DAERAH bahaya I, dalam radius 10 km dari kawah Galunggun, sudah
jadi padang pasir, akibat timbunan 20 juta m3 lahar yang
dimuntahkan gunung itu. Hampir-hampir tak ada harapan. Tapi
genap setahun-Galunggung meletus, 5 April nanti, nampaknya akan
diperingati penduduk di Kampung Kikisik dengan ... menuai padi.
Hampir tak masuk akal: Di atas hamparan lahar di kampung yang
hanya beriarak 7 km dari kepundan gunung itu, sekarang terdapat
padi yang sedang menguning, sementara di sana-sini terlihat
pohon kelapa meranggas dengan daun merunduk layu.
"Hasil panen kami nampaknya akan melimpah ruah," ujar Kiai Haji
Syadili, 63 tahun, pemimpin Pondok Pesantren Kikisik dengan
gembira. Dari cerita beberapa penduduk yang sudah panen, menurut
kiai yang lebih populer dengan panggilan "Ajengan Kikisik" itu,
rata-rata tiap hektar menghasilkan 3 ton gabah. Sedangkan ubi
jalar, yang ditanam di ladang lahar itu, umbinya bisa seberat 1
kg.
Desa yang sebelumnya seakan remuk oleh amukan lahar gunung itu,
kini bagaikan hidup kembali. Selain 400 ha padi yan siap
dipanen, di sana-sini terlihat penduduk memperbaiki rumahnya
yang rusak, malah suda ada yang membu a bengkel sepeda motor.
Padahal sebelumnya, 500 keluarga penduduk Kampung Kikisik sempat
membuat pemerintah setempat cemas. Mereka menolak anjuran
pemerintah agar mengungsi, karena Ajenean Kikisik yang mereka
"tuakan", memilih tetap tinggal di daerah bahaya I itu (TEMPO,
21 Agustus 1982).
Anjuran pemerintah sebenarnya cukup berdasar. Ketika itu para
ahli meramalkan, daerah bencana itu baru dapat dimanfaatkan lagi
dalam waktu berbilang tahun. Pendapat tersebut dikuatkan oleh
Dirjen Pertambangan Umum, Dr. Katili, yang menyatakan:
"Paling sedikit 3 sampai 5 tahun, baru lahar itu bisa ditanami."
Hal itu dikemukakan Dirjen ketika meresmikan gedung Di rektorat
Vulkanologi di Bandung pertengahan Maret lalu. Tenggang waktu
itu sambut Dr. AdjaS Sudradjat, direktur Vulkanologi, sudah
termasuk singkat. Sebab, misalnya, "Gunung Agung di Bali yang
meletus 20 tahun yang lampau, sampai sekarang belum bisa
ditanami," katanya.
Dari pengalaman dan bahan bacaan, Adjat memastikan bahwa lahar
tak tak bisa ditanami, kecuali sudah mengalami proses pelapukan.
Meskipun untuk Galunggung, proses itu memang diramalkan lebih
cepat karena, "laharnya lebih halus dan batubatuannya keropos
serta cepat lapuk." Ketika diteliti oleh Direktorat Vulkanologi,
lebih 60% lahar Galunggung berukuran halus sampai 1 mm,
sedangkan lahar Gunung Merapi sampai 70% lebih besar dari 2 mm.
Begitu pula Gunung Agung, separuh dari lahar yang dimuntahkan
gunung di Pulau Dewata itu, bergaris tengah sekitar 2 mm.
Selain itu kata Adjat, meskipun lahar Galunggung sedikit
mengandung belerang (sulfur) sehingga tidak merusak tanah, dalam
radius 20 km dari kawah gunung itu, sampai 3-5 tahun mendatang
yang akan tumbuh cuma alang-alang - seperti terjadi setelah
Gunung Lamington di Papua Nugini yang meletus awal abad ini. Di
beberapa tempat, yang ketebalan laharnya di bawah 40 cm, memang
masih bisa tumbuh ubi jalar, pisang, dan jagung. Karena benih
tumbuhan itu bisa menerobos lahar yang tak begitu tebal -
apalagi kalau lahamya dicangkul. Tapi di situ, bagaimanapun,
Adjat memastikan: "Padi tak mungkin tumbuh!"
Tapi kenyataannya padi bisa tumbuh di Kampung Kikisik? "Wah saya
bukan ahli botani," ujar geolog itu sambil mengangkat bahu.
Namun panen padi di Kikisik itu bagi para ahli di Balai
Penelitian Tanaman Pangan (Balitan) Sukamandi, Subang, tak
mengherankan. "Lahar bisa saja ditanami padi sawah maupun gogo
rancah," kata Dr. Ahmad Muzakir Fagi, seorang peneliti di sana.
Hal itu diketahui setelah meneliti lahar gunung api di Kabupaten
Tasikmalaya itu. Di Sukamandi, di rumah kaca 5 x 15 m yang
berpapan nama "Crash Program Galunggung", ditanam rumpun padi
varitas IR-36 di dalam pot-pot plastik. Di setiap pot diisi 10
kg lahar yang diambil dari Kecamatan Indihiang, daerah bahaya I,
di saat Galunggung meletus yang kedua kalinya, 8 April tahun
lalu.
Ternyata panen padi di dalam pot berisi lahar itu tak
mengecewakan, setara dengan 2,5 ton per ha, dibandingkan 3 ton
per ha dengan yang ditanam di dalam pot berisi tanah asli.
Tingi tumbuhan yan ditanam di lahar dengan di tanah biasa tak
berbeda hanya rumpunnya sedikit kerdil. "Karena lahar miskin
hara," kata Iis Syamsiah, alumni IPB, staf peneliti di
Sukamandi.
Karena itulah di dalam pot lahar itu dimasukkan pupuk setara 200
kg Urea, 100 kg TSP, dan 100 kg KCl per ha, sama dengan dosis
yang biasa dipakai petani.
Ketika dicoba mencampur lahar dengan tanah, dengan perbandingan
8:2, hasil panennya lebih baik. 3 sampai 3,5 ton per ha.
Percobaan tersebut penting. Karena, pada prakteknya, ketika
petani mencangkul di sawah atau ladang yang tertimbun lahar,
muntahan gunung api itu pasti tercamDur dengan tanah. Dan itulah
yang terjadi sekarang di Kampung Kikisik - mengapa panen padi
begitu bagus. "Mudah-mudahan dengan hasil penelitian ini,
masyarakat yang malang di Galunggung tak terus menderita," kata
Muzakir, lulusan University of Philippine (1980), yang memimpin
penelitian lahar Galunggung itu.
Melihat panen di Kampung Kikisik, tak salah lagi, sekarang
penduduk seperti tak peduli pada larangan memasuki daerah bahaya
I. Ramai-ramai mereka mengorek lahar dan menanam padi.
Ada lagi yang istimewa. Di Kampung Kikisik, seperti muncul dari
tanah saja, tumbuh jenis padi baru: "Padi Galunggung" begitu
penduduk menyebutnya Beranak banyak, dan tingginya nyaris 1 m,
"dua rumpun saja hasilnya 6 kg padi basah," kata.Kiai Syadili
sambil menunjukkan 82 rumpun padi aneh itu kepada TEMPO.
Para peneliti menduga Dadi itu berasal dari benih yan sudah
disemai sebelum Galunggung meretus. Lahar panaslah yang membuat
benih itu tumbuh lebih subur. "Panas lebih mempercepat benih
padi berkecambah," ujar Muzakir Fagi, sambil berjanji akan
meneliti sendiri ke kaki Galunggung. Siapa tahu muncul varitas
lahar?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini