Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Untung Rugi Buat Siapa ?

100.000 jiwa harus ditransmigrasikan untuk pembangunan waduk wonogiri, jipang, badengan dan bendo. biaya "ekologis" berupa kehilangan kesuburan tanah, punahnya ikan dan bahaya lain patut diperhitungkan.

29 Mei 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAMPU bagi proyek Waduk Wonogiri sudah dinyalakan. Awal Mei di Bina Graha diputuskan, pemindahan penduduk 41 desa yang akan tergenang air boleh dimulai tahun ini. Tapi saking banyaknya penduduk di lembah Baturetno yang relatif subur itu -- 12 ribu keluarga atau sekitar 60 ribu jiwa-- baru dalam 4 tahun semuanya bisa tersingkir dari situ. Dan untuk selian kalinya Presiden menekankan,"jangan sampai penduduk yang bersangkutan mengalami kekecewaan nantinya". Begitu Menteri Sekneg Sudharmono meneruskan pesan itu. 100 Ribu Jiwa Digusur! Seperti sudah disimpulkan dalam hasil penelitian kelompok konsultan Jepang yang dikontrak PUTL, waduk Wonogiri tidak berdiri sendiri. Untuk pengendalian banjir Bengawan Solo & Bengawan Madiun, direncanakan membuat 4 waduk. Dua waduk besar, masing-masing di Wonogiri (daya tampung efektif 440 juta m3) dan Jipang (552 juta m3), dan dua waduk kecil di hulu Bengawan Madiun, masing-masing waduk Badegan dekat Ponorogo (72 juta m3) dan waduk Bendo (51 juta m3). Tahun 1975 ditaksir biaya pembangunan keempat waduk itu US$ 129,4 juta. Atau kalau lengkap dengan PLTA dan saluran irigasi: $ 492.8 juta (Rp 176,6 milyar). Tapi itu baru biaya fisik. Belum biaya sosial, termasuk ongkos pemindahan penduduk dan sebagainya tadi. Katakanlah, dari lokasi proyek waduk Jipang 30 ribu jiwa (6 ribu keluarga harus dipindahkan. Dari Badegan dan Bendo 10 ribu jiwa (2 ribu keluarga). Maka total 100 ribu jiwa perlu ditransmigrasikan dan disediakan rumah penampungan baru. Kalau ongkos pemindahan penduduk menurut standar internasional minimal $ 1000/kepala, dan harga satu rumah menurut standar Mesir minimal $ 1600, maka biaya seluruhnya sudah $ 132 juta atau Rp 54,7 milyar. Termasuk dalam pos biaya sosial adalah ganti rugi harta milik. Yakni Rp 15,5 milyar untuk waduk Wonogiri saja, dan katakanlah 60% lagi untuk Jipang, Badegan dan Bendo. Jadi total ganti rugi Rp 24,8 milyar. Maka seluruh biaya sosial proyek itu menjadi Rp 79,8 milyar ($ 191,7 juta). Atau hampir separo dari biaya fisik keempat waduk 'serba guna' itu. Hikmah Banjir Tahunan Sudahkah itu merupakan seluruh biaya proyek, seperti yang lazimnya dikaji orang? Belum-- kalau kita juga mau memperhitungkan 'biaya ekologis yang mau tidak mau harus kita bayar di kemudian hari. Yakni tergoncangnya sistem ekologi daerah aliran sungai tersebut disebabkan pembangunan waduk-waduk itu. Hal ini pernah diusulkan oleh nyonya Claire Sterling, penulis ilmiah majalah The Atlantic Monthly dalam ceramahnya di LIPI dua tahun silam. Dengan berfngsinya keempat waduk itu, daerah hilir Bengawan Solo di sekitar Bojonegoro akan kehilangan kiriman lumpur subur tiap tahun. Itu salah-satu akibat. Berarti, anggaran propinsi Jawa Timur untuk menggantikan 'pupuk alam' yang gratis iu dengan pupuk kimiawi, akan melonjak dengan pesat. Pengalaman Mesir: setelah pembangunan Waduk (Danau) Nasser dan Bendungan Aswan, 1,56 juta ton pupuk diperlukan untuk mempersubur daerah hilir sungai Nil, dan anggaran tahunan negeri itu kemudian melonjak sebanyak $ 100 juta karena berakhirnya banjir tahunan itu. Banjir tahunan di hilir Bengawan Solo juga punya fungsi lain: membersihkan endapan garam di bawah permukaan tanah yang dapat 'mencekik' akar tanaman. Pengalaman Mesir, sekali lagi, merupakan pelajaran. Negeri itu terpaksa mencari $ 417 juta lagi untuk membangun jaringan drainase terbesar di dunia. Belum termasuk saluran-saluran air tertutup dan pompa-pompa seharga $ 1 milyar lebih --atau 25% dari seluruh pendapatan negeri itu. Juga Pakistan terpaksa menggali ribuan sumur bor untuk memerangi kadar garam tanah yang meningkat bersama naiknya permukaan air bawah tanah, setelah sebuah bendungan & waduk raksasa selesai dibangun di sana. Tapi naiknya permukaan air tanah, dibarengi meningkatnya konsentrasi garam tanah (karena drainase dilupakan), bisa juga terjadi di daerah hulu dekat waduk itu sendiri. Contohnya sekarang di Muangthai. Setelah menghabiskan $ 12 juta untuk rencana bendungan Pa Mong, Biro Pembukaan Tanah AS menemukan cadangan garam terbesar di dunia di bawah permukaan tanah Dataran Tinggi Khorat. Jadinya bendungan Pa Mong, kalau toh mau diteruskan pembangunannya, akan 'menenggelamkan' jutaan hektar persawahan subur karena naiknya kadar garam tanah tersebut (!). Ikan Punah Lumpur subur itu tidak semuanya dibagi rata di daerah persawahan Bojonegoro. Ada juga yang diendapkan di perairan pesisir Jawa Timur, menjadikan daerah itu subur bagi pembiakan ikan-ikan. Jadi kisah suka para nelayan Gresik dan Madura akan berubah menjadi kisah duka, kalau lumpur subur itu sudah disita seluruhnya oleh keempat waduk tersebut. Seperti halnya di Mesir di mana para nelayan kehilangan tangkapan sebanyak 18 ribu ton ikan sarden setahun setelah Bendungan Aswan berdiri. Begitu pula 300 ribu kapal ikan Indo Cina di muara sungai Mekong akan menganggur, kalau dua bendungan di hulu sungai itu sudah jadi. Mungkin orang akan mendebat: bukankah kerugian para produsen dan konsumen ikan itu akan ditutup oleh meningkatnya penangkapan ikan air tawar di danau-danau buatan manusia itu? Sayang sekali, kenyataannya tidak. Danau Nasser sekali lagi merupakan contoh musibah. Orang berharap akan menangkap 50 s/d 100 ribu ton ikan setahun di danau buatan itu--dan yang terkabul nyatanya kurang dari 5 ribu ton. Sebab, seperti juga pengalaman di Waduk-waduk lain, banyak jenis ikan punah karena membusuknya pohon-pohon dan tanaman lain yang tergenang air, sementara jenis-jenis ikan buas yang menumpas sesama ikan - malah bermunculan di situ hasil bersihnya: populasi ikan merosot - dengan kata lain dunia ikan ditimpa KB. Dan juga disebabkan oleh endapan lumpur dari hulu, dan menebalnya 'selimut'tanaman hyacinth seperti bengok dan genjer-genjer di permukaan air. Yang sudah terkenal misalnya bengok di Rawapening. Akibat lain di samping tanaman pengganggu, adalah eksplosi hewan pembawa penyakit. Di Muangthai Utara, dokter-dokter dipusingkan oleh cacing yang merambat dalam daging ikan mentah. Sementara di Mesir, sejak bendungan Aswan berdiri angka infeksi akibat penyakit bilharzia naik dari 0 s/d 80%. Bibit penyakit itu terbawa oleh siput-siput yang memang menyenangi perairan tenang dl waduk-waduk raksasa itu. Separo Kosong Lantas apa manfaat waduk-waduk itu, yang menyolok, yang dapat mengimbangi kerugian-kerugian ekologis dan sosialnya? Di mana-mana adalah listrik yang menjadi alasan terpenting pembangunan waduk dan bendungan raksasa.Juga di Bengawan Solo & Bengawan Madiun ini. Keempat waduk yang berharga $ 492,8 juta itu diharap akan mau membangkitkan 38 Mega Watt listrik dengan syarat daya tampung air efektifnya bisa mencapai 1,11 milyar meter kubik (60% dari daya tampung total). Tapi bisakah effective storage sebesar itu tercapai? Gangguan paling utama tentunya endapan lumpur sebanyak 8,6 juta ton setahun itu. Waduk Juanda (Jatiluhur) saja, yang punya daya tampung jauh melebihi waduk Gajah Mungkur (Wonogiri), pada musim kemarau 1972 hampir tercekik turbinnya oleh endapan lumpur sungai Citarum yang "hanya" 3,1 juta ton setahun. Di samping itu, daya tampung efektif waduk-waduk raksasa sering tidak tercapai karena kecepatan penguapan air begitu besar. Di Mesir, 15 milyar m3 air menguap tiap tahun dari danau Nasser, yakni hampir 2 x lipat taksiran semula. Para perencana lupa bahwa di permukaan danau yang besar, angin juga berhembus lebih kencang dan karenanya penguapan air dipercepat. Sampai 1972, danau Nasser yang berkapasitas 163 milyar m3 baru separo terisi. 'Kosong'nya danau itu juga disebabkan oleh tergesernya tubuh air bawah tanah karena pembangunan waduk tersebut. Pada akhirnya, 85,4 ribu hektar sawah di Jawa Tengah & Timur diharap bisa diairi oleh ke-4 waduk itu. Itu baru di kertas. Sebab kenyataannya, sebelum bisa sampai ke petani perlu investasi besar untuk pembuatan saluran-saluran skunder dan tertier. Kalaupun areal 85 ribu hektar itu bisa tercapai, seimbangkah itu dengan merosotnya kesuburan sawah-sawah di Jawa Timur yang bakal terhenti kiriman lumpur tahunannya?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus