Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUTUSAN Majelis Kehormatan Disiplin Kedokter an Indonesia dalam dugaan malpraktek atas Alfonsus Budi Susanto datang begitu terlambat. Majelis sampai menghabiskan waktu dua tahun sebelum menetapkan dua dokter yang menangani konsultan manajemen ternama itu melanggar disiplin. Hukum an yang dijatuhkan Majelis juga tak berat-berat amat: dokter Eka Julianta Wahjoepramono dicabut izin prakteknya untuk sementara, sedangkan dokter Julius July dijatuhi skorsing.
Waktu menunggu yang terlalu panjang jelas merugikan pasien. Kesempatan mendapat keadilan-syukur-syukur termasuk kompensasi atas malpraktek yang mereka alami -tak kunjung pasti. Dan tak semua pasien gigih dan mampu seperti A.B. Susanto, yang lumpuh setelah sakit di tulang belakangnya ditangani secara salah. Tak semua pasien bisa menyewa pengacara dan mengobati malpraktek dengan berobat ke Singapura. Berkat dokter Negeri Singa, A.B. Susanto yang lumpuh akhirnya bisa berjalan dengan bantuan tongkat. Tapi banyak korban malpraktek di sini tak mampu berbuat apa-apa kecuali menyerah.
Posisi pasien dalam kasus malpraktek sangat lemah. Polisi, jaksa, dan hakim terasa kurang bersemangat. Peng adilan Negeri Jakarta Utara, Maret lalu, menolak gugatan A.B. Susanto terhadap Rumah Sakit Siloam Internatio nal, tempat dia menjalani operasi pada April 2008. Selain ada keterbatasan pada aparat hukum dalam memahami problem teknis kedokteran, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran ternyata memprioritaskan sanksi administrasi yang prosesnya melalui Majelis Kehormatan dalam kasus seperti ini.
Seharusnya Majelis Kehormatan bekerja lebih cepat. Keterbatasan tenaga tak bisa dijadikan alasan untuk memperpanjang proses pemeriksaan kasus malpraktek. Semakin tinggi tumpukan berkas kasus yang masuk, semakin banyak pasien malpraktek yang terkatung-katung nasibnya.
Keberpihakan Majelis Kehormatan pada korps dokter juga layak dikritik. Hak pasien kurang dipertimbangkan. Sebagian besar anggota Majelis memang dokter. Sedikit-banyak ini berpengaruh pada sanksi terhadap dokter yang terlalu ringan walaupun terbukti melakukan malpraktek. Sampai sekarang, sebagai contoh, belum ada izin praktek dokter yang dicabut secara permanen.
Selain melakukan sosialisasi atas kehadirannya, Majelis Kehormatan perlu membuktikan diri memiliki kredibilitas tinggi. Menjadikan Majelis sebagai lembaga dengan reputasi baik dan bermartabat tidak hanya menguntungkan pasien, tapi juga menyelamatkan dokter. Mereka tak perlu lagi menerima hukuman pidana atas kesalahan praktek bila masyarakat puas atas putusan yang dihasilkan Majelis.
Malpraktek hanya satu dari setumpuk masalah kedokteran di negeri ini. Sumber besar masalah adalah "industrialisasi kedokteran". Dokter di Indonesia sudah lama berperilaku kejar setoran. Mereka berpraktek di banyak tempat dalam satu hari, menampung bejibun pasien. Akibatnya, bukan rahasia lagi bahwa dokter menangani pasien dengan terburu-buru. Tak cukup waktu bagi dokter menjelaskan diagnosis dan tindakan yang diambilnya pada pasien.
Bila tak ada perbaikan serius, kepercayaan masyarakat terhadap dokter Indonesia semakin turun. Akibatnya jelas, semakin banyak orang kita yang memilih berobat ke luar negeri, terutama Singapura atau Malaysia. Ini bukan urusan gengsi belaka, melainkan soal taruhan nyawa di meja para dokter kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo