Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ada sekelompok orang bernyanyi ...

Orkes simponi jakarta dengan konduktor tamu frans haryadi mengadakan pegelaran di rri jakarta menampilkan karya wa mozart, darius milhoud dan bela bartok. (ms)

7 April 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA sekelompok orang bernyanyi riang. Pada suatu pagi yang cerah, seperti yang diinginkan Mozart -- yang senantiasa hidup enak di istana. Tap, tap, tap, mereka berjingkat-jingkat - dengan gaya kebangsawanan mengiring sang pengantin. Mungkin, ada sedikit cahaya matahari menyusup sela pohon-pohon persik - ketika serangkaian bunyi biola bertiup dengan manisnya dari sayap kiri. Kemudian datang segerombolan orang bertepuk - di situ selo dan klarinet bergandengan menyusul Tam-tam, tamu sang pangeran berjalan, diiring pukulan timpani. Begitulah cara WA Mozart (1756-1791) memukul dengan lembut elite yang mabuk dalam komposisi Overture Pesta Perkawinan Figato. Tangan konduktor tamu Frans Haryadi tampak semakin mantap. Ini tentu sebuah kerja panjang mengocok setiap individu pendukung Orkes Simponi Jakarta (OSJ). Tidak dengan penafsiran yang kelewat, pergelaran itu mereka buka, di Studio V RRI Jakarta 27 Oktober malam lampau. Kepada sekelompok undangan terbatas itu, Frans kelnudian membungkuk. Diam-diam, di bagian belakang menyusup 4 anak muda. Mereka mahasiswa Akademi Musik LPKJ. Kini mereka siap mengayunkan komposisi Darius Milmoud (1892) - Scara-mouche, suita untuk saxofon dan orkes. Di bagian Vivo ini, mereka berjalan tertegun-tegun. Sax di tangan Tony Suwandi, di beberapa bagian yang rumit dari komposisi Darius, masih ragu-ragu memukul. Malah di bagian Moderato Tony melejit pada nada tinggi untuk beberapa saat - untuk bunyi terompet - kemudian menggusurnya, sebelum pada akhir hembusan sax itu senar biola memberinya bantal yang empuk. Sungguh para pemain string (alat gesut) itu adalah manusia yang mengetahui bagaimana caranya memperbaiki kekurangan temannya. Tapi coba dengar bagian akhir komposisi ini: Brazileira. Sax di tangan Tony menampar-nampar bunyi dawai biola yang paling lembut sekalipun. Kadang mencuat dengan warna lain seperti gaya orang negro menyematkan alat tiupnya dalam jazz swing. Mungkin Darius, selain tertarik musik Amrika Latin, juga mengambil banyak darah swing yang subur pada masa perang dunia I itu. Pada beberapa ayunan yang lain, irama Samba menjengukkan kepalanya berjalan dengan melodi yang lepas dan santa. Setelah itu akan terdengar dalam nada dominan, bunyi ketukan sepatu dari sekelompok pemusik jazz negro. Sax di tangan Tony memang baik untuk membangun suasana demikian mungkin seperti dikehendaki Darius Milhoud atau setidak-tidaknya. Frans sendiri. Darius Milhoud, I ewat gaya kembali ke musik absolut, merasa dekat dengan jazz. Mungkin itu alasannya menggantikan 2 piano solo dengn solo sax alto (atau klarinet) dan orkes ketika Scaramouche diperkenalkan pertama kalinya di Expo Dunia di Paris (1937.. Senja Di Desa Hasil tangan Frans kali lni lain. Setelah masa jedah 15 menit, ia memilih komposisi Bela Bartok 1881-1945), Sketsa-sketsa Hongaria. I)ibuka lewat bagian Senja di Desa, di antara bunyi klarinet dan hobo yang halus. Setelah angin ini lewat, dari ujung cakrawala terdengar senar biola dicabut menjentik-jentik. Menjadikan rembang, sore tidak terlalu sayu. Ternyata dugaan itu meleset: di ujung senja' itu angin dari Timur berhembus dengan kuat - manakala bunyi alat tiup menjadi dominan dalam permainan. Orang kemudian mulai menebak, angin timur dari musik klasik Cina dengan diam-diam telah menyusup ke dalam bagian paling rahasia dari komposisi artk. Di telinga penonton Indonesia bagian ini memang menyejukkan. "Ya, ya, saya tahu, Senja Desa itu mudah diterima. Beda dengan Tarian Beruang," kata Frans seusai pertunjukan Tari Beruang, olahan Bartok. diantar bunyi genderang dan trombon. berjalan terhentak-hentak. Sulit memang menyelami. Setiap kesan yang disemburkan dari tiap instrumen yang seolah berdiri sendiri pada bagian ini. Kadang malah saling meniadakan - dengan efek bunyi yang terdengar nyelekit di kuping. Kegerahan penonton ini kemudian terobati, ketika orkes meluncurkan bagian melodi, yang sepenuhnya mengandalkan bunyi alat gesek. Suara-suara yang kering sampai yang basah saling nenjalin, kemudian membubung, untuk pada suatu saat menukik tajam. Sebuah permainan yang mungkin bisa menjebak pendengar pada rasa yang paling dalam. Tapi keasyikan berimajinasi ini kemudian runtuh waktu Orkes meluncurkan bagian Agak Mabuk dan Tarian Gembala. Pada kedua bagian ini bunyi alat gesek saling bersilangan, pada setiap instrumen tampil dengan terhuyung-huyung. Dari segi apresiasi, bagian ini setidaknya memerlukan energi agak banyak untuk mencernanya. Frans kemudian menyalami pemain biola satu. Kepada hadirin ia membungkuk, dan tidak memberi repertoar tambahan. Komposisi Benyamin Britten -- Pengantar untuk Orang Muda -- urung dimainkan. Karena 3 pemain alat tiup: pikolo, flut dan tuba, tidak datang. Hal yang sudah kerap menimpa pendukung OSJ -- soal transportasi, uang, dan segala tetek-bengek yang dianggap enteng pihak luar -- malam itu berakibat fatal. "Kalau toh komposisi itu mau dipaksakan, akan ompong. Karena peranan ketiga alat tiup itu sangat fungsionil," ujar Frans menjelaskan. Dan selesailah pagelaran Frans yang ketiga memimpin OSJ, pada pukul 21.00 lewat beberapa saat. Jelek Frans tampaknya memperhatikan soal pergantian generasi. Memberi catatan disertakannya mahasiswa Akademi Musik LPKJ, ia menjelaskan: "agar mereka langsung tahu lapangan," katanya. Tapi, 'adalah wajar kalau mereka masih canggung. Namun kemauan mereka untuk dilibatkan terpuji." Frans Haryadi menyebut penyelengaraan pergelaran ini "sangat jelek. Pubikasi jelek, seolah menganggap pergelaran ini kerja yang rutin. Kami sebagi konduktor tersinggung. Latihan matimatian, eh, penyelenggaraannya begitu." Ia mengambil contoh cara kerja yang semrawut itu dalam menyebarkan undangan dan mencetak buku program. "Kalau maksudnya untuk meningkatkan apresiasi, tidak mungkin dengan cara kerja demikian." Kini, ia menarankan pihak RRI sebaiknya mulai mempertimbangkan untuk menjual karcis. "Paling tidak penonton diajak menghargai karya orang lain," katanya. Untuk penonton Indonesia -- yang belum tentu faham banyak repertoar - Frans menterjemahkannya ke bahasa Indonesia. Ia memilihkan repertoar dari yang ringan sampai yang berat. Selain sifatnya "untuk meng}ubur, juga untuk mempertajam citarasa mereka," katanya menerangkan. Tapi orang satu ini masih keki juga - selama masih ada kesan bahwa setiap pagelaran OSJ dikonsumsikan untuk orang asing. Misalnya, mencetak program dalam bahasa asing. "Kalau konser ini dikonsumsikan untuk orang asing, saya terus terang tak berminat. Saya hidup di Indonesia, bukan di ner geri mereka!" sebut Frans ketus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus