MALAM itu tebakan di Palembang ialah: siapa menang? Sekitar 7
ribu penduduk memenuhi separuh Stadion Bumi Sriwijaya untuk
malam penutupan Festival Film Indonesia VII -- setelah 3 hari
yang lalu, 9 Mei, dibuka di tempat yang sama oleh Dirjen Radio,
Televisi dan Film Malam itu sekaligus akan diumumkan siapa
pemenang piala Citra.
Dengan sistim "nominasi" -- diumumkan terlebih dahulu
masing-masing lima calon untuk tiap satu piala Citra -- dugaan
memang jadi terbatas. Yang jelas dua film calon pemenang terkuat
belum sempat dilihat banyak orang: Pengemis dan Tukang Beca dan
November 1828.
"Yah, 'kan sutradara kita yang kuat cuma ada lima," kata seorang
anggota Dewan uri. Di antara yang lima itu, tiga di antaranya
memang tak mempunyai film yang diikutsertakan dalam FFI kali
ini: Ami Prijono, Sjuman Djaya dan Arifin C. Noer. Tinggal Wim
Umboh yang mengikutsertakan film terbarunya PTB dan Teguh Karya
dengan November 1828.
Sistim "nominasi" itu memang yang baru dari FFI VII. Sumardjono,
Ketua Penyelenggara FFI VII, dalam satu konperensi pers
mengatakan bahwa sistim nominasi antara lain untuk merangsang
agar calon-calon yang disebutkan terdorong hadir di Palembang.
Hasilnya memang belum nampak: banyak bintang tetap absen. Tapi
sistim nominasi ini menurut Rosihan Anwar, Ketua Dewan Juri, ada
manfaatnya juga. "Dalam kenyataannya sering film yang tidak
menang dan yang menang hanya selisih satu nilai. Dengan
disebutkannya juga lima terbaik, film-film yang tidak menang
tapi berbeda sedikit nilainya disebutkan juga," kata Rosihan di
Palembang menjelang berangkat ke lapangan udara Talangbetutu.
Suasana memang terasa lesu. Meski tak ada yang mencoba mencari
biang kelesuannya. Dengan jelas kelesuan itu pun mewarnai Pawai
Artis. Berangkat dari Stadion Bumi Sriwijaya, Kamis 10 Mei,
keliling kota Palembang, 75 mobil hias ternyata tak ada
separuhnya yang mengangkut bintang film. Dan sambutan massa
ternyata justru tertuju kepada artis yang mengaku bukan bintang
film tapi pelawak: Bagyo dan kawan-kawan. Sidang MMPI di
Palembang ini, 10-12 Mei, pun nampak tenang-tenang saja. Hal
yang semula diduga akan menimbulkan tarik urat, ialah tentang SK
224 Menpen, ternyata dianggap "tidak perlu dipersoalkan lagi,"
sebab sudah dianggap sebagai keputusan inti sidang MMPI 1978 di
Ujung Pandang.
Akhirnya, malam itu, 12 Mei di Stadion Bumi Sriwijaya, setelah
Dewan Juri yang diwakili oleh Mochtar Lubis membacakan catatan
Dewan Juri, diumumkanlah para pemenang Citra (lihat Box).
Alhamdulillah sampai akhir pekan lalu, belum terdengar
keributan yang mengekori penutupan festival film kemarin.
Seperti peristiwa di Ujung Pandang tahun lalu ketika diketahui
Aktor Terbaik Kaharuddin Syah tidak mengisi suaranya sendiri.
Juri "tidak lagi cerewet" seperti dirasakan kalangan film. Tentu
saja masih mengritik. Misalnya menurut juri, dari banyak film
remaja yang beredar, kurang diperlihatkan kaum remaja itu harus
bekerja keras guna mencapai prestasi yang dibanggakan.
Kritik itu sudah bisa diduga. Dua bulan sebelum festival, di
Jakarta diselenggarakan seminar film oleh Dep. Penerangan dengan
tema "Film Sebagai Alat Perjuangan dan Pembangunan Bangsa."
Seminar menelurkan beberapa pokok pikiran. Yang menarik adalah
rumusan, "film harus bersifat dan berfungsi kultural edukatif."
Dalam pengertian, "film Indonesia harus mampu menggambarkan
sifat-sifat manusia Indonesia yang mampu mengendalikan diri
sendiri agar tidak mengganggu keseimbangan dan keserasian."
Diakui oleh Asrul Sani yang melaporkan hasil seminar, sulit
memberikan pengertian kultural edukatif itu secara kongkrit.
"Sebetulnya kita masing-masing tentu sudah memahaminya," sebut
Asrul. "Kini tinggal bagaimana melaksanakan bersama konsensus
kultural edukatif itu." Bagaimana ukurannya secara pas sulit
diutarakan. Tapi ia memberi contoh film Krisis, Pejuang, Chicha,
Inem Pelayan Sexy, dan Malin Kundang, sebagai yang telah
memenuhi ukuran tadi. Soal apakah film itu disenangi dan laku
dijual, dan apa film hanya thema, rupanya bukan urusan seminar.
ADAKAH kaitan antara seminar itu dengan festival film
Palembang? Dari 38 film cerita yang dinilai juri, mungkin bisa
disebut November 1828 dan Buaya Deli yang kira-kira masuk ukuran
hasil seminar. Kebetulan yang disebut pertama, berhasil merebut
6 Citra. Masih menjadi pertanyaan, kalau hasil seminar
dimasukkan ke dalam film dengan menggebu-gebu -- tidakkah
hasilnya akan merupakan propaganda? Lalu porsi mana lagi yang
harus disediakan Pusat Produksi Film Negara (PPFN) untuk film
penerangannya? Dalam pertimbangan keputusan juri di festival
Palembang tampaknya hal itu, tidak terlalu penting. "Film dapat
berperan secara amat berarti, jika secara sadar dipergunakan
untuk mengembangkan sikap hidup dan nilai-nilai budaya yang
mendorong berkembangnya manusia Indonesia seutuhnya," sebut
juri.
Di Ujung Pandang dulu juri masih bisa menilai sekitar 60 film
cerita -- tapi kini di Palembang jumlah itu tinggal 38 film
cerita saja, dan 14 film dokumenter. Kelesuan dalam memproduksi
film memang sudah membayang sejak Nopember tahun lalu.
Masa panen '77/'78, ketika produksi melejit dari hanya sekitar
58 pada '76, ke jumlah 134 judul film, tidak lagi akan datang
rasanya. Kini untuk memproduksi setiap judul film, pemilik modal
mempunyai taruhan yang besar. Mungkin iklim yang demikian, siapa
tahu, akan melahirkan film pilihan -- tidak asal jadi. Sebagai
dicatat juri: "Film Indonesia sekarang pada umumnya menunjukkan
kemajuan besar dalam teknik kamera, editing dan beberapa
penyutradaraan telah mencapai tingkat dan kerapian yang tinggi,"
kata juri. Nah, sampai ketemu di FFI VIII (yang mungkin
begitu-begitu juga acaranya, dan mahal ongkosnya) di Semarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini