JELAS kiranya kita tidak boleh begitu saja menjiplak luarnegeri,
karena situasi kita berlainan. Sebaliknya, rasanya takabur juga
kalau kita berpendirian bahwa Indonesia paling sempurna di
dunia.
Pendirian demikian bisa meninibulkan sikap di mana tiap kelainan
kita oleh kita sendiri dinyatakan sebagai keunggulan. Hal-hal
yang di banyak bagian dnnia dianggap wajar, kita nyatakan tidak
sesuai dengan situasi dan kondisi sosio-kulturil Indonesia.
Akhirnya kita akan membudayakan dalih-dalih untuk menghalalkan
yang haram dan mengharamkan yang halal, karena kurang keberanian
moril untuk mengadakan koreksi terhadap diri sendiri.
Di luar negeri menteri-menteri mengundurkan diri kalau ada
kegagalan yang menyolok. Kalau kesalahan dilakukan oleh bawahan,
menurut prinsip elementer managemen hal itu dianggap kesalahan
sang menteri pula. Kalau kesalahan berasal dari atasan, maka
sang menteri mengundurkan diri pula sebagai protes. Begitulah
kalau ada kode etik atau tata krama politik supaya pemerintah
bisa berwibawa.
Tapi kalau pembesar-pembesar malahan ingin bercokol dengan tidak
tahu diri, sungguhpun sudah banyak melakukan kesalahan,
kekalutan akan timbul. Perbuatan tidak baik yang hanya di sana
sini ditindaknya sedang sebagai keseluruhan kurang konsisten
sanksinya. akan mengakibatkan kanker. Akhirnya semua akan hancur
termasuk pimpinannya.
Kita prihatin akhir-akhir ini banyak terjadi krisis manajemen
ekonomi nasional, seperti krisis proyek Krakalau Steel.
Pertamina, Bank Bumi Daya, Perusahaan Timah, Palapa, Bulog dan
yang terakhir skandal bursa komoditi. Begitu pula dalam bidang
non-ekonomi di mana pemerintah bertanggungjawab pula seperti
krisis PSSI, penghancuran stadion utama, dsb. Di luar negeri
minyak bumi membawa kemakmuran, di negara kita malahan
merangsang pinjaman di luar batas (melebihi USS 10 milyar)
sehingga kekayaan minyak kita tergadai sama sekali.
Setelah tergadai, maka IMF, Bank Dunia dsb memberikan teguran
dan membatasi kredit. Begitu pula kreditor bank Arab tidak
bersedia memberi kredit. Tahun yang akan datang kewajiban
pembayaran angsuran hutang dan bunga sudah melebihi satu milyar
dolar AS. Semasa orde lama, pemasukan devisa selalu di bawah 1
milyar dolar AS, kecuali ketika perang Korea. Sekarang pemasukan
devisa sudah melebihi 4 milyar dolar AS, tetapi pengangguran dan
kemiskinan bertambah.
Rasanya di masa Orde Lama kebijaksanaan devisa lebih baik dengan
adanya LAAPLN (Lembaga Alat-Alat Pembayaran Luar Negeri) atau
institut devisa. Sekarang terjadi pemborosan devisa, ditambah
kegagalan peningkatan produksi beras sehingga masih memerlukan
impor sejuta ton lebih setahun, yang menelan devisa luar biasa.
Krisis Bank Bumi Daya menyangkut 350 milyar rupiah, tapi yang
jelas sukar dapat kembali adalah lebih kurang 200 milyar.
Sebagin besar dari kekalutan ini adalah kredit-kredit raksasa
kepada non-pribumi yang terbukti tidak bankahle sama sekali.
Uang tersebut adalah uang rakyat, bisa sampai meliputi kcrugian
nasional lebih kurang 60 milyar rupiah (keterangan lain menyebut
lebih 100 lnilyar rupiah). Yang harus bertanggungjawab. Jelas
Menteri Perdagangan yang telah memberi izin, dan Menteri
Keuangan yang harus menjaga kebobolan devisa.
Kalau bursa seperti itu menyangkut tapi rakyat kecil pribumi
sungguhpun bankable sukar mendapatkannya, karena kurang dapat
mengikuti kebudayaan DP alias down-payment. Korupsi dengan
down-payment merajalela dan banyak petualang yang ambil kredit
dengan jaminan palsu, kemudian lari ke luar negeri dengan
bermilyar rupiah setelah ditukar dengan dolar. Yang mengalami
kerugian petualangan sebetulnya tidak hanya BBD tapi juga
bank-bank pemerintah lain.
Sekarang terjadi kehebohan bursa komoditi yang menurut taksiran
ahli komoditi dalam negeri, masih baik. Karena memodali
perdagangan produksi dalam negeri seperti halnya bursa kapas di
Mesir, bursa gandum di Rotterdam dsb. Tetapi bursa komoditi
Jakarta yang baru ditutup setelah operasi dua tahun itu untuk
memodali operator Hongkong dan Jepang. Simpanan nasional kita
disedot ke luar negeri berupa devisa, padahal kita sendiri
kekurangan modal guna menghidupkan perekonomian rakyat dan
pembangunan.
Bursa komoditi hanya merupakan jual beli kertas berharga yang
sudah menjadi jalan skandal dan penipuan kaliber besar. Karena
itu bursa di Rotterdam, Amsterdam, London dsb, diawasi ketat
oleh pemerintah dengan sanksi berat, dan makelar-makelarnya yang
disumpah itu mutlak harus memiliki garansi bank. Apakah
organisasi rayuan-rayuan yang ada di Jakarta tadi
sungguh-sungguh diawasi Pemerintah, Bank, Polisi dsb, agar tidak
timbul skandal internasional yang merugikan negara dan rakyat
kita? Ada pula kabar bahwa yang diperdagangkan malahan bukan
komoditi tetapi kertas lotere, yang menyedot bermilyar rupiah ke
luar negeri.
Kebanyakan rakyat kita memang miskin. Tetapi beberapa gelintir
orang kaya dapat menguras kekayaan nasional karena mendapat
kebebasan, atau karena pemerintah tidak waspada. Jika karena
ikut bursa komoditi mereka ini bangkrut, itu salah sendiri.
Tetapi pada dasarnya itu tindakan a-sosial, a-nasional dan
merugikan rakyat.
Hal ini rupanya semula tidak disadari Menteri Perdagangan. Maka
tidak aneh. Jika ada usul, supaya orang-orang yang terlibat
dalam bursa komoditi dikumpulkan di Nusakambangan untuk
merenungkan perbuatan: apakah tidak menyalahi Pancasila dan UUD
'45 antara lain pasal 33, 28 dsb. Tetapi dari segi lain, Menteri
Perdagangan telah memberi izin dan Menteri Keuangan tidak
berbuat apa-apa.
Marilah kita waspada dan mengatur roda perekonomian lebih baik.
Dalam hal ini jangan diharap sesuatu dari DPR. Karena, sesuai
realitas, DPR sudah tidak berfungsi. Banyak kehebohan ekonomi
terjadi dan tak pernah ada peringatan koreksi, kritik atau
interpelasi dari DPR.
Malahan tidak satu pun undang-unddng dalam tujuh tahun ini
diprakarsai DPR.
Semuanya hanya melegalisir keinginan pemerintah termasuk GBHN
yang hanya didiskusikan beberapa hari. Memang menurut taksiran,
DPR sekarang hanya 20, saja yang sungguh-sungguh mewakili
rakyat. Semoga DPR yang akan datang akan lebih memiliki
prakarsa, lebih mempunyai keberanian.
Lebih penting lagi sesudah pemilu pemerintah (eksekutip) lebih
bersih, lebih bermoral, untuk dapat mengatasi
kehebohan-kehebohan dalam politik, ekonomi, sosial-budaya dsb.
Syukur alhamdulillah masyarakat sudah mulai berani mendobrak
sistim calon tunggal untuk pemilihan presiden. Sistim calon
tunggal bertentangan dengan jiwa Pancasila dan UUD '45, karena
dengan be gitu MPR tidak bisa memilih dan hanya boleh
melegalisir. Maka timbulkanlah calon-calon hebat lain, dengan
demikian MPR nanti tidak mengalami demokrasi giringan.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa melindungi rakyat dan bangsa kita.
Ir. H.M. SANUSI
Jln. Patiunus 13
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini