Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Navis sosok yang memiliki pengetahuan dan berpengaruh dalam kebudayaan Minangkabau.
A.A. Navis memang dikenal kritis sehingga tidak sedikit yang berseberangan pandangan dengannya.
Tulisan-tulisan kritisnya juga sering mendapat perhatian, bahkan ada yang diminta ditarik dari pemuatan.
ORGANISASI Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menetapkan hari kelahiran A.A. Navis, 17 November, seratus tahun yang lalu, sebagai perayaan sastra internasional 2024. Ia dinilai sebagai sastrawan yang memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Karya-karya sastranya memang mempertanyakan dan menyelisik sisi, seluk-beluk, serta tingkah laku manusia. Cemooh dan sindirannya terhadap praktik-praktik buruk yang mengangkangi nilai-nilai kemanusiaan, baik oleh individu maupun institusi, dikenal sangat tajam. Tulisan ini membahas hal-hal yang jarang dibicarakan tentang A.A. Navis, terutama mengenai agenda besar dan kepeduliannya terhadap kebudayaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam proses kreatif dan biografisnya, Navis lahir dan melalui beragam peristiwa penting, khususnya di Sumatera Barat. Ia lahir ketika Belanda masih bercokol di Indonesia. Namun semangat nasionalisme dan kemerdekaan sudah mulai terasa dengan munculnya gerakan-gerakan para tokoh intelektual dan pejuang lain. Politik etis memunculkan Balai Pustaka, yang dalam sejarah sastra Indonesia menjadi salah satu tonggak penting. Buku-buku bacaan, seperti karya sastra, buku panduan usaha, almanak, dan buku pelajaran sekolah, mulai diterbitkan serta disebarluaskan melalui pustaka sekolah serta taman bacaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Sumatera Barat, beberapa sekolah umum dan keagamaan sudah didirikan pada awal 1900-an. Kweekschool atau Sekolah Raja di Fort de Kock atau Bukittinggi merupakan salah satu sekolah favorit yang memiliki sistem pendidikan bagus. Sementara itu, Indonesisch Nederlandsche School (INS) didirikan pada 1926 oleh Engku Muhammad Syafei di Kayu Tanam. Di sekolah yang menawarkan sistem pendidikan khusus itu, dengan berbagai pelajaran mengenai keterampilan, pengetahuan, seni, disiplin hidup, serta berada di lingkungan sekolah yang asri, Navis bersekolah dan kemudian menjadi pemimpin sekolah tersebut.
INS Kayu Tanam ini, seperti halnya Sekolah Raja, menjadi tempat pendidikan penting yang melahirkan lulusan dengan kemampuan dan keterampilan hidup. Engku Muhammad Syafei merupakan tokoh pendidikan yang ulet dalam merealisasi gagasan mengenai dunia pendidikan yang ideal. Navis banyak sekali mendapat inspirasi dan pengetahuan dari Engku Syafei, termasuk ide dalam menulis karya sastranya.
Navis memiliki disiplin dalam menyelesaikan agenda dan rencana kegiatan hingga tuntas. Ia menyusun buku Alam Takambang Jadi Guru atau Alam Terkembang Jadi Guru selama lebih-kurang 30 tahun. Melalui buku ini dan karya-karya tulis yang lain, ia dianggap sebagai salah satu rujukan penting dalam pembicaraan mengenai Minangkabau. Navis menunjukkan diri sebagai sosok yang memiliki pengetahuan serta kerja-kerja kebudayaan yang pada sejumlah bagian menjadi fundamen kebudayaan Minangkabau. Proses ini tentu saja mengindikasikan kerja keras, proses belajar, dan menjelaskan kembali dasar-dasar kebudayaan Minangkabau.
Dalam mempersiapkan buku Alam Takambang Jadi Guru yang cukup panjang, saya kira Navis menjadikannya sebagai sebuah proyek jangka panjang, yang diisi dengan menghasilkan karya-karya yang lain. Ia juga menyiapkan ilustrasi pada buku tersebut, dengan keterampilan menggambar yang ia pelajari di INS Kayu Tanam. Demikian juga dengan permintaan Taufik Abdullah agar menambah rujukan-rujukan penting dalam catatan kaki, memaksa Navis untuk mencari, membaca, dan merumuskan bahan-bahan bacaan itu. Navis menganggap buku ini lebih mirip karya ilmiah yang dihasilkan oleh seorang penulis kreatif.
Perhatiannya pada kebudayaan Minangkabau ini juga diakui para koleganya, baik yang memiliki pandangan sama maupun yang berseberangan. Harun Zain, yang pada saat tertentu sering berseberangan pandangan dan sikap, bahkan menjaga posisi Navis ini ketika banyak orang "mengusik" keberadaannya. Navis adalah penjaga kebudayaan Minangkabau. Terhadap desakan agar Navis di-recall dari jabatannya di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, misalnya, Harun Zain menjawab, “Jangan, Navis itu potensi daerah! Rugi kita. Tak banyak orang seperti dia” (Abrar Yusra ed., 1994: 164).
AA Navis menyampaikan pokok pikiran dalam sidang ketika menjadi anggota DPRD Sumatera Barat. Dokumentasi Keluarga AA Navis
Perjuangan dan konsistensi Navis turut dibangun oleh gagasan besarnya dalam ranah sosial-budaya. Gagasan-gagasan itu selalu ia kawal hingga mendapatkan wujudnya. Untuk mencapai tujuannya, Navis memiliki strategi dan langkah-langkah yang memungkinkan terbangunnya jalan menuju tujuan itu. Ia menyusun peta jalan, peta masalah, serta tahapan kerja yang jelas. Meski ia tidak menuliskan dalam sebuah nota rumusan, semua itu jelas dapat kita lihat ketika membicarakan Navis. Contoh pengejawantahan tersebut adalah keterlibatannya dalam Gebu Minang, Lumbung Pitih Nagari dan gagasan perbankan masyarakat, kepengurusan INS Kayu Tanam, Dewan Kesenian Sumatera Barat, keanggotaan DPRD, dunia media massa, serta tentu saja kesusastraan. Agenda besar Navis ini menjadikannya sebuah institusi yang bekerja dalam sebuah sistem yang ia ciptakan sendiri.
Agenda besar Navis dalam dunia sosial-budaya, seperti dalam sejumlah aktivitasnya di atas, betul-betul dijaganya. Bahkan ia juga mengesampingkan pertikaian dan perselisihan pribadi dengan pihak lain ketika agenda besar harus diselesaikan. Tekadnya untuk terus-menerus beraktivitas serta menghasilkan karya-karya tulis, baik fiksi maupun nonfiksi, adalah agar tersedia bahan dan bacaan mengenai kebudayaan Minangkabau. Jika menyangkut ikhtiar untuk mengangkat kebudayaan, Navis akan turut serta. Penulisan buku Alam Takambang Jadi Guru termasuk di dalamnya. Ia menulis buku itu sejak awal karena merasa tidak ada rujukan yang memadai bagi orang-orang yang datang dan ingin mengetahui kebudayaan Minangkabau.
Kegiatan penting yang menempatkan sosok Navis dalam ranah sosial-budaya, dan memiliki semangat untuk menggerakkan promosi Minangkabau atau Sumatera Barat, di antaranya adalah Seminar Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau pada 1970 di Batu Sangkar. Pada 1980, Navis menjadi Ketua Panitia Seminar Internasional Kebudayaan Minangkabau di Bukittinggi, yang dianggap sebagai seminar terbesar mengenai kebudayaan Minangkabau, dengan menghadirkan sejumlah ahli dari dalam dan luar negeri. Selain itu, Pertemuan Sastrawan Nusantara 1997 di Kayu Tanam merupakan salah satu kegiatan yang menunjukkan peran besar Navis dalam ranah kesusastraan Sumatera Barat. Terutama dengan adanya penyusunan buku Geo Sastra dan Seni Minangkabau, yang memperkenalkan para sastrawan dan intelektual di daerah ini.
Motif untuk mengembangkan kajian dan kegiatan sosial ekonomi yang dilakukan Navis ini juga dilandasi oleh tujuan mengembalikan muruah masyarakat di Sumatera Barat selepas peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang terjadi pada 1958-1961. Untuk hal ini, Soewardi Idris mencatat peran Navis yang mendesak Gubernur Harun Zain menghancurkan tugu-tugu peringatan PRRI yang didirikan di setiap nagari. Keberadaan tugu-tugu peringatan itu dianggap Navis dapat memperpanjang trauma masyarakat.
Navis memang dikenal sosok yang kritis dan karena itu tidak sedikit yang berseberangan pandangan dengannya. Sikapnya itu mengundang berbagai reaksi dan kadang-kadang membuat suasana menjadi "panas". Namun Navis juga dikenal pandai mengelola konflik. Seakan-akan ia menjadi pengatur dinamika perdebatan dan pemikiran di berbagai forum. Ia akan habis-habisan berdebat dengan koleganya mengenai berbagai tema, terutama di kelompok diskusi yang diadakan secara berkala, seperti di Rattan Room surat kabar Singgalang atau diskusi Saluang Balega dan Krikil Tajam. Tentu saja gaya bicaranya yang satire dan tajam sering dikenang orang.
Secara umum, Navis memiliki tiga pendekatan dalam menyelesaikan kusut masalah. Pertama, ia secara personal mendatangi pihak-pihak yang bersangkutan untuk membicarakan masalah yang ada. Kedua, ia membawa persoalan yang dihadapi dalam pembicaraan formal. Dan ketiga, ia membawa atau menyalurkan persoalan menjadi masalah bersama dengan mengangkatnya di media massa. Masing-masing cara itu disesuaikan dengan tingkat keruwetan masalah dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Hal itu ditegaskan dalam biografinya yang disusun Abrar Yusra bahwa Navis menggunakan tiga pendekatan tersebut sesuai dengan kondisi masalahnya.
Navis sering kali menemui orang-orang, para pejabat, ataupun tokoh masyarakat secara langsung. Bertemu muka dengan muka, begitu istilah Navis. Tulisan-tulisan kritisnya juga sering mendapat perhatian, bahkan diminta ditarik dari pemuatan, karena dianggap terlalu keras. Dengan sikapnya tersebut, ia dapat dikatakan seorang negosiator sekaligus pemecah masalah. Baik masalah yang merupakan hasil dari pembacaannya terhadap kondisi sosial maupun persoalan yang tumbuh dari realitas sosial yang terjadi. Peran sosial-budaya A.A. Navis, menurut saya, adalah menunjukkan bagian lain dari kompleksitas sosok pengarang yang dikenal sebagai satiris ulung ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo