BERHADAPAN dengan kondisi tanah, di dekat Muara Angke, para pelaksana pembangunan jalan raya bebas hambatan Jakarta-Pelud Cengkareng sempat pusing tujuh keliling. Wilayah itu hampir berbentuk lumpur cair. "Padahal, kami diminta menerapkan sistem cakar ayam," ujar Djoko Martanto, Kepala Divisi Teknik dan Operasi PT Yala Perkasa Internasional (YPI) . Cakar ayam memang sistem fondasi yang terutama dikembangkan bagi tanah lembek. Namun, tantangan yang dihadapi YPI terlalu berat. Kedalaman Iumpur mencapai 8 m - 11 m. "Misalkan tanah asli diambil, lalu diganti dengan tanah yang lebih bagus, entah berapa biayanya," tutur Djoko, sarjana teknik sipil ITB. Dalam berusaha memecahkan masalah ini, YPI berpaling pada geotekstil - metode khusus yang, antara lain, memecahkan problem tanah urukan. Kebetulan pula, mereka teringat pengalaman pembuatan jalan di perbatasan Hong Kong--RRC, yang juga menerjang tanah lembek. Di sana, para teknisi memilih stabilenka, lembaran geotekstil yang dibuat dari polyester. Geotekstil sebetulnya bukan barang baru. Pada konperensi nasional ke-2 Himpunan Ahli Teknik Tanah Indonesia (HATTI), Januari 1982, teknologi ini ramai ditanggapi. Namun, penggunaannya untuk proyek penting baru diterapkan di jalan raya Jakarta-Cengkareng tadi, sejak Oktober tahun lalu. Hasilnya? Hingga akhir pekan silam, penanganan tanah berlumpur sepanjang dua kilometer itu sudah selesai 90%. Cara kerjanya sederhana. Mulamula, lembaran stabilenka yang mirip plastik itu dibentang di tanah lembek. Setiap rol stabilenka berisi 150 sampai 300 meter lembaran, dengan lebar 520 cm. Kemudian, sedikit demi sedikit, ditimbuni tanah setempat dan pasir laut sampai setinggi 25 cm. Lapisan ini kemudian dilempit, diuruk lagi, berulang-ulang, hingga mencapai ketinggian 2 m - 2,5 m. Barulah di atasnya diberi aspal. Semula, stabilenka yang dibutuhkan diperkirakan sekitar 50.000 m2. Ternyata jumlah ini membesar, mengingat ada bagian tertentu yang harus dikerjakan ulang. Terutama pada bagian tepi jalan dan yang berdekatan dengan iembatan, yang menuntut daya dukung lebih besar. "Mungkin seluruhnya akan membutuhkan 140.000 m2," kata Ir. Boediharto Hardjomarsono, Direktur Pembangunan PT Jasa Marga, kepada Yusroni dari TEMPO, pekan lalu. Harga stabilenka sekitar Rp 4.000 per m2. Di Indonesia, geotekstil sudah dimanfaatkan sejak awal 1980-an. Bahkan mulai diproduksikan. Hanya, standar produksinya konon belum cocok untuk proyek-proyek besar. "Diperlukan geotekstil yang mempunyai daya dukung 20 ton per m2, tutur Boediharto. "Sedangkan produksi domestik baru mencapai empat ton sampai lima ton per m2." Pilihan terhadap stabilenka juga didasarkan pada "waktu yang sangat mendesak," kata Djoko Martanto. Pabrik Indonesia tidak bisa memenuhi pesanan dalam waktu singkat. "Kebetulan pula, ada kelebihan stabilenka dalam pembuatan jalan Hong Kong- RRC, sehingga langsung bisa dikirim ke sini." Menurut jadwal, pemasangan stabilenka harus selesai dua bulan lagi. Sedangkan proyek jalan raya itu sendiri diharapkan rampung Oktober tahun ini. Dengan stabilenka geotekstil buatan Negen Belanda itu - tanah urukan diharapkan stabil, tanpa penurunan setempat. Kalaupun turun, akan terjadi secara merata sehingga memperkecil kerusakan. Pabrik Enka, konon, memproduksikan lembaran ini melalui pengalaman 25 tahun. Dari riset dan pengujian berulang-ulang, daya tahan stabilenka dinyatakan sangat tinggi terhadap perusakan bakteri dan kimiawi, khususnya untuk pelapisan tanah dan konstruksi di bawah permukaan air. Proyek jalan raya Jakarta-Cengkareng menggunakan stabilenka-200, dengan masa pakai sekitar sepuluh tahun. Setelah itu, "tanah dengan sendirinya stabil, dan stabilenka tak diperlukan lagi," ujar Djoko Martanto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini