langganan bisa jadi rebutan. Satu kali bisa
terjadi seorang langganan mencari pedagang kenalannya yang
sedang makan, disabot oleh pedagang lain dengan mengatakan
pedagang bersangkutan sakit. Kadangkala persaingan itu seperti
dipupuk sendiri oleh para cukong. Misalnya seorang pedagang
menawarkan dollar ditolak sedang pedagang lainnya dibeli. Jadi
iklim bersaing dibina. "Kita yang tak punya modal ini hanya bisa
sakit hati," kata Badar menjelaskan hubungannya dengan cukong.
Ia sering tak jadi ketiban untung, karena cukong tak mau membeli
dollar yang ditangkapnya. "Mungkin dia ragu-ragu takut harga
dollar turun," ujarnya.
Selain gembira karena bisa menambah kenalan, rupa-rupanya hidup
pedagang dollar memang suram. Apalagi sekarang. Anehnya setiap
tahun ada saja wajah baru. "Habis tidak punya modal ini kan
tidak ada modalnya kecuali menawarkan kepada setiap orang
lewat," kata Nurdin menjelaskan. Yang agak melegakan sekarang
adalah mereka tidak diuber-uber oleh razia lagi seperti di tahun
1965/1968. Waktu itu Badar sempat menyaksikan seorang langganan
yang hendak menukar dollarnya, sampai menelan dollarnya supaya
tidak kena bekuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini