Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

(Tak Perlu) Mengejar yang Tak Tertangkap

Duet keempat sutradara Rudi Soedjarwo-penulis skenario Monty Tiwa. Kejar-mengejar logika bercerita yang terlalu klise.

21 Mei 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGEJAR MAS-MAS Sutradara: Rudy Soedjarwo Skenario: Monty Tiwa Pemain: Dinna Olivia, Dwi Sasono, Poppy Sovia Produksi: DePic Production, 2007

JIKA kita boleh meminjam satu ungkapan dunia perbukuan, di perfilman juga berlaku pesan serupa: jangan menilai sebuah film dari judulnya. Penonton yang belum mengenal Rudi Soedjarwo (selalu ada kemungkinan seperti itu, bukan?) akan sepenuh hati menganggap Mengejar Mas-Mas (MMM) sebagai sebuah film komedi. Sedangkan bagi yang cukup paham riwayat filmografi Rudi, di kepala mereka muncul pertanyaan baru: apa hubungannya dengan Mengejar Matahari (MM), film yang juga disutradarainya empat tahun silam? Sebab, ambillah contoh, bukankah ketika Richard Linklater mengeluarkan Before Sunset (2004), film itu adalah sekuel dari Before Sunrise (1995), yang membuat penonton jatuh cinta pada petualangan semalam Ethan Hawke-Julie Delphy?

Ternyata dua dugaan itu kandas bersamaan. MMM bukan lanjutan kisah persahabatan empat remaja putra dalam MM. Ini kisah baru, tentang pertemanan (tak sengaja) seorang cewek 17 tahun yang selalu sewot bernama Shanaz (Poppy Sovia) dengan Ningsih (Dinna Olivia), sekuntum pelacur yang terlalu kinyis-kinyis untuk ukuran lokalisasi sumpek Pasar Kembang, Yogyakarta. Mau dibuat sekumal apa pun dan ditempatkan di kamar sebusuk apa pun dia, wajah Dinna Olivia tetap terlalu city girl. Meski diakui upaya Dinna untuk berbahasa Indonesia dengan aksen Jawa itu jauh lebih meyakinkan daripada, katakanlah, Shanty yang mencoba bledag-bledug dalam film Berbagi Suami.

Untuk membuat persahabatan Ningsih—yang mengaku sebagai Bu Dosen Norma di tempat kosnya—dan Shanaz tidak melulu adem-ayem-tentrem-kerto-raharjo, dimasukkanlah “bumbu” bernama Parno (Dwi Sasono), pengamen campur sari yang mengaku pernah pacaran selama empat jam dengan Ningsih (“Jam kelima aku putuskan karena dia mengaku pelacur,” kata Parno kepada Shanaz). Tapi diam-diam pengamen yang umurnya 20 tahun lebih tua itu mulai tebar pesona mengantarkan Shanaz ke sana-kemari dengan sepeda ontelnya yang tak bisa direm. (Memangnya seberapa mahalkah ongkos memperbaiki rem sepeda di Yogya, coba tebak?)

Dengan kisah hubungan tigaan yang potensial dieksplorasi seperti itu, aneh juga jika Rudi dan penulis skenario Monty Tiwa—mereka sudah bahu-membahu membuat 9 Naga, Mendadak Dangdut, dan Pocong 2—masih membutuhkan opening bertele-tele sekadar agar Shanaz bisa kabur dari rumahnya di Jakarta dan hinggap di Yogyakarta. Bukan karena ihwal kaburnya seorang gadis, yang jamak dijadikan tema film remaja itu, yang membuat film ini menjadi “lucu”. Tetapi simaklah problem pemantiknya yang terlalu klise: bapak Shanaz “harus” meninggal lebih dulu, dan sang ibu—betul sekali!—punya rencana menikah lagi dengan seorang om botak yang luar biasa membuat muak sang anak. Oh, my God!

Di Yogya, Shanaz yang selalu memakai hot pants (celana pendek banget itu) seolah tak punya baju lain, bertemu serenceng kesialan. Mulai dari pacarnya Mika yang telanjur naik gunung (terdengar seperti hobi favorit protagonis pria di film dan novel-novel pop kita tahun 1970-an) sampai tak memiliki sedikit pun uang untuk bermalam di motel dengan kipas angin berisik yang lebih mendatangkan hawa panas ketimbang sejuk.

Jika hal-hal itu masih belum terlalu ajaib, saksikanlah bagaimana awal perjumpaan Shanaz dan Ningsih yang jelas menggambarkan kerepotan Monty untuk “memasukkan” Shanaz ke dunia Ningsih. Belum lagi keuletan Monty untuk mencari sebuah “adegan orisinal” agar ciuman antara Shanaz dan Parno bisa terbebas dari gunting sensor LSF. Ciuman mesrakah itu? Tidak, itu ciuman pertolongan pertama pada kecelakaan! Sebab, Parno tak sengaja menelan umang-umang yang membuat nyawanya di ujung tanduk jika “tak segera ditolong”. Jadi, bagaimana mungkin adegan sepenting ini akan dikudung LSF?

Dan persis di titik inilah penonton semakin sulit mengejar (logika bercerita) Mas (Monty)-Mas (Rudi). Semakin banyak kebetulan yang ingin dihindari, semakin bertumpuk kejanggalan yang terjadi. Jika film ini diniatkan untuk mengimbangi satir karikatural Kejarlah Daku Kau Kutangkap (sutradara Chaerul Umam, skenario Asrul Sani) seperti dilansir dalam situs web Mengejar Mas-Mas, yang dikhawatirkan adalah penonton akan keceplosan berkomentar, “Oh, my God!” Sebab, jarak kedua film ini terlalu jauh. Tak akan tertangkap.

Akmal Nasery Basral

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus