LAMPU bagi proyek Waduk Wonogiri sudah dinyalakan. Awal Mei di
Bina Graha diputuskan, pemindahan penduduk 41 desa yang akan
tergenang air boleh dimulai tahun ini. Tapi saking banyaknya
penduduk di lembah Baturetno yang relatif subur itu -- 12 ribu
keluarga atau sekitar 60 ribu jiwa-- baru dalam 4 tahun semuanya
bisa tersingkir dari situ. Dan untuk selian kalinya Presiden
menekankan,"jangan sampai penduduk yang bersangkutan mengalami
kekecewaan nantinya". Begitu Menteri Sekneg Sudharmono
meneruskan pesan itu.
100 Ribu Jiwa Digusur!
Seperti sudah disimpulkan dalam hasil penelitian kelompok
konsultan Jepang yang dikontrak PUTL, waduk Wonogiri tidak
berdiri sendiri. Untuk pengendalian banjir Bengawan Solo &
Bengawan Madiun, direncanakan membuat 4 waduk. Dua waduk besar,
masing-masing di Wonogiri (daya tampung efektif 440 juta m3) dan
Jipang (552 juta m3), dan dua waduk kecil di hulu Bengawan
Madiun, masing-masing waduk Badegan dekat Ponorogo (72 juta m3)
dan waduk Bendo (51 juta m3). Tahun 1975 ditaksir biaya
pembangunan keempat waduk itu US$ 129,4 juta. Atau kalau lengkap
dengan PLTA dan saluran irigasi: $ 492.8 juta (Rp 176,6 milyar).
Tapi itu baru biaya fisik. Belum biaya sosial, termasuk ongkos
pemindahan penduduk dan sebagainya tadi. Katakanlah, dari lokasi
proyek waduk Jipang 30 ribu jiwa (6 ribu keluarga harus
dipindahkan. Dari Badegan dan Bendo 10 ribu jiwa (2 ribu
keluarga). Maka total 100 ribu jiwa perlu ditransmigrasikan dan
disediakan rumah penampungan baru. Kalau ongkos pemindahan
penduduk menurut standar internasional minimal $ 1000/kepala,
dan harga satu rumah menurut standar Mesir minimal $ 1600, maka
biaya seluruhnya sudah $ 132 juta atau Rp 54,7 milyar. Termasuk
dalam pos biaya sosial adalah ganti rugi harta milik. Yakni Rp
15,5 milyar untuk waduk Wonogiri saja, dan katakanlah 60% lagi
untuk Jipang, Badegan dan Bendo. Jadi total ganti rugi Rp 24,8
milyar. Maka seluruh biaya sosial proyek itu menjadi Rp 79,8
milyar ($ 191,7 juta). Atau hampir separo dari biaya fisik
keempat waduk 'serba guna' itu.
Hikmah Banjir Tahunan
Sudahkah itu merupakan seluruh biaya proyek, seperti yang
lazimnya dikaji orang? Belum-- kalau kita juga mau
memperhitungkan 'biaya ekologis yang mau tidak mau harus kita
bayar di kemudian hari. Yakni tergoncangnya sistem ekologi
daerah aliran sungai tersebut disebabkan pembangunan waduk-waduk
itu. Hal ini pernah diusulkan oleh nyonya Claire Sterling,
penulis ilmiah majalah The Atlantic Monthly dalam ceramahnya di
LIPI dua tahun silam.
Dengan berfngsinya keempat waduk itu, daerah hilir Bengawan Solo
di sekitar Bojonegoro akan kehilangan kiriman lumpur subur tiap
tahun. Itu salah-satu akibat. Berarti, anggaran propinsi Jawa
Timur untuk menggantikan 'pupuk alam' yang gratis iu dengan
pupuk kimiawi, akan melonjak dengan pesat. Pengalaman Mesir:
setelah pembangunan Waduk (Danau) Nasser dan Bendungan Aswan,
1,56 juta ton pupuk diperlukan untuk mempersubur daerah hilir
sungai Nil, dan anggaran tahunan negeri itu kemudian melonjak
sebanyak $ 100 juta karena berakhirnya banjir tahunan itu.
Banjir tahunan di hilir Bengawan Solo juga punya fungsi lain:
membersihkan endapan garam di bawah permukaan tanah yang dapat
'mencekik' akar tanaman. Pengalaman Mesir, sekali lagi,
merupakan pelajaran. Negeri itu terpaksa mencari $ 417 juta lagi
untuk membangun jaringan drainase terbesar di dunia. Belum
termasuk saluran-saluran air tertutup dan pompa-pompa seharga $
1 milyar lebih --atau 25% dari seluruh pendapatan negeri itu.
Juga Pakistan terpaksa menggali ribuan sumur bor untuk memerangi
kadar garam tanah yang meningkat bersama naiknya permukaan air
bawah tanah, setelah sebuah bendungan & waduk raksasa selesai
dibangun di sana. Tapi naiknya permukaan air tanah, dibarengi
meningkatnya konsentrasi garam tanah (karena drainase
dilupakan), bisa juga terjadi di daerah hulu dekat waduk itu
sendiri. Contohnya sekarang di Muangthai. Setelah menghabiskan $
12 juta untuk rencana bendungan Pa Mong, Biro Pembukaan Tanah AS
menemukan cadangan garam terbesar di dunia di bawah permukaan
tanah Dataran Tinggi Khorat. Jadinya bendungan Pa Mong, kalau
toh mau diteruskan pembangunannya, akan 'menenggelamkan' jutaan
hektar persawahan subur karena naiknya kadar garam tanah
tersebut (!).
Ikan Punah
Lumpur subur itu tidak semuanya dibagi rata di daerah persawahan
Bojonegoro. Ada juga yang diendapkan di perairan pesisir Jawa
Timur, menjadikan daerah itu subur bagi pembiakan ikan-ikan.
Jadi kisah suka para nelayan Gresik dan Madura akan berubah
menjadi kisah duka, kalau lumpur subur itu sudah disita
seluruhnya oleh keempat waduk tersebut. Seperti halnya di Mesir
di mana para nelayan kehilangan tangkapan sebanyak 18 ribu ton
ikan sarden setahun setelah Bendungan Aswan berdiri. Begitu pula
300 ribu kapal ikan Indo Cina di muara sungai Mekong akan
menganggur, kalau dua bendungan di hulu sungai itu sudah jadi.
Mungkin orang akan mendebat: bukankah kerugian para produsen dan
konsumen ikan itu akan ditutup oleh meningkatnya penangkapan
ikan air tawar di danau-danau buatan manusia itu?
Sayang sekali, kenyataannya tidak. Danau Nasser sekali lagi
merupakan contoh musibah. Orang berharap akan menangkap 50 s/d
100 ribu ton ikan setahun di danau buatan itu--dan yang terkabul
nyatanya kurang dari 5 ribu ton. Sebab, seperti juga pengalaman
di Waduk-waduk lain, banyak jenis ikan punah karena membusuknya
pohon-pohon dan tanaman lain yang tergenang air, sementara
jenis-jenis ikan buas yang menumpas sesama ikan - malah
bermunculan di situ hasil bersihnya: populasi ikan merosot -
dengan kata lain dunia ikan ditimpa KB. Dan juga disebabkan oleh
endapan lumpur dari hulu, dan menebalnya 'selimut'tanaman
hyacinth seperti bengok dan genjer-genjer di permukaan air. Yang
sudah terkenal misalnya bengok di Rawapening.
Akibat lain di samping tanaman pengganggu, adalah eksplosi hewan
pembawa penyakit. Di Muangthai Utara, dokter-dokter dipusingkan
oleh cacing yang merambat dalam daging ikan mentah. Sementara di
Mesir, sejak bendungan Aswan berdiri angka infeksi akibat
penyakit bilharzia naik dari 0 s/d 80%. Bibit penyakit itu
terbawa oleh siput-siput yang memang menyenangi perairan tenang
dl waduk-waduk raksasa itu.
Separo Kosong
Lantas apa manfaat waduk-waduk itu, yang menyolok, yang dapat
mengimbangi kerugian-kerugian ekologis dan sosialnya? Di
mana-mana adalah listrik yang menjadi alasan terpenting
pembangunan waduk dan bendungan raksasa.Juga di Bengawan Solo &
Bengawan Madiun ini. Keempat waduk yang berharga $ 492,8 juta
itu diharap akan mau membangkitkan 38 Mega Watt listrik dengan
syarat daya tampung air efektifnya bisa mencapai 1,11 milyar
meter kubik (60% dari daya tampung total). Tapi bisakah
effective storage sebesar itu tercapai?
Gangguan paling utama tentunya endapan lumpur sebanyak 8,6 juta
ton setahun itu. Waduk Juanda (Jatiluhur) saja, yang punya daya
tampung jauh melebihi waduk Gajah Mungkur (Wonogiri), pada musim
kemarau 1972 hampir tercekik turbinnya oleh endapan lumpur
sungai Citarum yang "hanya" 3,1 juta ton setahun. Di samping
itu, daya tampung efektif waduk-waduk raksasa sering tidak
tercapai karena kecepatan penguapan air begitu besar. Di Mesir,
15 milyar m3 air menguap tiap tahun dari danau Nasser, yakni
hampir 2 x lipat taksiran semula. Para perencana lupa bahwa di
permukaan danau yang besar, angin juga berhembus lebih kencang
dan karenanya penguapan air dipercepat. Sampai 1972, danau
Nasser yang berkapasitas 163 milyar m3 baru separo terisi.
'Kosong'nya danau itu juga disebabkan oleh tergesernya tubuh air
bawah tanah karena pembangunan waduk tersebut.
Pada akhirnya, 85,4 ribu hektar sawah di Jawa Tengah & Timur
diharap bisa diairi oleh ke-4 waduk itu. Itu baru di kertas.
Sebab kenyataannya, sebelum bisa sampai ke petani perlu
investasi besar untuk pembuatan saluran-saluran skunder dan
tertier. Kalaupun areal 85 ribu hektar itu bisa tercapai,
seimbangkah itu dengan merosotnya kesuburan sawah-sawah di Jawa
Timur yang bakal terhenti kiriman lumpur tahunannya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini