Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Darwis yang Melenyapkan Diri

Ziya Azazi, penari darwis kontemporer, merasa menari di nirwana. Tidak ada yang lebih elok selain melenyapkan diri.

29 September 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Diawali dengan suara-suara berderak, lampu panggung pertunjukan lalu memperlihatkan sesosok tubuh yang berpakaian serba putih menghadapi tiga ruang kosong yang dibagi tiga dengan pembatas putih persegi. Diiringi musik yang sekilas bernuansa rock, yang kemudian menjadi irama padang pasir, penari darwis kontemporer Ziya Azazi mulai menari berputar dan berputar. Panggung yang terdiri atas tiga maqam (tempat) berbentuk persegi dengan batas lembaran- lembaran putih memanjang mengingatkan pada sistem kepribadian yang dikembangkan Sigmund Freud (pencipta ilmu jiwa dinamis): id, ego, dan superego.

Di dalam ruangan pertama, Azazi menari, berputar melawan arah jarum jam, berjumpalitan, dan melakukan salto dengan energi yang berlimpahan. Dalam tarinya, ia menyelipkan gerak staccato yang sedikit mirip break dance.

Di dalam ruangan kedua, Azazi menggelinding dan menggelinding, mengitari ruangan persegi itu dengan menyorongkan kepalanya ke depan, meliuk ke dalam, dan tubuhnya bertumpu pada punggung. Begitu terus menggelinding sampai memasuki ruangan ketiga.

Di tengah ruangan ketiga itu terletak seonggok kain. Azazi berputar terus melawan arah jarum jam seperti sejak ia bergerak yang pertama. Dia merenggut segumpal kain yang tergeletak itu, lalu ia putar-putarkan. Kain ini terlihat seperti sejumput kain penunjuk arah, yang lalu ia lemparkan ke arah penonton. Kemudian ia memungut kain putih lebar yang pada lubang kain ia sorongkan kepalanya. Nah, selembar kain putih itu adalah rok dalam tradisi kostum tari darwis gasing Tarekat Maulawiyah penyair dan mistikus Jalaluddin Rumi (1207-1273).

Diceritakan, ketika seorang pandai (kerajinan) emas memahat-mahat aksesori emas, pukulan-pukulan tatahnya bagaikan melantunkan suara Allah, Allah, Allah, tak habis-habisnya. Tubuh Rumi pun serta-merta digerakkan oleh alunan pahatan itu. Diiringi zikir Allah, Allah, Allah, Rumi berputar-putar melawan arah jarum jam sebagaimana jemaah haji yang bertawaf mengitari Ka'bah melawan arah jarum jam. Maka lahirlah dari sini Tarekat Maulawiyah. Kostum berbentuk rok yang mengembang ketika tubuh berputar itu sebagai penyeimbang sehingga tubuh tidak jatuh.

Di dalam maqam ketiga, superego (kalau bisa disebut demikian), Azazi mencabuti pembatas yang berwujud garis putih memanjang persegi sehingga ia menjadi bebas. Ia pun meliuk berputar dan berputar.

Ia memakai roknya sebatas pinggang, kencang berputar, hingga rok itu merangkak ke atas menutupi kepalanya, yang kemudian ia lepaskan ke atas menjelma payung di atas kepalanya yang terus berputar. Spektakuler. Inilah pertunjukan Dervish bagian pertama, "Azab" (Agony), rentang 20 menit, di Festival Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pada 19 dan 20 September 2014. Pertunjukan premier "Azab" pada 2005 berlangsung di Sao Paulo, Brasil.

Pada pertunjukan bagian kedua, "Dervish in Progress", yang pertunjukan premier karya ini digelar pada 2005 di Barcelona, Spanyol, tampak Azazi lebih bersenang-senang. Ia berdiri tegak di ujung panggung dengan kostum putih-putih. Dibalut musik yang terdengar berderak, selaras rock lalu berubah irama Timur Tengah, ditingkahi tata lampu (nah, ini dia, tata lampu yang mesti dicatat), menyiratkan lukisan hitam-putih yang liris menguasai panggung bagai lukisan Henry Matisse. Ia berputar dan berputar dengan roknya, suatu olah repetitip yang mendatangkan kegembiraan hidup sampai Azazi ekstasip seperti menari tidak di sini, tapi di nirwana.

Azazi kali ini ternyata memakai tiga lembar rok warna putih, hitam, dan merah, yang ia susun ke atas bagai cendawan puisi liris energetik. Tiap tepi rok ia beri bandul rantai besi seberat dua kilogram (jadi enam kilogram untuk tiga rok). Lihatlah, getaran kinetiknya sama monumentalnya dengan karya-karya Richard Serra, 76 tahun, pematung arsitektur lanskap Amerika, dengan pagar besi besar memanjang atau labirin besi gigantik yang meliuk-liuk itu.

Akhir dari pertunjukan ini, Azazi mengubur tubuhnya dengan salah satu lembar roknya itu sampai yang tampak hanya seonggok kain yang bergerak-gerak bagai napas terakhir…. Azazi, 45 tahun, yang memperoleh berbagai penghargaan internasional, memilih melenyapkan diri.

Danarto (Sastrawan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus