Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ibarat menarik benang dalam tepung, pemerintah harus ulet dalam membebaskan tujuh warga negara Indonesia yang disandera di Filipina selatan. Segala daya perlu dikerahkan untuk menyelamatkan sandera dari sekapan Abu Sayyaf—sempalan Front Pembebasan Nasional Moro, kelompok separatis yang sudah berdamai dengan pemerintah Filipina. Dibutuhkan pula negosiasi yang pintar agar sandera bisa dibebaskan tanpa harus membayar tebusan.
Negosiasi juga perlu dilakukan dengan pemerintah Filipina, yang kini gencar menyerang kelompok Abu Sayyaf. Ini penting karena Filipina masih merasa keberatan terhadap campur tangan militer Indonesia. Filipina menolak tentara Indonesia masuk dengan alasan lokasi awal penyanderaan berada di perairan negara itu dan bukan di wilayah Indonesia.
Alasan lokasi ini sesuai dengan fakta di lapangan. Kelompok Abu Sayyaf menyergap anak buah kapal tugboat Charles 001 yang mengangkut batu bara di perairan Filipina pada 20 Juni lalu. Mula-mula milisi ini menyandera Kapten Ferry Arifin, Muhammad Mahbrur Dahri, dan Edi Suryono. Satu jam kemudian, empat kru yang lain juga dibawa. Semua sandera semula disekap di daerah Panamao, Kepulauan Sulu. Namun, sejak awal Juli lalu, tiga sandera dibawa ke Pulau Lapac. Pemisahan ini semakin menyulitkan upaya pembebasan.
Pemerintah Indonesia perlu sekuat tenaga mendesak Filipina agar bersedia membuka pintu bagi militer kita. Langkah ini bukan semata untuk memperlihatkan kesungguhan pemerintah menyelamatkan warga negaranya, tapi juga buat menekan kelompok penyandera. Upaya negosiasi dengan penyandera akan sulit jika posisi mereka di atas angin.
Indonesia harus bersikap tegas dan tak perlu memberikan tebusan, yang diperkirakan mencapai Rp 60 miliar. Membayar tebusan akan bertabrakan dengan resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang bertekad menyetop sumber dana kelompok teroris, termasuk dana yang diperoleh lewat penyanderaan. Lagi pula, kompromi akan menyuburkan penyanderaan dan terorisme. Bisa saja perairan Filipina yang berimpitan dengan wilayah Indonesia berubah seperti perairan Somalia, yang menjadi surga bagi penyandera.
Penyanderaan selama ini seakan sudah jadi kegiatan rutin kelompok Abu Sayyaf. Korbannya bukan cuma warga negara Indonesia, melainkan juga warga negara Malaysia dan wisatawan asing. Pada Maret 2005, tiga warga negara Indonesia yang menjadi anak buah kapal juga pernah disandera selama tiga bulan oleh kelompok ini.
Belakangan, warga Indonesia kembali jadi incaran. Sepuluh awak kapal tunda Brahma disandera kelompok itu pada Maret 2016 dan baru dilepaskan pada awal Mei lalu. Tak lama kemudian, pada pertengahan April lalu, empat orang Indonesia yang menjadi awak kapal tunda Henry juga disandera oleh kelompok Abu Sayyaf dan baru dibebaskan sebulan kemudian.
Pembebasan sandera pada dua kejadian terakhir mengundang kontroversi karena dikabarkan bukan merupakan hasil operasi intelijen. Ada yang menuding Indonesia membayar tebusan yang diminta kelompok Abu Sayyaf, kendati tudingan ini dibantah pemerintah. Hal seperti itu perlu dihindari dalam pembebasan tujuh warga negara Indonesia yang sekarang masih disandera.
Pemerintah harus lebih cermat dalam upaya membebaskan sandera kali ini—bisa lewat negosiasi, operasi intelijen, ataupun pengerahan militer langsung. Apa pun hasilnya, setelah operasi dilakukan, pemerintah perlu menjelaskan secara transparan kepada publik usaha pembebasan itu agar tidak mengundang spekulasi dan kecurigaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo