Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Serbuk Pemangsa Kotoran

Toilet yang dikembangkan LIPI bersama Jepang ini dapat mengurai langsung kotoran manusia. Tak perlu air untuk membilas.

12 Desember 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LELAKI itu tergopoh-gopoh pada suatu siang. Rasa sakit mengocok-ngocok perutnya. Mulas yang hebat. Petugas keamanan kantor Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bandung itu harus mengayunkan puluhan langkah untuk ke toilet khusus yang ada di kantor itu. ”Saya tidak boleh buang hajat di sembarang toilet,” katanya memberikan alasan.

Amar, begitulah nama satpam itu, menggunakan jamban spesial di kantor itu, sebagaimana beberapa staf pegawai yang lain. Setiap kali mulas menyerang perut lelaki berusia 35 tahun tadi, toilet yang ada di tengah kantor LIPI Bandung itulah tujuannya, walaupun toilet itu jauh dari tempat ia berjaga. Ia tak memilih toilet lain, meski lokasinya lebih dekat.

Toilet spesial itu sepintas sama saja dengan toilet lain di seluruh dunia. Di dalamnya ada kloset duduk, lengkap dengan wastafel putih untuk cuci tangan. Sabun, tisu, dan pengharum ruangan juga tersedia di dalam toilet seluas 2,25 meter persegi itu.

Yang berbeda adalah teknologi di balik jamban ini. ”Toilet ini langsung dapat mengurai kotoran manusia,” kata Dr Ir Neni Sintawardani, peneliti LIPI yang menjadi koordinator penelitian. Amar adalah satu dari 10 karyawan LIPI Bandung yang dipilih untuk menguji coba toilet tersebut.

Uniknya, kakus mewah ini sama sekali tidak memerlukan air untuk membilas tinja. Makanya, di lubang kloset tak ada genangan air seperti toilet umumnya. Tinja, ujar Neni, langsung masuk ke kotak penampung kotoran yang ada di bawah toilet. Di tempat itulah penguraian berlangsung. Itulah sebabnya, alat ini disebut biotoilet—toilet yang ramah lingkungan.

Kisah toilet ini mulai menjadi pembicaraan di meja-meja rapat di LIPI Bandung, ketika mereka sedang melakukan penelitian tentang isu kelangkaan air dan buruknya sanitasi lingkungan di kawasan padat penduduk. Pada umumnya, di kawasan itu, limbah rumah tangga langsung dibuang ke sungai. Plung lap, nyemplung langsung lap (hilang) dibawa air. Biasanya kultur seperti itu lahir karena terbatasnya lahan sehingga warga tidak bisa membuat septic tank.

Untuk mengatasi persoalan itu, sejak 2003 Pusat Penelitian Fisika LIPI bekerja sama dengan Japan Science & Technology Agency (JST). Mulanya, kerja sama itu hanya meliputi penelitian di dalam laboratorium, serta survei hidrologi di kawasan Kiaracondong—sebuah kawasan padat penduduk di Bandung. Namun penelitian berkembang setelah peneliti Jepang menyumbangkan kotak penampung kotoran untuk LIPI, pada pertengahan 2004.

Maka, pada Agustus hingga Oktober tahun lalu, LIPI mulai membuat dua biotoilet. Oleh peneliti LIPI, tiga perempat kapasitas kotak penampungan itu diisi serbuk kayu gergajian. ”Serbuk kayu itu akan menjadi media yang cocok untuk bakteri pengurai,” kata Neni. Sebab, menurut Kepala Biro Kerja Sama dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi LIPI itu, pori-pori serbuk kayu—tempat menempelnya bakteri—dapat menjebak udara yang dibutuhkan untuk melakukan penguraian.

Suhu yang ada di dalam kotak penampungan juga dijaga konstan, sekitar 40 derajat Celsius. Kondisi ini akan membuat bakteri efektif bekerja. Untuk mencapai suhu yang diinginkan, di dalam kotak penampungan ditempatkan pemanas yang diaktifkan sewaktu-waktu. ”Tapi pemanasan itu akan otomatis berhenti jika suhu sudah mencapai kondisi yang diinginkan,” katanya.

Kalau sudah begitu, bakteri Escherichia coli—yang dihasilkan kotoran manusia— dapat hidup di serbuk kayu dan melakukan penguraian di dalam kotak penampungan. Nantinya, penguraian itu menghasilkan karbondioksida (CO2) dan air (H2O). Dalam 6 hingga 12 bulan, kotoran yang terkumpul dapat diambil sebagai kompos. Setelah itu, kotak penampungan diisi kembali dengan serbuk kayu baru.

”Toilet ini memang dikembangkan untuk memotong siklus limbah rumah tangga agar tidak mengotori lingkungan,” kata Muhammad Affendi, salah satu anggota peneliti. Untuk keperluan penelitian, biotoilet itu kini ditempatkan di kantor LIPI Bandung dan di asrama pria Pesantren Daarut Tauhid, milik Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym.

Dua biotoilet itu memiliki kapasitas pemakaian yang berbeda. Biotoilet yang di LIPI memiliki kapasitas pemakaian 5 hingga 10 orang per hari. Adapun yang di Pesantren Daarut Tauhid memiliki kapasitas pemakaian 25 hingga 50 orang per hari.

”Pembatasan pemakaian dimaksudkan agar tidak menimbulkan efek bau,” ucap Neni. Sebab, bila terjadi pemakaian yang berlebihan, bakteri pengurai yang menempel di serbuk kayu bisa-bisa tak mampu melakukan penguraian lagi.

Jenis serbuk kayu yang dimasukkan ke kotak penampungan juga berbeda. Kotak penampungan biotoilet yang di LIPI diisi serbuk kayu borneo. Adapun yang di Pesantren Daarut Tauhid diisi dengan serbuk kayu albasia. Kini, kedua biotoilet tersebut sudah dipakai untuk kebutuhan sehari-hari.

Hasilnya, biotoilet yang di LIPI sudah dua kali panen—istilah untuk mengambil ampas yang tersisa dari campuran kotoran dan serbuk kayu hasil penguraian. Sedangkan yang di Daarut Tauhid baru dipanen satu kali. Namun, menurut Affendi, hasil panen itu masih berupa prakompos. ”Kami masih melakukan penelitian mengenai kualitas hasil panen itu,” katanya. Kelak kotoran itu bisa diolah jadi kompos.

Percobaan biotoilet ini bukan tanpa kendala. Persoalannya lebih pada masalah kebiasaan, seperti yang dialami Amar. ”Saya tak terbiasa memakai kertas tisu,” katanya. Apalagi, untuk membilas bagian tubuhnya setelah buang hajat, Amar hanya diperbolehkan menyemprotkan air paling banyak tiga kali dari semprotan khusus yang disediakan di dalam biotoilet. Sebab, air yang berlebihan saat membilas akan membuat bakteri pengurai di dalam kotak penampungan tak bisa tumbuh.

Meski begitu, Amar senang menjadi ”kelinci percobaan”. Toilet ini, kata dia, tidak menebarkan bau bila dipakai bergantian. Keharusan menimbang sebelum dan sesudah buang jahat membuat ia tahu berapa bobot tubuhnya yang berkurang. ”Saya bisa turun 70 gram,” kata Amar sambil tersenyum.

Kini, LIPI akan menguji biotoilet ketiga yang baru selesai bulan lalu. Kali ini, seluruh komponennya murni dibuat oleh bengkel LIPI. Kapasitas pemakaiannya juga lebih besar dari toilet yang ada di Pesantren Daarut Tauhid. Biaya yang dihabiskan dalam pembuatan toilet terbaru ini sekitar Rp 20 juta. Tapi, kalau sudah diproduksi massal, Neni yakin, harga toilet itu akan lebih murah.

Bahkan Neni sudah berencana, toilet ramah lingkungan itu nantinya akan didesain tanpa motor dan pemanas. ”Tapi memakai sepeda ontel, biar hemat listrik,” ucapnya. Sepeda ontel itu dipakai untuk mengganti peran motor listrik saat mengaduk udara dengan serbuk kayu.

Yandhrie Arvian, Ahmad Fikri (Bandung), Rilla Nugraheni (Denpasar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus