Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tindakan Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring menandatangani Peraturan Menteri Nomor 30 Tahun 2014 yang berisi penataan ulang frekuensi 800 megahertz harus digugat keras. Selain tidak akuntabel terhadap para pemangku kepentingan, termasuk publik, keputusan masalah sepenting ini diambil menjelang dia mundur.
Peraturan yang diputuskan pada "injury time" tersebut berisi penataan ulang frekuensi 800 megahertz yang selama ini digunakan operator telekomunikasi code division multiple access (CDMA). Para operator pada frekuensi tersebut ingin berpindah ke layanan global system for mobile communications (GSM) karena pasar CDMA menciut dan pengguna GSM meningkat pesat dengan adanya layanan telekomunikasi seluler generasi ketiga.
Setelah beberapa kali pertemuan dengan para operator CDMA, dan pembagian jatah frekuensi dibakukan, masih tersisa pita (band) 2,5 megahertz. "Jalur" kosong itu rencananya dilelang atau digunakan untuk memperkuat layanan komunikasi di kawasan pedesaan. Secara mendadak, Menteri Tifatul memberikan pita 2,5 megahertz kepada PT Telekomunikasi Indonesia Tbk.
Sangat patut dipertanyakan mengapa Tifatul membuat keputusan yang berpihak pada salah satu perusahaan. Padahal pemerintah wajib bersikap netral sekaligus menjadi wasit dalam hal pengaturan pemanfaatan frekuensi. Praktek monopoli dan persaingan usaha tak sehat juga dilarang keras. Semua itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Maka, jika salah satu perusahaan telekomunikasi memperoleh jatah frekuensi lebih besar dibanding yang lain, semuanya harus melalui proses yang akuntabel dan adil serta berpihak pada kepentingan publik.
Pada hakikatnya, frekuensi itu sendiri merupakan hak publik, dan negara memiliki kewajiban mengaturnya agar tetap berada pada koridor kepentingan umum, bukan pemilik modal. Para pemangku kepentingan perlu melaporkan kemungkinan praktek persaingan usaha tak sehat di balik keputusan penataan ulang frekuensi 800 megahertz ini kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Bila praktek itu terbukti, KPPU bisa memberikan rekomendasi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menyelidiki aspek korupsi, gratifikasi, atau penyalahgunaan wewenang dari pejabat yang membuat keputusan.
Langkah penegakan hukum memang harus dilakukan karena bisnis operator GSM kanal pita lebar untuk layanan telekomunikasi seluler generasi ketiga (3G) ini merupakan ladang uang. Sejalan dengan tren makin murahnya telepon seluler cerdas (smartphone), keuntungan operator GSM dari layanan 3G meningkat dari rata-rata di bawah tiga persen pada 2008 menjadi di atas 15 persen. Alokasi frekuensi jelas merupakan hal vital bagi industri telekomunikasi, karena penambahan frekuensi sejalan dengan peningkatan laba.
Untuk itu, menteri berikutnya juga perlu merevisi Peraturan Menteri Nomor 30 Tahun 2014 yang berisi penataan ulang frekuensi 800 megahertz. Semuanya dikembalikan ke prinsip bahwa frekuensi merupakan hak publik. Karena yang bermain dalam bisnis frekuensi ini perusahaan-perusahaan telekomunikasi dengan kapital sangat besar, mereka tak segan-segan bersaing keras demi memperoleh keuntungan jumbo di ladang bisnis teknologi tinggi ini. Publik benar-benar perlu dilindungi pemerintah agar tidak semata-mata menjadi pasar tempat meraup keuntungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo