Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Sel Harapan Diterpa Kecaman

Sejarah teknologi kesehatan bisa berubah drastis dengan penggunaan sel stem. Tapi penggunaan sel dari janin manusia itu dikritik keras.

3 September 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GONG perdebatan etika kesehatan tampaknya semakin ditabuh keras pada akhir Agustus 2000. Itu gara-gara pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan keputusan drastis dengan menyetujui pendanaan penelitian tentang sel stem dari janin manusia. Padahal, sejak 1996, Kongres menentang rencana penggunaan uang rakyat untuk proyek penelitian yang bisa menghancurkan atau mengancam jabang bayi itu.

Sebenarnya, dari segi teknologi kesehatan, sel stem janin manusia atau sel tandan bisa disebut sebagai induk dari tiap sel di tubuh manusia. Sel stem ditemukan dua tahun lalu oleh para peneliti di Amerika Serikat. Sel itu bisa memproduksi sel-sel lain dalam jaringan tubuh manusia. Diperkirakan, sel itu berpotensi pula mengobati jaringan tubuh yang terkena penyakit ataupun rusak.

Selain itu, sel stem calon manusia bisa direkayasa untuk berkembang biak menjadi sel jaringan tubuh yang mana saja. Teknik yang sudah dikembangkan adalah budi daya sel stem janin dalam tabung. Dengan demikian, bentuk tunggal sel tersebut bisa dideteksi. Dari situ pula bisa ditemukan kesesuaiannya bagi organ ataupun jaringan tubuh manusia.

Diduga juga, sel stem janin lebih unggul ketimbang sel stem jaringan tubuh lainnya, misalnya sel stem kornea yang bisa memproduksi sel kornea baru untuk menggantikan sel yang rusak ataupun uzur. Teknologi yang memanfaatkan sel stem kornea telah dikembangkan. Hasilnya? Menurut Journal of Cornea edisi Juli lalu, 14 pasien yang mengalami kerusakan mata parah di Amerika dapat disembuhkan. Sayangnya, kemampuan sel stem kornea terbatas karena tak bisa memproduksi sel tipe lain.

Itulah bedanya dengan sel stem janin. Tak aneh bila dunia kesehatan amat berharap lewat terobosan ilmiah dengan sel stem janin. Penyakit serius seperti Parkinson, Alzheimer, jantung, kencing manis, kebutaan, dan lupus diperkirakan bisa ditanggulangi dengan pengembangan teknologi baru itu.

Namun, berbarengan dengan ekspektasi besar di bidang kesehatan lewat teknologi itu, ternyata kecaman pun membanjir. Keberatan paling keras datang dari Dr. Juan de Dios Vial Correa di Gereja Vatikan. Correa menganggap teknologi yang memanfaatkan janin manusia hidup sangat mengancam hak hidup orang. "Meski teknologi itu bertujuan baik, tak lantas tindakan kelirunya dianggap baik," katanya.

Para penentang juga berpendapat bahwa penggunaan sel stem janin terhitung sikap mau gampang. Padahal, menurut mereka, teknologi bisa diterapkan tanpa harus menggunakan sel stem janin bayi. Dengan sel stem tali pusar dan sel sumsum tulang manusia dewasa, umpamanya, sel jaringan tubuh lainnya juga bisa dikembangkan.

Argumentasi itu mungkin tak salah. Persoalannya, sel stem yang diambil dari manusia dewasa kalah fleksibel dibandingkan dengan sel stem janin. Dalam jangka waktu lama, sel stem dewasa juga lebih sulit dirawat.

Boleh jadi karena demikian besarnya gelombang kritik, akhirnya pemerintah Amerika menyiapkan rambu-rambu untuk memperketat penerapan teknologi tersebut. Restriksi itu, antara lain, sel stem harus diambil dari janin yang memang hendak digugurkan. Donor penyedia janin juga tak boleh dibayar. Hal ini dimaksudkan agar orang tak sekadar memberikan janin demi uang.

Selain itu, sel stem janin hanya boleh diambil oleh perusahaan swasta. Kali ini alasannya supaya kelompok anti-aborsi tak menuduh pemerintah telah menggunakan uang negara untuk proyek penelitian tersebut.

Sementara itu, Paul Berg, pemenang Hadiah Nobel bidang biologi dari Stanford University, menilai rambu-rambu tadi cukup bagus untuk mengembangkan teknologi ini tanpa harus melanggar etika ataupun perasaan moral. Berg bahkan menyebut, "Sungguh tak bermoral bila penelitian yang bisa menyelamatkan nyawa manusia ini tak diteruskan."

Sekalipun demikian, masih ada pula pendapat yang menganggap rambu-rambu tersebut terlalu longgar. Setidaknya alasan ini bisa dikaitkan dengan aspek penerapan rentetan rambu itu nantinya. Agaknya, perdebatan seputar etika kesehatan tentang teknologi sel stem janin manusia masih akan panjang.
Yusi A. Pareanom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus