Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bangunan dua lantai bercat putih itu berdiri kokoh dengan ditopang delapan pilar di depannya. Di antara pilar keempat dan kelima, persis di tengah-tengah, menempel gagah sebuah patung garuda. Melengkapi patung itu, sebuah ornamen berbentuk selendang merah mengelilingi bagian atas dinding bangunan, mengingatkan pada Istana Negara di Jakarta, tempat bermukimnya presiden.
Seperti Istana Negara, halaman "istana" itu luas. Bermacam pohon tumbuh subur di pekarangan yang menghampar mengelilingi bangunan tersebut. Sebuah pilar dengan bendera Merah Putih berkibar berdiri tegak di tengah pekarangan. Di pintu gerbang, terlihat sejumlah anggota Brigade Mobil bersenjata lengkap dan aparat Satuan Polisi Pamong Praja berjaga-jaga. Tak sembarang orang memang boleh masuk ke tempat tersebut.
Inilah Istana Daerah Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara. Di tempat tersebutlah Bupati Kepulauan Sula Ahmad Hidayat Mus bermukim. Terletak di pusat Kota Sanana, ibu kota Kepulauan Sula, bangunan itu tercatat sebagai rumah dinas bupati termegah di seluruh penjuru Provinsi Maluku Utara. "Pembangunannya menghabiskan lebih dari Rp 3 miliar," kata Ketua Forum Masyarakat Sula Bersatu Bakri Buamonabot kepada Tempo, akhir Juli lalu.
Abdul Karim, warga Desa Falahu, Sanana, mengatakan istana itu dibangun "di atas" tiga bangunan yang sangat penting bagi masyarakat Sula. Ketiganya adalah Gereja Ayam, Gedung Musabaqoh Tilawatil Quran, dan balai pertemuan masyarakat Sanana. Ketiga bangunan itu dulu berdiri berdampingan. "Sebagai simbol toleransi agama dan kehidupan masyarakat yang harmonis," ujar Abdul Karim kepada Tempo. Kini simbol tersebut lenyap, berganti dengan simbol kemewahan sang bupati, ya istana itu.
Menurut Bakri, Gereja Ayam dulu dibangun oleh masyarakat Sula yang beragama Islam. Begitu juga gedung tempat Musabaqoh Tilawatil Quran yang berdiri atas bantuan masyarakat Kristen. Sedangkan balai pertemuan yang berbentuk rumah adat, antara lain, digunakan sebagai tempat penyelesaian masalah jika terjadi konflik masyarakat. "Biasanya, kalau ada perang antarkampung atau antarkeluarga, semua selesai di balai pertemuan," kata Bakri.
Penggusuran ketiga bangunan di atas lahan total seluas sekitar tiga hektare itu sampai kini dipermasalahkan sejumlah tokoh di sana. Ahmad Soamole, tokoh masyarakat Sanana, mengingat penggusuran tersebut terjadi pada 2006. Saat itu, Pemerintah Kabupaten Sula berencana membangun rumah dinas untuk bupati di kabupaten yang baru ini. Ahmad Hidayat Mus, yang berhasil menang dalam pemilihan kepala daerah, segera menebar janji: merelokasi ketiga bangunan. Namun ternyata janji tinggal janji, tak kunjung terwujud hingga kini. "Kami bahkan awalnya diberi tahu bahwa rumah adat di situ dirobohkan untuk direnovasi," kata Ahmad.
Ketua Sinode Gereja Protestan Maluku Jhon Ruhulessin membenarkan cerita ini. Menurut dia, pihaknya memiliki bukti-bukti sehubungan dengan janji Ahmad Hidayat ini. Namun Jhon enggan menceritakan seperti apa bukti yang dia miliki. Menurut Jhon, mengingat karakter Ahmad Hidayat, dia tak ingin isu tentang gereja itu dipolitisasi Ahmad Hidayat, yang kini sedang bertarung memperebutkan kursi Gubernur Maluku Utara. "Kami belum mau masalah gereja ini diangkat," ujarnya.
Dihubungi Tempo, Ahmad Hidayat Mus membantah telah menyerobot lahan ketiga bangunan bernilai sosial tinggi itu untuk membangun istananya. Menurut dia, pemerintah daerah sudah membangun gereja di Desa Mangong sebagai pengganti gereja yang "lenyap" itu. Adapun lahan gedung Musabaqoh Tilawatil Quran dan balai pertemuan berada di tanah milik pemerintah. "Jadi, siapa yang bilang ada masalah?" katanya. Soal hak milik lahan, sang Bupati mungkin benar. Tapi dia lupa, tiga gedung tersebut bukan sekadar bangunan, melainkan juga simbol kesatuan dan kerukunan. Itu yang dilenyapkannya.
Febriyan (Jakarta), Budhy Nurgianto (Ternate)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo