ADA sekelompok orang bernyanyi riang. Pada suatu pagi yang
cerah, seperti yang diinginkan Mozart -- yang senantiasa hidup
enak di istana. Tap, tap, tap, mereka berjingkat-jingkat -
dengan gaya kebangsawanan mengiring sang pengantin. Mungkin, ada
sedikit cahaya matahari menyusup sela pohon-pohon persik -
ketika serangkaian bunyi biola bertiup dengan manisnya dari
sayap kiri. Kemudian datang segerombolan orang bertepuk - di
situ selo dan klarinet bergandengan menyusul Tam-tam, tamu sang
pangeran berjalan, diiring pukulan timpani. Begitulah cara WA
Mozart (1756-1791) memukul dengan lembut elite yang mabuk dalam
komposisi Overture Pesta Perkawinan Figato.
Tangan konduktor tamu Frans Haryadi tampak semakin mantap. Ini
tentu sebuah kerja panjang mengocok setiap individu pendukung
Orkes Simponi Jakarta (OSJ). Tidak dengan penafsiran yang
kelewat, pergelaran itu mereka buka, di Studio V RRI Jakarta 27
Oktober malam lampau. Kepada sekelompok undangan terbatas itu,
Frans kelnudian membungkuk.
Diam-diam, di bagian belakang menyusup 4 anak muda. Mereka
mahasiswa Akademi Musik LPKJ. Kini mereka siap mengayunkan
komposisi Darius Milmoud (1892) - Scara-mouche, suita untuk
saxofon dan orkes. Di bagian Vivo ini, mereka berjalan
tertegun-tegun. Sax di tangan Tony Suwandi, di beberapa bagian
yang rumit dari komposisi Darius, masih ragu-ragu memukul.
Malah di bagian Moderato Tony melejit pada nada tinggi untuk
beberapa saat - untuk bunyi terompet - kemudian menggusurnya,
sebelum pada akhir hembusan sax itu senar biola memberinya
bantal yang empuk. Sungguh para pemain string (alat gesut)
itu adalah manusia yang mengetahui bagaimana caranya
memperbaiki kekurangan temannya.
Tapi coba dengar bagian akhir komposisi ini: Brazileira. Sax
di tangan Tony menampar-nampar bunyi dawai biola yang paling
lembut sekalipun. Kadang mencuat dengan warna lain seperti
gaya orang negro menyematkan alat tiupnya dalam jazz swing.
Mungkin Darius, selain tertarik musik Amrika Latin, juga
mengambil banyak darah swing yang subur pada masa perang dunia I
itu.
Pada beberapa ayunan yang lain, irama Samba menjengukkan
kepalanya berjalan dengan melodi yang lepas dan santa. Setelah
itu akan terdengar dalam nada dominan, bunyi ketukan sepatu
dari sekelompok pemusik jazz negro. Sax di tangan Tony memang
baik untuk membangun suasana demikian mungkin seperti
dikehendaki Darius Milhoud atau setidak-tidaknya. Frans
sendiri. Darius Milhoud, I ewat gaya kembali ke musik absolut,
merasa dekat dengan jazz. Mungkin itu alasannya menggantikan 2
piano solo dengn solo sax alto (atau klarinet) dan orkes ketika
Scaramouche diperkenalkan pertama kalinya di Expo Dunia di Paris
(1937..
Senja Di Desa
Hasil tangan Frans kali lni lain. Setelah masa jedah 15 menit,
ia memilih komposisi Bela Bartok 1881-1945), Sketsa-sketsa
Hongaria. I)ibuka lewat bagian Senja di Desa, di antara bunyi
klarinet dan hobo yang halus. Setelah angin ini lewat, dari
ujung cakrawala terdengar senar biola dicabut menjentik-jentik.
Menjadikan rembang, sore tidak terlalu sayu.
Ternyata dugaan itu meleset: di ujung senja' itu angin dari
Timur berhembus dengan kuat - manakala bunyi alat tiup menjadi
dominan dalam permainan. Orang kemudian mulai menebak, angin
timur dari musik klasik Cina dengan diam-diam telah menyusup ke
dalam bagian paling rahasia dari komposisi artk. Di telinga
penonton Indonesia bagian ini memang menyejukkan.
"Ya, ya, saya tahu, Senja Desa itu mudah diterima. Beda dengan
Tarian Beruang," kata Frans seusai pertunjukan Tari Beruang,
olahan Bartok. diantar bunyi genderang dan trombon. berjalan
terhentak-hentak. Sulit memang menyelami. Setiap kesan yang
disemburkan dari tiap instrumen yang seolah berdiri sendiri pada
bagian ini. Kadang malah saling meniadakan - dengan efek bunyi
yang terdengar nyelekit di kuping.
Kegerahan penonton ini kemudian terobati, ketika orkes
meluncurkan bagian melodi, yang sepenuhnya mengandalkan bunyi
alat gesek. Suara-suara yang kering sampai yang basah saling
nenjalin, kemudian membubung, untuk pada suatu saat menukik
tajam. Sebuah permainan yang mungkin bisa menjebak pendengar
pada rasa yang paling dalam.
Tapi keasyikan berimajinasi ini kemudian runtuh waktu
Orkes meluncurkan bagian Agak Mabuk dan Tarian Gembala.
Pada kedua bagian ini bunyi alat gesek saling bersilangan,
pada setiap instrumen tampil dengan terhuyung-huyung. Dari segi
apresiasi, bagian ini setidaknya memerlukan energi agak banyak
untuk mencernanya.
Frans kemudian menyalami pemain biola satu. Kepada hadirin ia
membungkuk, dan tidak memberi repertoar tambahan. Komposisi
Benyamin Britten -- Pengantar untuk Orang Muda -- urung
dimainkan. Karena 3 pemain alat tiup: pikolo, flut dan tuba,
tidak datang. Hal yang sudah kerap menimpa pendukung OSJ -- soal
transportasi, uang, dan segala tetek-bengek yang dianggap enteng
pihak luar -- malam itu berakibat fatal.
"Kalau toh komposisi itu mau dipaksakan, akan ompong. Karena
peranan ketiga alat tiup itu sangat fungsionil," ujar Frans
menjelaskan. Dan selesailah pagelaran Frans yang ketiga memimpin
OSJ, pada pukul 21.00 lewat beberapa saat.
Jelek
Frans tampaknya memperhatikan soal pergantian generasi. Memberi
catatan disertakannya mahasiswa Akademi Musik LPKJ, ia
menjelaskan: "agar mereka langsung tahu lapangan," katanya.
Tapi, 'adalah wajar kalau mereka masih canggung. Namun kemauan
mereka untuk dilibatkan terpuji."
Frans Haryadi menyebut penyelengaraan pergelaran ini "sangat
jelek. Pubikasi jelek, seolah menganggap pergelaran ini kerja
yang rutin. Kami sebagi konduktor tersinggung. Latihan
matimatian, eh, penyelenggaraannya begitu."
Ia mengambil contoh cara kerja yang semrawut itu dalam
menyebarkan undangan dan mencetak buku program. "Kalau maksudnya
untuk meningkatkan apresiasi, tidak mungkin dengan cara kerja
demikian." Kini, ia menarankan pihak RRI sebaiknya mulai
mempertimbangkan untuk menjual karcis. "Paling tidak penonton
diajak menghargai karya orang lain," katanya.
Untuk penonton Indonesia -- yang belum tentu faham banyak
repertoar - Frans menterjemahkannya ke bahasa Indonesia. Ia
memilihkan repertoar dari yang ringan sampai yang berat. Selain
sifatnya "untuk meng}ubur, juga untuk mempertajam citarasa
mereka," katanya menerangkan.
Tapi orang satu ini masih keki juga - selama masih ada kesan
bahwa setiap pagelaran OSJ dikonsumsikan untuk orang asing.
Misalnya, mencetak program dalam bahasa asing. "Kalau konser ini
dikonsumsikan untuk orang asing, saya terus terang tak berminat.
Saya hidup di Indonesia, bukan di ner geri mereka!" sebut Frans
ketus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini