Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Masih Sekitar Pengguntingan Pita

Pembenahan acara siaran di tvri belum menyentuh paket "siaran berita" karena apa yang dilakukan belum selesai. tvri akan menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat. tvri berulang tahun ke-26.

27 Agustus 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMASUKI usia ke-27, dari sekian banyak acara yang sudah dibenahi TVRI, ada satu hal yang dilewatkan: siaran berita. Dalam paket Berita Nusantara dan Berita Nasional masih akan terlihat banyak berita pengguntingan pita dan penyematan bintang. Atau berita di sekitar pejabat, dari bupati sampai menteri. Apa yang terjadi? Direktur Televisi Drs. Ishadi S.K. menyebutkan hambatan utama masalah ini adalah teknis dan nonteknis. Nonteknis yaitu dana yang terbatas. Masalah teknis adalah belum tersedianya stasiun pengirim dari daerah ke Jakarta. Tiadanya stasiun pengirim itu menyebabkan berita disiarkan terlambat. Contohnya: anak buah Ishadi bisa mengatasi birokrasi dan dana bisa mencukupi, ketika pesawat Garuda mengalami kecelakaan di Medan. Tapi liputan TVRI dari Medan itu kalah cepat dengan siaran televisi Jepang NHK. "Karena NHK mengirim berita lewat stasiunnya di Singapura, sedang awak TVRI harus menunggu pesawat ke Jakarta," katanya. Itulah sebabnya, mengapa siaran Berita Nasional dari segi aktualitas sering tidak memenuhi kriteria pekerjaan pers alias banyak yang basi. Bahkan Berita Nusantara hampir-hampir mirip keranjang sampah, lebih parah dari Berita Nasional. Sementara itu, persoalan dana memang berkait erat. Tak mudah mengirim wartawan TVRI untuk meliput peristiwa-peristiwa yang "kering", apalagi itu memerlukan transpor. Biayanya mahal, baik ongkos jalan maupun bahan baku. Bandingkanlah kalau meliput kegiatan di departemen. Selain ada penggantian bahan baku, awak televisi yang dikirim ke situ juga mengantungi uang transpor plus uang saku dari pengundang. Situasi kerja begini sama di mana-mana, baik stasiun pusat ataupun daerah. Di stasiun TVRI Yogya, uang dari pengundang itu disebut "uang partisipasi". "Sifatnya tidak mengikat dan tidak ada kewajiban kami menyorot atau menampilkan pesan instansi yang bersangkutan," kata Drs. Semyon Sinulingga, Kepala Stasiun TVRI Yogyakarta. "Kalau ingin disiarkan beritanya, memang harus bayar. Pembayaran itu sah karena sudah ada peraturannya, jadi tidak liar." "Ketentuan membayar itu sudah lama berlaku dan sudah banyak yang tahu. Selain tu, instansi yang mengundang harus menyediakan uang transpor dan uang saku bagi kru TVRI," kata Semyon lagi, tanpa menyebutkan berapa tarif berita itu. Dari sisi jurnalistik, menurut Semyon berita TVRI memang banyak kelemahannya. Apalagi TVRI Yogya dibanjiri dengan berita-berita release yang biasanya dikirimkan oleh humas pemda tingkat II. Dengan demikian, "tingkatan kami belum menentukan layak berita tetapi baru tahapan layak release," kata Semyon. Dalam dunia seperti ini tak terhindarkan lagi berita-berita tentang pejabat, arus searah dari atas ke bawah. Untuk mencari berita sendiri, kesulitannya adalah dana. Dengan anggaran TVRI Yogya yang hanya Rp 1,5 milyar setahun, "kami lebih mementingkan membuat acara yang menarik," kata Semyon. Dari "mengorbankan" paket berita itulah TVRI Yogya bisa membuat acara seperti Visirama (pergelaran orkes lengkap Institut Kesenian Indonesia Yogyakarta), Tanah Merdeka, Khazanah Dunia Ilmu, Profil Budayaan, selain ketoprak -- acara yang banyak dinilai sukses. TVRI Bandung pun tak bisa mengerjakan paket berita tanpa bantuan "pengundang". Anggaran per bulan TVRI Bandung yang hanya Rp 50 juta separuhnya dipakai menggaji 130 karyawan. Sisanya hanya untuk membuat acara yang bisa menarik simpati masyarakat Jawa Barat, dan itu pun masih dibantu Pemda Ja-Bar sebanyak Rp 50 juta setahun. "Untuk produksi acara biayanya Rp 10 sampai Rp 12 juta setiap jam," kata Gunawan Subagio, Kepala TVRI Bandung. Dalam Upaya merebut simpati masyarakat itu, TVRI Bandung pernah menempuh kebijaksanaan yang menyimpang dan, eh, ditegur. Soalnya, mereka menyiarkan wayang golek dengan dalang terkenal Acep Sunandar. Tapi ada embel-embel yang mengganjal. Pada akhir acara disebutkan: "Acara ini berlangsung atas kerja sama dengan Kopi Kapal api". "Itu saya lakukan karena kurangnya dana, tapi itu dulu," kata Gunawan. Berita Nusantara dan Berita Nasional bernasib tragis seperti itu, tapi tidak demikian dengan Dunia Dalam Berita (DDB). Siaran berita yang paling digemari ini semakin meningkat dan mulai Oktober nanti akan lebih "maju". Persoalannya adalah TVRI tidak perlu mengerahkan reporter. Berita datang sendiri lewat agen-agen seperti Asia Vision dan DPA Jerman Barat -- tentu dengan membeli. Dan aktualitasnya sangat tinggi, karena dipancarkan dari Kuala Lumpur langsung ke Jakarta. Mulai Oktober nanti, pengiriman berita dari 12 negara Asia yang dikoordinasikan Asia Vision itu memakai sistem hot switching. Sistem ini memungkinkan berita itu kelak diedit di Jakarta. Ini lebih menjamin aktualitas. Selama ini, maaf, editingnya dilakukan di Kuala Lumpur. Jangan heran bila berita industri perhiasan Sri Lanka disiarkan lebih dari sekali, begitu pula berita banjir di Bangladesh, yang saking seringnya sampai membosankan. Kriteria "layak berita" dalam DDB, menurut Ishadi, sebenarnya sudah ada, walau belum dirumuskan betul. Secara umum berita yang audio-visual yang lebih disukai. "Buktinya, tak semua bahan yang datang disiarkan," kata Ishadi. Jika pembenahan acara siaran di TVRI belum menyentuh siaran berita, menurut Dirjen RTF Alex Leo Zulkarnain, "karena apa yang dilakukan belum final, kami selalu menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat." Selain itu, ada pembenahan ke dalam menyangkut masa depan TVRI itu sendiri. Kini secara blak-blakan dibicarakan bagaimana sebaiknya bentuk lembaga yang cocok. "Pilihan status itu sedang digodok. Mungkin bukan perusahaan jawatan atau perusahaan umum. Yang dicari satu bentuk khusus, yang sesuai dengan fungsi TVRI sebagai media massa, tetapi tetap mengemban tugas Departemen Penerangan," kata Alex Leo. Putu Setia, Rustam F. Mandayun, Aries Margono, Ida Farida

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus