Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBAGAI janda kembang, Indri Sulistyowati, 24 tahun, terhitung cantik. Berkulit putih mulus, tinggi tubuhnya 167 sentimeter. Dia juga cukup kaya. Bekerja sebagai komisaris sebuah perusahaan, ia memiliki rumah sedikitnya dua buah di Bintarojaya, Jakarta Selatan, dengan mobil sedan Mercy dan Kijang terbaru. Indri punya seorang anak perempuan berusia satu setengah tahun dari perkawinan pertamanya.
Tapi, pelbagai kelebihan itu kini berantakan. Indri mengalami cacat. Jalannya berjinjit dengan langkah terseok. Kalau tumit kaki kanannya dipaksa menjejak lantai, "Sakitnya terasa sangat menyayat. Saya enggak kuat nahan," ujar Indri.
Nestapa yang menimpa Indri terjadi akibat petaka pada Minggu, 25 Juli 1999. Padahal, ketika itu Indri sudah berencana menikah dengan Letnan Satu Risnanto, 27 tahun. Perkawinan Indri dan Risnanto, yang menjadi Wakil Kepala Kepolisian Sektor Tangerang, Jawa Barat, akan berlangsung pada 31 Agustus 1999.
Semula, Indri mengenal Risnanto melalui seorang teman, pada April 1999. Saat itu Risnanto, yang dikenal supel, bertugas di Kepolisian Daerah Metro Jaya. Mereka kemudian semakin akrab. Indri jatuh hati pada pria bertubuh tinggi dan tegap itu. Risnanto, yang lulusan Akademi Kepolisian tahun 1994, juga menyambut cinta Indri.
Demikian kasmarannya Indri pada Risnanto, sampai-sampai dia selalu mentraktir sang Romeo. Handphone untuk Risnanto pun dibiayai. Bahkan, dia mengontrakkan sebuah rumah di Modern Land, Tangerang, untuk kekasihnya. "Habis, ia enggak kos, enggak ngontrak. Tidurnya di kantor terus," tutur Indri.
Namun, setelah tiga bulan menjalin kasih, Indri mengaku mulai mengetahui sifat asli Risnanto. Kata Indri, pacarnya itu pemboros, pencemburu, bahkan gampang marah. Tak aneh bila mereka kadang bertengkar cuma untuk urusan sepele.
Sampai pada peristiwa tanggal 25 Juli 1999. Siang itu, Indri, yang berpakaian rapi, mendatangi Risnanto di rumah kontrakan tadi. Risnanto masih berkaus singlet dan celana kolor. Indri mengajak Risnanto ke acara kerabatnya, sekalian akan memperkenalkan calon suaminya itu.
Tapi, Risnanto malah marah dan menolaknya. Terjadi pertengkaran kecil antara kedua sejoli itu. Waktu itulah Indri melihat pistol dinas Risnanto, jenis Colt kaliber 38, tergeletak di lantai. Sembari menegur Risnanto karena sembarangan menaruh pistol, Indri mengambil senjata api itu.
Tiba-tiba, Risnanto mendekapnya dari belakang. Indri tak mengerti maksudnya. "Kalau karena dorongan seks, rasanya enggak mungkin. Saya sedang berpakaian lengkap," ujar Indri. Risnanto meraih tangan Indri yang memegang pistol. Sekejap saja, "dor", pistol menyalak. Indri merasakan pinggul belakang sebelah kanannya tertembus sesuatu. Dia pingsan.
Risnanto segera membawa Indri ke Rumah Sakit Honoris di Modern Land. Selama lima jam, Indri dioperasi di situ. Belakangan, Indri dioperasi lagi di Rumah Sakit Pertamina. Itu gara-gara operasi di Rumah Sakit Honoris dianggap tak benar. Sebab, di rumah sakit itu justru bagian perut Indri yang dioperasi. Bahkan peluru dibiarkan tetap berada di dalam tubuh Indri.
Menurut Indri, kesalahan Rumah Sakit Honoris-lah yang mengakibatkan dirinya cacat. Itu sebabnya, pekan-pekan ini dia menggugat rumah sakit itu di Pengadilan Negeri Tangerang. Dia menuntut ganti rugi Rp 2,3 miliar akibat malapraktek tersebut.
Menghadapi tuntutan itu, kuasa hukum Rumah Sakit Honoris, Rufinus Sianturi, menyatakan bahwa kliennya sudah bertindak sesuai dengan standar prosedur. Menurut Rufinus, operasi lima jam pada bagian perut Indri merupakan upaya penyelamatan nyawa pasien. Dokter berusaha memperbaiki bagian dalam tubuh Indri yang terkena lintasan peluru.
Dari operasi itu pula diketahui bahwa peluru telah bersarang di antara dua tulang rusuk. Namun, operasi kedua untuk mengambil peluru tak gampang. Sebab, selain kondisi Indri sudah payah, tindakan medis itu pun membutuhkan bantuan ahli saraf. Rencananya, hal itu akan dilakukan pada 31 Juli 1999. Tapi Indri tak kunjung menyetujuinya, bahkan dia telanjur dioperasi di rumah sakit lain.
Benar-tidaknya argumentasi itu memang belum diputuskan oleh pengadilan perdata. Persoalannya sekarang adalah bagaimana urusan Indri dan Risnanto. Polisi muda yang kini tak diberi jabatan lagi itu membantah tuduhan telah menembak Indri. "Demi Allah, demi Rasulullah. Saya tak menembaknya. Sumpah. Biar saya dan tujuh turunan saya masuk neraka," kata Risnanto.
Yang terjadi, menurut dia, waktu itu Indri ngambek karena Risnanto tak mau diajak. Indri lantas mengambil pistol di bawah ranjang dan mengancam akan bunuh diri. Risnanto mencoba merebutnya. Ketika itulah si bongkok meletus. "Saya siap mempertanggungjawabkannya," ujar Risnanto. Sayang, perkara penembakan yang sudah setahun itu belum jua sampai ke mahkamah.
Happy S., Darmawan Sepriyossa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo